Thursday, February 28, 2008

Pentingnya Pelatihan Mediasi bagi Pelayan Gereja

Oleh : Pdt. Happy Pakpahan
“ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah ” Matius 5:9 Persoalan Sengketa di Sekitar Kehidupan BerGereja Setiap manusia pada hakekatnya membutuhkan keteraturan, kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya. Akan tetapi, perbedaan kepentingan-karakter dan kebutuhan manusia sering membuat terjadi pergesekan-2 sosial. Pergesekan ini menjelajahi antar pribadi, antar kelompok masyarakat, hingga kepada antar SARA. Bisa disebabkan oleh Pemilu (dari tingkat Pusat hingga RT-RW), perkelahian antar kampung, perebutan warisan, dll. Secara khusus, pergesekan ini juga menjamah kehidupan pelayanan di Gereja. Misalnya, banyaknya sengketa Yayasan Kristiani dan Gereja mengenai aset ( benda bergerak dan tidak bergerak ). Sering sekali upaya musyawarah damai tidak tercapai sehingga diproses melalui prosedur peradilan. Kita harus jujur mengakui, bahwa disamping merusak persekutuan hal ini juga mengakibatkan adanya kerugian diantara kedua belah pihak. Terjadinya sengketa-sengketa aset Gereja dan Yayasan Kristen mencerminkan masalah pengelolaan asset cukup sensitive. Banyak terjadi sengketa dimana pihak tertentu (keturunan ompu si A, si B, dll) mengklaim sebagai pemilik-yang berhak atas aset tertentu, dan akhirnya bisa menjerumus kepada bentrok fisik, berpindahnya aset Gereja/Umat yang selama ini dipakai kepada pihak tertentu, dan terhambatnya peribadahan dan aktifitas Gerejawi lainnya. Karena itulah, disamping dibutuhkan pelayanan pelengkapan sarana administrasi hukum aset Gereja, dibutuhkan juga ketrampilan penanganan konflik dan sengketa bagi para pelayan Gereja. Sehingga jika terjadi konlik atau sengketa mengenai aset, dibutuhkan upaya-upaya konkret menciptakan keteraturan, kedamaian, secara khusus mentransformasi konflik menjadi perdamaian yang saling menguntungkan dan menata kembali hal-hal pengelolaan agar terhindar dari sengketa-2 baru. Sudut Pandang akan sebuah Konflik atau Sengketa Menghadapi konflik secara konstruktif harus dimulai dengan sudut pandang dan sikap yang tepat terhadap konflik. Bila orang terlanjur memahami bahwa konflik atau sengketa itu tanda kegagalan, dan pasti berdampak destruktif, dengan sendirinya mereka akan merasa terancam dan menunjukkan sikap defensif. Rasa takut dan terancam ini akan menciptakan kata atau perbuatan yang justru akan mendukung atau membenarkan perasaan-2 negatif itu/ self fulfilling prophecy. Sebaliknya, bila manusia memiliki pandangan bahwa konflik itu normal, bahwa konflik dapat menghasilkan perubahan-2 penataan yang lebih baik/teratur hal-hal yang berkaitan dengan sumber sengketa, maka akan ada motivasi yang baik dalam memanage suatu persoalan/sengketa, sehingga konflik tersebut justru akan melahirkan hasil-2 konstruktif. Dalam hal persoalan sengketa, satu hal lain yang penting adalah menghilangkan konsep kalah - menang ; diuntungkan – dirugikan dan mengakhiri lingkaran-2 balas dendam. Sehingga diperlukan berbagai pemikiran yang lebih daripada sekedar pengelolaan konflik atau penyelesaian sengketa secara tehknis akan tetapi membangun kesadaran mentransformasi persoalan menjadi hal penataan.
Mediasi - Upaya Kontekstual Inilah keistimewaan proses Mediasi. Dalam penyelesaian sengketa/konflik. Mediasi memahami bahwa transformasi menuntut perubahan bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam. Mediasi juga memahami bahwa perubahan yang merupakan hasil pemaksaan kehendak bukanlah hasil transformasi, melainkan sekedar menyesuaikan diri terhadap tekanan dari kekuatan yang lebih dahsyat. Proses transformasi dalam mediasi membutuhkan komitment yang jelas untuk menolong orang lain tumbuh secara positif. Mediator mengakui bahwa perdamaian dan keadilan adalah tunggal, perdamaian tanpa keadilan bukanlah perdamaian sejati. Orang-orang seperti inilah yang kita sebut peacebuilders atau para juru damai. Mereka mengakui bahwa perdamaian hanya bisa dibangun secara pelan-2 lewat serangkaian proses perjumpaan dan refleksi, bukan hanya tentang perkara-2 teknis yang biasa muncul dalam sebuah konflik, melainkan juga tentang persoalan-2 yang lebih mendalam seperti soal relasi, membangun rasa hormat dan berbagai realitas structural. Pendekatan terhadap sengketa dan konflik memang membutuhkan waktu, analisis yang cermat, perencanaan, serta berbagai strategi. Tantangan kita bukanlah menghindari konflik atau perbedaan pendapat, melainkan mengolah konflik secara konstruktif, menyalurkan energi yang ditimbulkannya kearah positif, menuju terjadinya perubahan yang adil. Pengalaman membuktikan bahwa ditengah sengketa, perdamaian tidak muncul tiba-tiba atau hasil angan-angan belaka melainkan perlu diperjuangkan lewat iman kepercayaan, kerja keras dan perencanaan yang matang. Sehingga diperlukan orang-orang atau lembaga yang mau dipakaiNya menjadi Juru Damai. Gereja membutuhkan orang-orang atau Lembaga yang berperan aktif menyelesaikan sengketa-sengketa aset Gereja-Yayasan Kristiani secara “ win-win solution” dengan mempunyai Visi “ tercapainya kedamaian Hidup bersama dalam masyarakat sebagai perwujudan kasih ”. Dengan Misi mengupayakan penyelesaian masalah dan sengketa dalam masyarakat, sebagai bentuk alternative guna mendorong dan mengupayakan tercapaianya kesepakatan yang memenuhi rasa keadilan yang bersifat restorative, baik kepada masing-masing pihak yang bermasalah dan bersengketa, maupun kemunitasnya. Jadi bagi para Pelayan Gereja sebagai pengemban amanah Agung, memang perlu dilatihkan tentang transformasi konflik menggunakan ketrampilan mediasi dan juga transformasi konflik - untuk mengolah konflik secara konstruktif. Dilatih upaya peranan Klien dan legal Representative dalam Mediasi, meningkatkan kesadaran tentang Intervensi strategis Mediator, pengenalan bentuk-bentuk konflik & berbagai pendekatan dalam mengatasi konflik atau sengketa sebagai Skill yang dibutuhkan seorang Mediatro, proses Negosiasi serta berbagai pendekatan dalam mengatasi konflik atau sengketa, meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali aneka realitas, kebutuhan dan nilai-nilai hidup masing-masing pihak yang bersengketa. Agar orang yang dilatihkan kemudian mampu membantu menciptakan proses-2 interaksi yg berdampak memberdayakan para partisipan serta menumbuhkan kesadaran akan nilai intrinsik mereka. Seorang mediator menjajaki berbagai opsi dan merundingkan suaru cara penyelesaian. Seorang mediator tidak boleh memaksakan keputusan apa pun, melainkan menolong pihak-2 yang bertikai menemukan aneka solusi yang bisa diterima semua pihak. Mediasi bukan hanya berpotensi menciptakan perdamaian dan memperbaiki hubungan pihak yang bersengketa, melainkan juga mampu mentransformasikan kehidupan pihak-2 yang bertikai, sehingga ada keterbukaan dan penerimaan terhadap pihak lain yang duduk berseberangan (recognition atau pengakuan) „. Karena itulah dalam proses mediasi, kita berelasi dengan orang lain dengan cara-cara yang konsisten menghormati martabat serta potensi setiap manusia. Dengan demikian, kita tetap memperlakukan setiap pribadi dengan penuh hormat serta menolak bentuk-2 pelecehan, pencemaran nama baik, atau serangan yang ditujukan terhadap pribadi/kelompok. Dengan memperhatikan aneka kebutuhan ini, tujuan dan harapan mereka, mediator mendorong mereka agar mempertimbangkan semua opsi yang terbuka untuk kemudian membuat sendiri keputusan-2 menyangkut persoalan, bukan menunggu orang lain membantu mengatasi aneka masalah yang mereka hadapi dengan cara arbitrasi (mengadili) atau mendikte. Mediator berusaha menwujudkan agenda ini bukan lewat „keberpihakan: melainkan dengan memfasilitasi proses-2 interaksi yang menunjang, pemberdayaan/empowering dan pengakuan. Dengan demikian, mediasi menolong mereka bertanggungjawab atas aneka keputusan yang mereka ambil. Mediasi bisa memberikan landasan untuk mengubah hubungan mereka serta mulai bekerja sama untuk berbagai hal, saling mengklarifikasi informasi, bahkan bersama-sama mengubah struktur-struktur yang menjadi sumber konflik. Nah, bukankah ini semua merupakan bagian implementasi Amanah Agung menjadi Juru Kasih dan Juru Damai yang kita terima dari Kristus sebagai Kepala Gereja. Sebuah pelayanan yang mengerti hukum, pencari solusi dan mendamaikan. Untuk itu, rekomendasi saya, hendaknya kita memikirkan pembinaan dan pelatihan Mediasi bagi warga Gereja, Pelayan. Tidak terlena kepada rutinitas pelayanan dan kemudian reaksioner dan bingung ketika konflik terjadi. Syalom.

Sunday, February 24, 2008

Siapa Yang Kita Undang Hadir di perahu Kehidupan Kita?

Nats : Markus 4 : 35-41 Disampaikan pada Khotbah Ibadah Minggu, 24 Februari 2008, di HKI Jumasaba Simpang 2, P. Siantar
Oleh : Pdt. Happy Pakpahan
Risalah Nats Tatangan pertumbuhan iman bagi orang percaya bukan hanya didapat dari luar yang bersangkutan seperti tantangan mendirikan rumah ibadah, hambatan mengekspresikan iman percaya melalui nyanyian dan persekutuan ibadah, melainkan adalah ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Rasa takut itu bukan barang baru dalam perjalanan kekristenan. Mulai dari Kitab Perjanjian Lama kita bisa melihat kisah ”ketakutan”, seperti Musa yang takut ditangkap setelah membunuh seorang Mesir kemudian lari ke tempat pamannya Laban, Bangsa Israel yang takut – khawatir mati kelaparan di perjalanan Padang Gurun, Yakub yang takut kepada Esau setelah mencuri hak kesulungan, bahkan para Murid-murid Tuhan Yesus juga pernah ketakutan ”massal” dengan mengurung diri dirumah yang tertutup rapat pintu dan jendelanya ketika Tuhan Yesus telah meninggal di Kayu Salib. Ketakutan merupakan sisi manusiawi. Persoalannya adalah bagaimana kita mengatasi rasa takut dan khawatir itu. Tuhan Yesus dalam beberapa pengajarannya selalu mengabarkan ”jangan takut”, ”jangan khawatir”. Bahkan ada banyak ayat di Perjanjian Baru yang berisikan peringatan agar manusia Jangan Takut dalam kehidupan ini. Dan salah satunya adalah dalam Nats kita kali ini. Dikatakan setelah mengajar, Tuhan Yesus memerintahkan agar "Marilah kita bertolak ke seberang." (ay. 35). Ini adalah hakiki Pemberitaan Injil. Bergerak. Tuhan Yesus hadir kedunia ini bukan sebagai Allah lokal, kesukuan. Akan tetapi Allah semesta. Yang keselamatan dan ajarannya berlaku pada semua suku bangsa. Sehingga pemberitaannyapun harus terus bergerak. Inilah yang kemudian diwariskan kepada Gereja. Misi Gereja melalui Marturya, Koinonia, dan Diakonia harus terus bergerak. HKI sendiri, terus memperbaharui dan bergerak dalam Misi. Belakangan setelah mengembangkan misi di Daerah Sumatera Bagian Selatan, Gresik Surabaya, kita akan mengembangkan misi ke Kalimantan. Kemudian pola misi juga sudah memamfaatkan tehnologi informatika dengan bermisi melalui website dan majalah binawarga online di internet. Dan ini bukan hanya tanggung jawab HKI sebagai satu institusi, melainkan tanggung jawab masing-masing orang percaya, saya, anda dan kita secara bersama. Sebagai Pendeta, Guru, pedagang, anak kampus dll. Kemudian mereka menyeberangi sebuah danau. Danau ini adalah danau Galilea, sebauh danau yang sangat istimewa. Dari penampilannya, ia mempesona karena keindahannya. Airnya jernih dan sejuk. Ada pegunungan & juga tempat-2 terkenal yg mengitarinya, seperti Tiberias dan Kapernaum. Namun, danau Galilea masih punya sebuah pesona lain. Saat itu Yesus dan murid-2Nya sedang ada di dalam perahu dan hendak menyeberang, tiba-tiba mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu penuh dengan air. Murid-murid sangat cemas dan dilanda kepanikan menghadapi situasi itu, padahal sesungguhnya mereka adalah para nelayan yang biasa mencari ikan di danau Galilea. Pengalaman dan keterampilan mereka sebagai nelayan rupa-rupanya tidak mampu mengatasi keadaan saat itu. Dimana Tuhan Yesus ? Tidur. Dikatakan Tuhan Yesus tertidur. Sangat manusiawi, ketika sudah melakukan banyak sekali pemberitaan pengajaran, Tuhan Yesus kelelahan kemudian tertidur. Murid kemudian membangunkan Tuhan Yesus. Dari kalimat ayat 38 : Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Murid seolah memposisikan Tuhan yesus sebagai orang yang tidak peduli karena mengambil sikap tidur, sedangkan yang lain sudah panik seolah-2 kematian massal telah menunggu. Mereka lalu membangunkan Yesus yang sedang tidur di buritan. Yesus lalu bangun dan segera menghardik angin itu dan berkata kepada danau itul ”Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Tuhan Yesus memperlihatkan kuasanya dan membuat danau tenang. Kuasa Alam takluk dibawah kuasa Tuhan Yesus. 4:41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya.
Jemaat terkasih, dari kisah ini apa kemudian yang bisa kita refleksi dan ambil amanahnya ? 1. Hidup ibarat perjalanan di sebuah danau menuju sebuah tempat. Hidup juga penuh pesona seperti danau Galilea. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada pula yang menyeramkan. Ada yang melegakan, ada juga yang mengenaskan. Ada moment yang bahagia : pernikahan, kelahiran anak, lulus sekolah, gajian pertama, kelahiran cucu, dapat untung. Tapi tidak diduga-2 : ada moment yang menggetirkan, yang membuat rasa takut, khawatir. Ketika terancam masa depannya, terancam keselamatan nyawanya, terancam rejekinya, terancam kedudukannya dan sebagainya manusia bisa berada dalam keadaan takut. Kondisi bangsa kita saat ini masih memprihatinkan. Krisis, sampai sekarang keadaan belum juga menunjukkan perbaikan, beaya hidup yang semakin tinggi sementara penghasilan tidak sebanding. Semakin bertambahnya angka pengangguran karena banyaknya PHK dan kecilnya tersedia lapangan kerja, akibatnya kejahatan juga semakin meningkat. Semakin rapuhnya rasa persaudaraan yang selama ini menjadi perekat bangsa kita yang berakibat orang semakin mementingkan kelompok atau golongannya sendiri. Membangun rumah ibadah juga semakin dipersulit. Mewabahnya beberapa penyakit, sementara beaya pengobatan semakin tinggi. Semua keadaan ini dapat dianggap sebagai ancaman bagi hidup dan masa depan banyak orang, bahkan masa depan bangsa kita. Keadaan masyarakat yang penuh kesulitan, persaingan dan ketidak-pastian hidup, pembatasan mengekspresikan imannya lewat ibadah dan kegiatan-kegiatan akan dapat menjadi penyebab munculnya ketakutan. Dan ini dapat menjadi sumber ketakutan. Pengalaman hidup kita kadang tidak berarti jika ada badai tertentu menerpa kita. Kita akan ketakutan dan khawatir. Pertanyaannya adalah siapa teman kita melewati perjalanan itu. Kalau kita ingat-2, ditahun lalu, 2007, berapakali badai itu menghanyutkan ”kapal” kita, mengolengkan kapal kita ? Kemudian mengapa kita tetap bisa ”survive” hingga kini? Siapa penolong yang memulihkan kita ? Disaat krisis, harta dan kekayaan tidak dapat menolong. Dalam Yeremia 9: 23-24, Beginilah firman Tuhan: Jangalah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku. Bisa terjadi ketika kita mapan kita mengangap semua akan baik-2 saja ditopang kemapanan kita. Disini kita mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita sendiri. Inilah yang terjadi ketika Pada waktu itu, tahun 1914, adalah sebuah kapal yang sangat mewah serta yang paling besar yang pernah dibuat dalam sejarah manusia. Panjang kapal tersebut 270 m, berat satu jangkar (sauh) saja 15,5 ton. Pada bagian dasar dari kapal ini, dibuat dua bagian pelapis untuk memberikan perlindungan ganda. Pelapis yang kedua tebalnya hampir 2 m. Para insinyur yang merancang kapal tersebut telah memperhitungkan kemungkinan terjadinya bahaya. Jadi, mereka mendesain kapal itu sedemikian rupa, sehingga apabila misalnya terjadi sebuah tabrakan/ benturan dahsyat, satu bagian dari kapal akan tetap bisa terapung dilaut dan tidak akan tenggelam begitu saja. Jadi, semuanya sudah diperhitungkan dengan sangat rinci, tidak ada yang luput sedikipun. Oleh karena itu, nama kapal tersebut diberi nama Titanic, yang berasal dari kata Titan yang berasal dari mythologi Yunani, yaitu makhluk super dewa yang kemampuannya jauh diatas manusia. Bukan cuma secara technology saja orang mengagumi Tetanic, melainkan kemewahannya juga: Kapal ini terdiri dari sembilan lantai, yang dilengkapi dengan lift (ingat pada waktu itu, lift merupakan barang yang langkah dan sangat mewah luar biasa). Punya lapangan tenis, kolam renang, ruang dansa (ball rooom), Restoran super mewah, serta casino. Sangkin hebatnya kapal Titanic ini, sampai pada waktu itu, orang- orang mengatakan bahwa:Kita tidak memerlukan perlindungan Tuhan, karena kapal ini tidak akan tenggelam. Bahkan Tuhan sendiri tidak bisa membuat kapal ini tenggelam. Dikelas satu, yang seharga U$ 4300/ kamar, terdiri dari beberapa orang komlomerat (multi milyuner), diantaranya: John Jacob Astor, seorang multi- milyuner yang masih muda (kekayaannya U$ 150 juta) - Benyamin Guggenheim- seorang pemilik pabrik baja (kekayaannya U$ 95 juta) Dalam pelayaran perdana Titanic, para penumpang begitu yakin, bahwa mereka akan sampai ke New York dan membawa kenangan yang manis. Tetapi apa yang terjadi? Sejarah mencatat, bahwa ketika kapal Titanic menabrak gunung es, para penumpang sedang: Melantai dengan irama lagu yang - Main judi - Makan- minum di restoran. Tidak ada yang menyadari bahwa pada waktu itu Tuhan sedang membuktikan keterbatasan manusia. Jangankan hari esok, apa yang akan terjadi satu jam lagi kita juga tidak tahu. Self-confidence adalah seseorang yang bersandar kepada pengertiannya sendiri atau mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga menjerumuskan orang tersebut kedalam kesombongan. Dalam Yeremia 17: 5, Beginilah Firman Tuhan: Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan! Kapal Titanic dibuat dengan predikat: Kapal yang tidak bisa tenggelam. Dan yang paling lancangnya, mereka berani berkata, sekalipun Tuhan sendiri tidak akan bisa membuat Titanic tenggelam. Jadi, peristiwa Titanic ini merupakan suatu bukti bahwa manusia itu sangat terbatas. Yeremia 17: 7- 8 kemudian berkaya, Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti.. Ada tiga hal diumpamakan apabila kita mengandalkan Tuhan: Ia seperti pohon yang ditanam ditepi air, yang akar- akarnya terus mendapatkan air. Ia tidak akan mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau. Ia tidak kuatir dalam tahun kering, sebab ia terus menghasilkan buah. Jadi,mulai hari ini saudara harus ingat baik- baik, bahwa kita tidak boleh mengandalkan kekuatan manusia. Kembali kepada Markus 4: 35- 41! Sekalipun kapal yang dinaiki oleh murid- murid pada waktu itu, hanya sebuah kapal yang kecil, sederhana, terbuat dari kayu, tetapi, ketika badai besar datang, kapal ini tidak jadi tenggelam, karena ada Yesus. Sekalipun perahu hidupmu seperti Titanic, tetapi kalau tidak ada Yesus, maka perahu hidupmu akan tenggelam.
2. Keberimanan yang rapuh. Ketakutan murid Tuhan Yesus menunjukkan iman yang rapuh. Ironis memang, baru saja sebelum menyeberang Yesus mengajar bahwa Ia adalah Anak Allah sumber kehidupan. Kini ditengah danau mereka sudah takut yang berlebihan, seolah pengajaran itu tidak berbuah apa-apa di hidup mereka. Murid dianggap benih yang tumbuh bebatuan (bnk perumpamaan sebelum ayat ini ). Ini juga bisa terjadi bagi kita. Sudah berapa lama anda Kristen, sudah berapa ratus atau ribu kali mendengarkan kotbah, bernyanyi, berdoa ? Apakah itu semua mengubah hidup kita ? Atau jangan-jangan ketika ada ”badai” tantangan kita langsung ”mandele”?. Apakah kita justru sering mengalami ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan. Kita tahu bahwa perasaan takut dapat berdampak negatif pada seseorang, misalnya: 1. Orang menjadi bersikap apatis, mengurung diri. 2. Orang menjadi nekat, karena merasa tertekan. 3. Orang dapat terganggu kesehatan fisik maupun mentalnya, dan lain sebagainya. Firman Tuhan katakan jangan kuatir; dalam bahasa Yunani disebut "Merime" yang artinya terjebak dalam kecemasan. Orang yang kuatir itu sedang terjebak di dalam kekuatiran atau kecemasannya sendiri. Karena bila kita terjebak di dalam kekuatiran dan kita tidak mampu lagi mengatasi rasa kuatir itu, maka akan timbul dampak-dampak yang merugikan dan merusak hidup kita sendiri, dan Tuhan tidak ingin hal itu terjadi.Ada seorang anak disekolahkan di Amerika, khusus untuk membuat roti. Setelah selesai sekolahnya, dia mulai bekerja di toko roti. Waktu bekerja, dia mulai kuatir akan kemajuan toko tempatnya bekerja. Dia pindah kerja ke toko yang lain, dan mulai kuatir lagi akan keadaan toko tempat kerjanya yang baru, lalu dia pindah lagi dan kuatir lagi, begitu seterusnya, sampai terakhir dia keluar dalam keadaan depresi berat, dia terjebak dalam kekuatirannya sendiri dan tidak dapat mengatasinya. Ibunya mengundang seorang hamba Tuhan untuk mendoakan, tetapi dia tidak mau didoakan. Satu hari ketika tidak ada orang di rumah, anak ini menggantung dirinya sendiri. Ibunya pulang dan menemukan anaknya telah mati gantung diri. Ini orang Kristen, yang percaya Tuhan.Saudara, hati-hati dengan rasa kuatir yang timbul di hati kita, jangan sampai kita terjebak di dalam kekuatiran, jangan biarkan rasa kuatir itu bergulung seperti bola salju yang makin lama makin besar sampai puncaknya kita tidak mampu mengatasinya lagi dan malah menghancurkan hidup kita. Pikiran yang kalut dan panik sering menjadikan orang tidak mampu melihat dan berfikir dengan benar. Mereka tidak mampu melihat kehadiran Tuhan. Padahal Tuhan peduli pada pergumulan mereka. Kehadiran Tuhan Yesus memberikan harapan dalam pergumulan dan perjuangan. Kehadiran Tuhan Yesus menunjukkan kepeduliannya terhadap para murid. Berita ini tentu menjadi pengharapan setiap murid Tuhan Yesus, termasuk kita yang hidup dijaman sekarang ini. Kemampuan merasakan kehadiran-Nya tergantung apakah hati kita tidak tertutup gelapnya awan kepanikan, ketakutan dan berbagai pergumulan hidup. Amin Saudara ? Ekonomi boleh digoncangkan, politik boleh digoncangkan, sekitar kita boleh digoncangkan, tetapi kita telah masuk di dalam Kerajaan Allah yang tidak tergoncangkan. Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk kita kuatir. "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Fil 4:6-7).
3. Apa yang harus kita lakukan mengatasi rasa khawatir ?
Filipi 4:6 katakan ...nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam DOA dan permohonan dengan UCAPAN SYUKUR. Ada 2 hal yang harus kita lakukan menghadapi kekuatiran yaitu berdoa dan bersyukur. Doa akan memutuskan rasa kuatir kita. Pada waktu kita kuatir, kita harus berdoa. Waktu kita berdoa maka rasa kuatir itu dikalahkan dan dihalaukan di dalam nama Tuhan Yesus. Kita harus berdoa dengan ketulusan hati dan dari dalam hati kita yang terdalam. Kita minta ampun atas segala dosa kita di masa yang lalu, lalu kita berdoa untuk hari ini dan untuk masa yang akan datang supaya tidak merasa kuatir lagi. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh dan percaya. Percuma kalau hanya berdoa panjang-panjang dan berkali-kali namun tidak disertai dengan kesungguhan hati dan percaya apa yang didoakan di dalam nama Tuhan Yesus pasti Tuhan dengar.Setelah kita berdoa menghalaukan rasa kuatir kita, maka yang berikutnya harus kita lakukan adalah bersyukur. Doa itu ada pasangannya, yaitu mengucap syukur. Jadi kalau kita berdoa, kita juga harus mengucap syukur. Waktu kita berdoa dan kita percaya Tuhan mendengar doa kita maka kita akan bersyukur kepada Tuhan sebagai tanda kita percaya doa-doa kita telah didengar dan dijawab Tuhan.Walau mungkin sakit-penyakit kita rasanya belum disembuhkan Tuhan, doa-doa kita rasanya belum dijawab Tuhan, kita tetap bersyukur kepada Tuhan sebagai tanda kita percaya Allah pasti menjawab doa kita. Kalau kita telah sungguh-sungguh berdoa dan bersyukur menghalau kekuatiran kita, maka hasilnya: "Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." Itulah yang menjadi kekuatan kita! Berapapun uang kita miliki, kita tidak dapat membeli yang namanya damai sejahtera. Damai sejahtera hanya bisa dibeli dengan kita duduk di kaki Tuhan, berdoa dengan sungguh-sungguh, bersyukur kepada Tuhan, dan satu hal harus kita serahkan kepada Tuhan. Akhir kata, menjalani hari-hari kita, mari kita mengundang Yesus dalam perahu hidup anda. DIAlah yang akan menghentikan badai di kehidupan kita. Amin.

Saturday, February 23, 2008

Iman Yang Berbuah Pengembangan Aksi Atas Keprihatinan Sosial

Tantangan Keberimanan Refleksi 2 Raja-Raja 4 : 42-44 - Oleh Pdt. Happy Pakpahan
Dikotomi Dalam Keberagamaan Dalam keagamaan, bisa saja dalam memandang dunia, manusia cenderung bersikap dikotomi. Suatu bentuk kecenderungan memisahkan arti & praktis sesungguhnya istilah spiritualitas dan aktifitas social duniawinya. Secara teologis “pembedaan” seperti ini dapat mendorong orang beriman memandang Allah sebagai “Yang Kudus” tetapi sekaligus berada jauh dari kehidupan konkret manusia sehari-hari. Beriman kepada Allah sekaligus akan dipahami sebagai pengambilan jarak terhadap dunia, karena dunia dianggap jahat. Ini berarti dapat mendorong manusia menjauhkan diri dari masalah-masalah sosial – politik yang ada disekitarnya. Suatu bentuk pemahaman iman yang timpang. Sehingga manusia yang demikian lantas dapat saja cenderung menginginkan gereja atau lembaga keumatan hanya berurusan dengan hal-hal rohani saja, sambil sedapat mungkin menjauhkan diri dari hal-hal duniawi seperti persoalan social dll. Hal ini tampak dalam pandangan bahwa : “ Gereja tidak usah mencampuri kebijakan social-politik-hukum Negara, sekalipun kebijakan tersebut notabene menghambat keadilan social ekonomi, yang mempengaruhi kehidupan beriman umat. Gereja hanya boleh memikirkan persoalan gerejawi yang bernama surga”, Tugas gereja hanya membantu orang lain masuk kekerajaan spiritualitas yang diberi nama surga. Dan dalam perkembangan teologi pembebasan, hal ini biasanya dikembangkan orang yg berkuasa mempertahankan status quonya, mengkondisikan dan menghindari aktifis Gereja mencampuri kebijakan social-ekonomi-politik Negara atau kekuasaan yang kemudian dapat menjadi “lawannya”. Akan tetapi persoalan keadilan sosial tidak bisa telepas dari pelayanan kerohanian. Pelayanan holistic-pelayanan konkret umat harus menjadi solusi pelayanan rohani Umat. Tidak ada dikotomi spiritualitas dan duniawi. Kerohanian juga harus menyentuh persoalan politik-sosial-ekonomi-budaya-hukum kehidupan umat. Allah adalah Allah yang mendirikan kemahnya ditengah-tengah umatNya. ( Im. 26 : 11 ). Ia memihak minoritas Yahudi dihadapan kemahakuasaan Firaun ( Kel 12 : 40-41). Mengutus nabiNya ( Amos, Yesaya, Yeremia dll) untuk mengecam pemerintahan yang meminggirkan rakyat kecil dan yang melakukan kekerasan. Dan menentang ketidak adilan dan penindasan ( Amos 7 : 14-15 ; Za 7 : 10). Oleh karena itu pertobatan juga menuntut solidaritas sosial.
Iman, Jalan Menuju Karya Muzizat Elisa adalah Nabi Allah setelah Nabi Elia. Pasal 3 – 7 adalah berisikan karya-karya mujizat kuasa Allah melalui nabiNya Elisa. Konteks zaman ketika itu sedang berada dalam keadaan kering dan kelaparan. Sehingga hadiah 20 buah roti dan satu kantong gandum baru dari seseorang yg bernama Baal Salisa kepada Elisa adalah sangat berharga. Dan sebagai pihak yg menerima, Elisa sebenarnya bisa saja secara bebas menyimpan untuk kepentingannya. Akan tetapi ia tidak memakai haknya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan menyuruh pembantunya membagikannnya kepada 100 orang yg sedang berkumpul. Elisa merasa memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan orang-orang yang ada disekitarnya. Dari sini bisa kita lihat bahwa figure Elisa adalah seseorang yg solider, tidak egois, Ia tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri atau mengejar keuntungan buat dirinya sendiri. Ia mau membagikan berkat untuk orang lain. Elisa memberi teladan pelayanan bersifat holistic, pelayanan rohani dan jasmani – suatu bentuk pelayanan yang menyentuh kebutuhan konkret umat. Ditengah kesulitan perekonomian di Ripublik Indonesia ini. Ditengah menipisnya ketidak pedulian social saat ini. Spirit berbagi seperti ini sangat dibutuhkan untuk dikembangkan. Perintah ini membuat para pembantu Elisa keheranan, “bagaimana mungkin 20 roti dapat mencukupi 100 orang”. Para pembantu masih terbatas pikirannya akan pikiran manusia. Akan tetapi Elisa melakukan hal ini atas dasar kehendak TUHAN. Kemampuan manusia memang terbatas akan tetapi kekuasaan Tuhan tidak bisa diukur oleh kemampuan dan logika manusia. Tidak ada hal yg mustahil bagi Allah. Dan hal ini kemudian terbukti bahwa orang banyak itu ternyata tercukupi makannya dengan logistic yg terbatas bahkan kemudian bersisa. TUHAN bekerja dengan kuasaNya atas roti-roti itu. Dari sini bisa kita lihat bahwa Elisa adalah orang yg beriman, dia sangat meyakini bahwa Firman Tuhan berkuasa. Tanpa iman dan keyakinan kepada Firman TUHAN, tidak mungkin Elisa memerintahkan pembantunya untuk membagikan roti itu. Iman bisa membuat adanya suatu muzizat. Iman jalan menuju suatu karya muzizat.
Mengembangkan Perhatian Sosial Di tengah dunia yang menakutkan ini -- penduduk dunia menghadapi ketidakpastian ekonomi, sosial dan politik, serta makin merosotnya moral dan meningkatnya kejahatan. Karya pelayanan Elisa ini memberi kita teladan, karena mengetahui bahwa Tuhan meneladankan suatu hubungan pelayanan yang holistic menjawab pergumulan manusia. Dari sini kita peroleh pemahaman bahwa gereja yang sehat adalah adanya kesadaran social yang hidup diantara umatnya – adanya suatu solidaritas untuk saling berbagi. Di sekitar Gereja, sebagai kelembagaan yang berada ditengah masyarakat yang tidak mengasingkan diri dari dunia social, senantiasa dijumpai banyak orang yang miskin, sakit secara mental, sakit secara tubuh di rumah sakit atau rumah perawatan tertentu, mereka yang berada di dalam penjara, dan mereka yang menderita karena masalah-masalah keluarga. Gereja-gereja harus melatih anggota-angota jemaatnya untuk menjadi kelompok-kelompok dengan tugas pelayanan khusus secara lokal dan mengarahkan perhatian gereja untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang timbul di daerah di mana gereja berada. Pelayanan yang holistic. Pelayanan umat Allah bukan hanya pelayanan mimbar melainkan juga pelayanan meja (bnk. Kis. Kepekaan dalam melihat ini diperlukan oleh para hambaNya. Pelayanan Gereja juga harus memberikan solusi atas persoalan konkret umatNya. Jika persoalan adalah “perut” maka jangan janjikan hanya persoalan nanti di surga melainkan pelayanan solusi yang memberdayakan mereka mencari makan. Demikian juga pelayanan pendampingan hukum dan pendampingan ekonomi. Bisa saja pelayanan solidaritas social – pelayanan berbagi ini terhambat karena setiap orang merasa belum cukup, ada rasa pelayanan berbagi ini hanya bisa dilakukan oleh umat yang berkelebihan. Sehingga sama seperti para pembantu elisa, kita sering merasa pesimis terhadap pelayanan kita. Sehingga program pelayanan sering tertunda atau dibatalkan karena rasa under estimate. Karena itu, belajar dari kisah pelayanan Elisa ini, banyak hal yang dianggap tidak mungkin bagi manusia adalah hal yang mungkin dan biasa terjadi bagi Allah. Allah memampukan umatNya dalam pelayanan. Dan karya ini juga bisa melalui para hambaNya, lintas waktu dan tempat termasuk di pelayanan HKI di mana kita berada. Banyaknya agama / agama alternatif dan sekte yg sesat muncul pada saat ini, untuk menjawab hal yg dianggap tidak dijawab oleh Agama “konvensional”. Termasuk hal mencari solusi atas kegelisahan umat dibidang social-ekonomi-politik dan pergumulan batin. Kita memang dianjurkan agar jangan memberikan ikan kepada orang miskin tetapi pancing, yang membuat mereka mampu mencari sendiri ikan bagi kehidupan mereka. Akan tetapi system politik dan ekonomi tertentu sebetulnya sudah membendung sungai dan meracuni air bahkan hampir disemua sungai dimana ada ikannya. Monopoli sudah dikokohkan dan dimana-mana didirikan, rambu-rambu larangan memancing ditetapkan penuh dengan sanksi keras yang memustahilkan para rakyat kecil pembawa pancing untuk menangkap ikan sehari-hari mereka. Soalnya memang bukan hanya memberi alat pancing akan tetapi bagaimana system pengaturan lahan pancingan nafkah itu diatur. Amin.

PEKA TERHADAP PANGGILAN TUHAN

Belajar Dari Kitab 1 Samuel 3 : 1- 10 Pdt. Happy Pakpahan
Pengantar Kepada Kitab Samuel Buku I Samuel berisi sejarah Israel dalam masa peralihan dari zaman Hakim-hakim kepada zaman Raja-raja. Dari lingkup waktu, isi Kitab 1 Samuel meliputi hampir seratus tahun sejarah Israel – dari kelahiran Samuel hingga wafatnya Saul (sekitar 1105-1010 SM) – dan merupakan mata rantai sejarah yang utama di antara masa para hakim dengan raja Israel yang pertama. Jelasnya, 1 Samuel meliput tiga peralihan utama dalam kepemimpinan nasional: dari Eli ke Samuel, dari Samuel ke Saul, dan dari Saul ke Daud. Dalam Konteks Zaman dan Penulisan, memang TUHAN sendiri sudah dianggap Raja di Israel, tetapi untuk menanggapi permohonan rakyat dan berhubungan langsung, TUHAN memilih seorang raja bagi mereka. Hal yang penting ialah bahwa baik raja maupun rakyat Israel hidup di bawah kedaulatan Allah, Hakim mereka (2:7-10). Di bawah hukum-hukum Allah, haruslah dijamin hak seluruh rakyat, kaya maupun miskin. Pokok Kitab ini, sama seperti kisah-kisah lainnya dalam Perjanjian Lama, ialah bahwa seseorang akan berhasil kalau setia kepada Allah, dan celaka kalau mendurhaka. Hal itu dinyatakan dengan jelas dalam pasal 2:30 ketika TUHAN berkata kepada Imam Eli, "Yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi yang menghina Aku akan Kuhina." 1 Samuel menguraikan titik peralihan yang kritis dalam sejarah Israel dari kepemimpinan para hakim kepada pemerintahan seorang raja. Kitab ini menyatakan ketegangan di antara pengharapan bangsa itu akan seorang raja (seorang pemimpin yang lalim, "seperti pada segala bangsa-bangsa lain," 1 Sam 8:5) dan pola teokratis Allah, dengan Allah sebagai Raja mereka. Kitab ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketidaktaatan Saul dan pelanggarannya terhadap tuntutan-tuntutan teokratis jabatannya membuat Allah menolak dan menggantikannya sebagai raja. Dan saat itulah hadir Samuel, seorang tokoh yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin rohani Israel yang tangguh dan yang dipakai Allah untuk mengatur kerajaan Teokratis. II.
Panggilan Terhadap Samuel, Sebagai Amanah Kontekstual Kisah kitab Samuel ini diawali dengan pergumulan seorang ibu bernama Hana yang sangat merindukan seorang anak, yang akan ia serahkan kepada Tuhan untuk melayani Bait Allah. Kerinduan Hana menggambarkan kerinduan bangsa Israel akan Firman Tuhan yang sudah sangat lama tidak pernah lagi mereka dengar. Hal ini terjadi karena Eli yang menjabat sebagai Imam bangsa Israel tidak berani tegas terhadap tindakan anak-anaknya yang berbuat jahat dimata Tuhan. Mereka mempermainkan persembahan untuk Tuhan dan melakukan banyak hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Iman Eli tidak lagi peka terhadap sapaan Tuhan karena ia membiarkan kejahatan berlangsung di depan matanya. Kehadiran Samuel menggambarkan lembaran sejarah baru bagi bangsa Israel yang pada waktu itu telah kehilangan pegangan sehingga suasana hidup menjadi lesu dan tidak ada lagi niat untuk berjuang dalam kehidupan ini. Melalui diri Samuel inilah, Allah kembali menyatakan kehendak-Nya bagi bangsa yang sudah putus asa ini. Dan masa karir pelayanan Samuel ini mengalami proses yang diawali kisah yang digambarkan Nats pada Kotbah Minggu ini. Dikisahkan, setelah Samuel lahir, ia kemudian menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Diterangkan pada ayat 1 : Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering. Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil : "Samuel! Samuel!", dan ia menjawab: "Ya, bapa."Lalu berlarilah ia kepada Eli, serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Tetapi Eli berkata: "Aku tidak memanggil; tidurlah kembali." Lalu pergilah ia tidur. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi. Samuel pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta berkata: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Tetapi Eli berkata: "Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali." Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Ia pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: "Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?" Lalu mengertilah Eli, bahwa TUHANlah yang memanggil anak itu. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: "Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar." Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. (4-9). 3:10 Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar." Jemaat Kristus, hal menarik yang perlu kita perhatikan dari diri Samuel adalah ketulusannya untuk mendengarkan Allah seperti yang diungkapkan dalam panggilan yang ke empat, “berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar”. Kata mendengar dalam bahasa aslinya adalah shama yang jika kita baca dalam kamus bahasa Ibrani artinya to hear intelligently - seringkali digunakan dalam pengertian attention, obedience. Artinya, kata mendengar di sini tidak hanya sekedar mendengar tetapi lebih pada arti ” memperhatikan dengan sungguh-sungguh ”. Ini dapat kita relevansikan bahwa perlu kepekaan terhadap panggilan – teguran – petunjuk TUHAN. Peka terhadap sapaan Tuhan mempunyai makna mendengar dengan sungguh-sungguh Allah yang berbicara kepada umat-Nya melalui Alkitab sebagai FirmanNya, melalui berbagai peristiwa dalam kehidupan ini dan sekaligus kesiap sediaan untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. ”Peka terhadap sapaan Tuhan” itulah yang diperlihatkan samuel. Jemaat Kristus, hal ini menarik. Samuel peka terhadap sapaan atau seruan yang memanggil namanya walaupun ia tidak sadar seruan itu berasal dari Tuhan. ”Dengan segera, dan dengan cekatan beraksi, menyatakan siap, menerima perintah, siap disuruh”, dia sangat peka terhadap panggilan namanya. Makin unik lagi, karena panggilan yang sama sampai ketiga kali, tetapi ketiga kalinya ditanggapinya dengan serius dan siap menerima perintah, dia menganggap perintah itu dari bapaknya imam eli. Untunglah, dibawah pengawasan imam Eli, Samuel mendapat bimbingan untuk sampai kepada sumber panggilan itu yaitu Allah. Akhirnya samuel menjawab panggilan itu untuk mendengar berita penting, berita pembaharuan Isral yaitu adanya penggantian pemimpin, sebagai hakim, sebagai imam ditengah umat Israle, yaitu samuel sendiri. Dan kemudian Samuel melaksanakan panggilan itu dan TUHAN menyertai dia dan tidak ada satupun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur. Jemaat TUHAN terkasih, baiklah kita bercermin dari pengalaman Samuel ini, mari merenungkan, sudah berapa kali suara TUHAN kita dengar dalam berbagai cara, apakah kita peka sehingga membawa pembaharuan hidup bagi sesama bagi Gereja, jemaat Tuhan lainnya dan bagi kita sendiri? Layaknya yang dilakukan Eli pada Samuel, bimbingan pun telah banyak kita terima, kita pelajari untuk mengenal suara Tuhan. Tetapi apakah kita peduli dan peka atas suara Tuhan itu ? Marilah kita belajar mendengar dengan sungguh-sungguh suara dan panggilan Allah yang datang tidak hanya terbatas dalam ruang aktifitas lingkup gereja saja tapi juga dalam seluruh peristiwa dalam kehidupan kita. Layaknya diteladankan kisah Samuel, kepekaan terhadap suara Allah memberikan keberanian kepada kita untuk melakukan sesuatu yang baik bagi diri sendiri, keluarga, Gereja dan situasi bangsa dan negara kita yang saat ini masih terus mengalami situasi yang sulit.
Kepekaan Terhadap Panggilan Tuhan - Melakukan Tritugas Panggilan Gereja Hal lain yang bisa kita relevansikan adalah bahwa merenungkan Nats hari ini menghantar kita sampai pada kesadaran akan betapa pentingnya 'saat-saat diam' (saat teduh) di hadapan Allah. Samuel sampai pada kesadaran ini karena dia selalu menyiapkan waktu untuk 'berada' di hadapan Tuhan. Bagi kita orang beriman, moment semacam ini sungguh penting, tidak saja sebagai ungkapan ketergantungan kita kepada Tuhan, tetapi lebih dari itu sebagai kesempatan untuk mencari kehendakNya, "apa yang Tuhan kehendaki daripadaku dalam hidup ini ?" Jawaban Samuel, "berbicaralah sebab hambamu ini mendengar", pertama tama merupakan gambaran akan rutinitas hidupnya dimana saat 'diam' di hadapan Allah menjadi prioritas utama. Dan yang kedua merupakan ungkapan kesediaannya untuk melaksanakan apa saja yang disabdakan Tuhan kepadanya. Inilah pesan dari Nats hari ini. Aktifitas Saat Teduh, saat berdiam diri dihadapan TUHAN ini juga kita jumpai dalam cara hidup Yesus, dimana di tengah kesibukanNya untuk menyembuhkan banyak orang sakit dan mengusir setan, dia sempat meluangkan waktu untuk berdoa dan dalam moment istimewa ini, Dia menemukan kehendak Bapa-Nya untuk beralih ke tempat lain demi mewartakan Injil hingga kemudian mati di kayu salib menebus dosa manusia. "Saat saat diam/saat teduh/doa di hadapan Allah” merupakan moment ”mencharger hidup orang beriman”. Moment inilah yang memberanikan Samuel untuk menyatakan hukuman Allah kepada pembimbing rohaninya Eli karena kejahatan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Moment inilah yang membangkitkan kesadaran pada diri Yesus akan tujuan utama kehadiranNya di dunia. (bnk Doa Tuhan Yesus di Taman Getsemane). Tuhan memanggil kita. Apa yang Tuhan kehendaki dari kita dalam hidup ini? Mungkin cara hidup yang sedang kita jalani merupakan sarana untuk menyatakan kasihNya kepada sesama terlebih mereka yang membutuhkan. Pada saat kita "DIAM" di hadapan Allah, jawaban yang pasti akan ditemukan di sana. Jika kita mencintai Yesus, kita akan mengorbankan hidup kita bagi-Nya. Yesus berkata, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat sahabatnya" (Yoh.15:13), dan la melakukannya bagi kita. la secara harafiah benar-benar melakukannya. Yesus sungguh-sungguh mati di kayu salib bagi penyelamatan kita. Sekarang, karena la mencintai kita dan menyerahkan diri-Nya bagi kita, demikian juga kita yang mencintai-Nya memberikan diri kita kepada-Nya sebagai "Persembahan yang hidup". Paulus menulis, "karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati" (Roma 12:1). Nats dari surat Paulus dikitab Roma ini menarik dan sejajar dengan kisah Samuel. Menjawab panggilan TUHAN, Samuel mempersembahkan dirinya melayani TUHAN. Samuel mempersembahkan yang hidup dan bukan mempersembahkan yang mati. Dan konsep “mempersembahkan yang hidup dan bukan yang mati” ini merupakan ide baru di zaman Paulus, dan jelas telah mulai “dilupakan” di zaman kini karena telah menjadi istilah yang sangat biasa. Karena banyak yang telah mengukurnya dari nominal jumlah uang-materi-barang dan bahkan telah mengukur jasa dalam pelayanan pada TUHAN. Di zaman PL hingga Paulus, pengorbanan selalu berarti pembunuhan (korban bakaran). Di dalam praktek-praktek agama Yahudi, korban dibawa kehadapan imam, dosa dari orang yang membawa persembahan tersebut diakui atas korban dan dengan demikian secara simbolik memindahkan dosa-dosanya kepada korban yang dipersembahkan tersebut. Kemudian korban tersebut dibunuh. Ini merupakan gambaran yang hidup yang mengingatkan kepada setiap orang bahwa "Upah dosa adalah maut" (Roma 6:23) dan bahwa keselamatan para pendosa digantikan secara substitusi. Di dalam gambaran pengorbanan tersebut, korban yang dipersembahkan mati menggantikan tempat manusia yang mempersembahkannya. Korban tersebut harus mati agar orang tersebut tidak mati mati. Tetapi sekarang, dengan ledakan kreativitas Iliahi yang diinspirasikan, Paulus mengatakan bahwa persembahan yang kita persembahkan adalah persembahan yang hidup, dan bukan yang mati. Dan sebenarnya, bukankah ini juga yang dilakukan Samuel menjawab sapaan – panggilan TUHAN dalam Nats ini. Samuel mempersembahkan dirinya menjadi alat TUHAN Allah menyetakan kehendakNya. Ini luar biasa.
Ini juga menjadi refleksi, bagaimana Gereja-Gereja sekarang ini peka terhadap panggilan TUHAN untuk melakukan Tritugas Panggilan Bergereja, Bersekutu - Bersaksi - Melayani (Koinonis-Marturya-Diakonia). Apakah pelayanan mimbar sudah diterjemahkan juga dalam bentuk pelayanan "Meja" ? Bagaimana ketajaman program kita menjawab keluh kesah kekinian yang bersifat multi dimensi ? Ini menjadi tantangan Misi.
Kepekaan Yang Berasal dari Kedekatan
Berkaitan dengan Thema Nats, Peka terhadap panggilan-sapaan TUHAN, muncul pertanyaan : bagaimana caranya untuk bisa mendengar suara atau mengetahui kehendak Tuhan (sesuai dengan Nats Yoh 10:27 : "Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku ")?. Saudara terkasih, semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah (Roma 8:14). Dalam bahasa aslinya kata anak ini dituliskan dengan kata 'huios' yang berarti anak yang sudah dewasa (sekitar 30 thn). Biasanya domba-domba dewasalah yang mampu mengenali suara dari gembalanya dengan baik sedangkan domba-domba yang belum dewasa kurang mampu mengenali suara gembalanya dengan baik. Anak-anak domba yang masih muda mengikuti domba yang telah dewasa untuk bisa mengenali suara gembala mereka. Ketika gembala memanggil maka domba-domba yang dewasa akan mengenali suara tersebut, lalu domba-domba yang lebih muda akan mengikuti mereka. Dari sini kita relevansikan, tidak ada jalan pintas untuk mampu mendengar suara atau mengetahui kehendak Tuhan dengan baik. Dibutuhkan sebuah kedewasaan/kematangan rohani untuk memiliki hikmat ilahi yang dapat membedakan sesuatu itu kehendak Allah atau bukan. Bergaullah dengan Allah dan berkomunikasilah denganNya setiap hari lewat doa Pelajari dengan baik Firman Allah sehingga kerohanian kita bisa bertumbuh menuju kedewasaan. Jika kita hidup intim dan bergaul dengan Allah maka kita bisa memahami keinginan Allah. Semakin kita dewasa rohani maka kita akan semakin mengenal suaraNya dengan baik. Kemudian, persekutuan dengan sesama saudara seiman juga penting, sebab tanpa persekutuan dengan sesama saudara seiman, kita tidak bisa bertumbuh dengan baik. Domba akan mudah tersesat dan dimangsa serigala jika ia sendirian. Saudara terkasih Jemaat Kristus, sampai hari ini, iblis masih berusaha menipu banyak orang dengan berusaha membuat manusia semakin tidak mengenal panggilan dan sapaan Tuhan. Hal lain yang membuat manusia tidak peka terhadap panggilan dan sapaan Tuhan ditengah kehidupan dan tantangannya adalah sikap mengeluh dan kekhawatiran, sebagai akibatnya kita tidak menangkap suara Roh Kudus yang sangat lemah-lembut dan menghibur. Hanya kuatir dan risau yang menguasai hati dan pikiran, bukan suara Firman Tuhan. Padahal seperti yang digambarkan dalam Mazmur 23, bahwa kehidupan itu layaknya sekelompok kawanan domba yang dibimbing menjalani padang luas menuju padang rumput, setiap umat gembalaan Tuhan sebenarnya tidak perlu risau, dan takut sekalipun berjalan dalam lembah kekelaman. Karena jika selalu setia dan "diam" dalam naungan gembalaanNya, maka kita akan dilindungi dan dibimbingNya. Domba harus siap untuk percaya bahwa gada dan tongkat Gembala itu yang membawa penghiburan dan perlindungan. Maka jika demikian, dombaNya yang percaya akan merasakan kesetiaanNya dan kemudian melihat kebaikanNya yang melampaui segala pengertian dan pengetahuan, dan itu akan menyertai sepanjang hidupnya. Amin. (hp-)

Ketika Imu Pengetahuan Manusia Berusaha Menggugat Kebenaran Allah

Refleksi atas Kitab Roma 11 : 25 – 32 Pdt. Happy Pakpahan (Telah diterbitkan dalam MBW HKI) Kesaksian Paulus ; sebuah Panduan Keberimanan
Para Ahli Tafsir mengatakan bahwa Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini diletakkan di depan ketiga belas suratnya yang lain. Paulus menulis surat ini dalam rangka pelayanan rasulinya kepada dunia-suku bangsa nonYahudi. Di surat Roma Paulus meyakinkan orang percaya di Roma bahwa dia sudah berkali-kali merencanakan untuk memberitakan Injil kepada mereka, namun hingga saat itu kedatangannya masih dihalangi (Rom 1:13-15; Rom 15:22). Dia terus menegaskan kerinduan untuk datang dengan segera (Rom 15:23-32). Tujuan Penulisan Kitab ini adalah :(1) Karena jemaat Roma rupanya mendengar kabar angin yang diputarbalikkan mengenai berita dan ajaran Paulus (mis. Rom 3:8; Rom 6:1-2,15), Paulus merasa perlu untuk menulis Injil yang telah diberitakannya selama dua puluh lima tahun.(2) Dia berusaha untuk memperbaiki beberapa persoalan yang terjadi di dalam gereja karena sikap salah orang Yahudi terhadap mereka yang bukan Yahudi (mis. Rom 2:1-29; Rom 3:1,9) dan orang bukan Yahudi terhadap orang Yahudi (mis. Rom 11:11-36). II. Pembahasan NatsTema Surat Roma diketengahkan dalam Rom 1:16-17, yaitu bahwa di dalam Tuhan Yesus dinyatakan kebenaran Allah. Kemudian Paulus menguraikan kebenaran-kebenaran dasar dari Injil. Setelah dibenarkan secara cuma-cuma oleh kasih karunia melalui iman dan setelah mendapatkan keselamatan (pasal 5; Rom 5:1-21), pembebasan manusia dari pergumulan untuk mencapai kebenaran menurut hukum Taurat (pasal 7; Rom 7:1-26), pengangkatan manusia sebagai anak-anak Allah dan hidup baru "melalui Roh" yang menuntun manusia kepada kemuliaan (pasal 8; Rom 8:1-39), Allah sedang mengerjakan rencana penebusan-Nya kendatipun ketidakpercayaan Israel (pasal 9-11; Rom 9:1--11:36). Akhirnya, Paulus menyatakan bahwa kehidupan yang diubah dalam Kristus mengakibatkan penerapan kebenaran dan kasih pada semua bidang kelakuan – sosial kemasyarakatan, dan moral (pasal 12-14; Rom 12:1--14:23). Dan salah satunya yang menjadi pembahasan di perikop ini : Pada Ayat 25 tertulis, Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Semua orang -- baik Yahudi maupun bukan Yahudi -- perlu diperbaiki hubungannya dengan Allah, sebab semuanya sama-sama berada dalam kekuasaan dosa. Hubungan manusia dengan Allah menjadi baik kembali kalau manusia percaya kepada Yesus Kristus dan tidak terhalang oleh anggapan dirinya pandai. Hal ini mempunyai makna yang kontekstual, karena pada saat itu perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya membuat banyak orang tinggi hati, mengkalim dirinya cendikiawan-orang pandai, dan tidak mempercayai bagaimana TUHAN yang Pencipta menjadi manusia dan mati dikayu salib untuk menyelamatkan manusia. Paulus menerangkan, kerahasiaan karya Penyelamatan Kristus diketahui jika kita menyelaminya dalam pengenalan pengetahuan yang didasari iman. Klaim bahwa diri pandai bisa menutup mata iman kita akan hal yang besar ini. Dan karya keselamatan Tuhan Yesus bukan bersifat primordial, terbatas hanya kepada orang Israel saja, DIA Allah bukan Allah kesukuan tetapi bersifat universal. Setiap pribadi yang berasal dari berbagai suku bangsa dapat masuk menjadi persekutuan orang Percaya - anak-anak Kerajaan Allah. Dan ini artinya setiap bangsa-bangsa berhak datang menyembah kepada TUHAN secara kontekstual, memakai budaya dan kesenian budaya yang telah mengalami transformasi makna. 26-28. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan, seperti ada tertulis: "Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Dan inilah perjanjian-Ku dengan mereka, apabila Aku menghapuskan dosa mereka." Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. Jalan manusia diselamatkan adalah skenario Allah. Dan berdasar janji Allah kepada Abraham, bapa kaum Israel, keselamatan akan dihadirkan melalui tengah-tengah bangsa Israel. Dikatakan Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Sion adalah simbol tempat peribadatan bangsa Israel kepada TUHAN. Dan dikatakan, dari sanalah TUHAN akan menyingkirkan kefasikan bagi seluruh keturunan Yakub, bangsa Israel. Memang terjadi penolakan oleh bangsa Israel yang dipimpin para Imam dan Ahli Taurat sampai kemudian menghambat pekabaran Injil yang dilakukan oleh Rasul dan orang percaya lainnya. Akan tetapi Paulus menyampaikan bahwa itu juga bagian dari janji Allah, dan hendaknya jemaat di Roma jangan sampai membenci bangsa Yahudi karena mereka adalah ”kekasih Allah karena nenek moyang”. Ada makna pandangan Paulus bahwa ia yakin orang Yahudi tidak selalu akan menolak Yesus. Dari ayat ini juga dipaparkan Paulus bahwa walaupun bangsa Yahudi banyak yang menghambat Pekabaran Injil, akan tetapi pengampunan dan kasih Allah masih terbuka bagi bangsa tersebut. Sebuah nilai teladan tentang pengampunan. Akhirnya Paulus menulis tentang bagaimana orang harus hidup sebagai orang Kristen, terutama sekali tentang caranya mempraktekkan kasih kepada orang lain. Hidup baru itu tumbuh karena adanya hubungan yang baru dengan Allah. Orang yang sudah percaya kepada Yesus, hidup damai dengan Allah dan dengan sesama. Paulus mengingatkan bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih dan kasihNya tidak akan tertutup oleh karena ketidaktaatan manusia. Ayat 29-32 mengatakan Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya. Sebab sama seperti kamu dahulu tidak taat kepada Allah, tetapi sekarang beroleh kemurahan oleh ketidaktaatan mereka, demikian juga mereka sekarang tidak taat, supaya oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga akan beroleh kemurahan. Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua Kasih Allah tidak didasarkan kepada jasa ketaatan manusia. Tetapi kasih Allah bersifat anugerah diberikan kepada manusia. Allah menunjukkan kemurahanNya ditengah-tengah ketidaktaatan manusia. Dan ini berlaku bukan hanya kepada bangsa Israel tetapi kepada manusia kini dan sekarang. Karena Kasih Allah terbuka pada manusia, tidak dibatasi ruang dan waktu.
Penyangkalan Yang Tetap Terjadi
Saat ini sama seperti dilintasan abad sebelumnya, di satu sisi kita melihat banyak juga manusia yang memegang iman bahwa keselamatan telah dihadirkan melalui Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan kepada Bapa. Tapi disisi lain, banyak orang yang menolak, memandang rendah dan mentertawai ide tentang keselamatan dan pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus Yesus. Dan mereka yang menolak memiliki alasan yang banyak untuk menyangkal hal itu dan bahkan ada yang sampai memakai aksi teror dan kekerasan sebagai ekspresi sebagai seteru Injil. Kemudian, adalagi yang menganggap diri pandai dang kemudian menghasilkan ketidaktaatan dengan menyangkal Karya Keselamatan Oleh Tuhan Yesus berlangsung hingga saat ini. Saya ingat ketika kuliah dalam bagian mata kuliah Filasafat, salah satu orang yang menyangkal Keselamatan dari Tuhan Yesus adalah seorang ahli filsafat Jerman yang bernama Friedrich Nietzsche. Orang ini adalah seorang ahli filsafat yang anti-kristen. Meskipun ayahnya seorang Pendeta, ia melawan segala sesuatu tentang kekristenan. Bukanlah suatu perkara yang luar biasa untuk orang-orang yang dibesarkan dalam keluarga Kristen kemudiannya berbalik dan melawan kekristenan karena jenis kekristenan yang mereka lihat di rumah. Nietzsche adalah seorang yang sangat pandai tetapi entah mengapa ia memiliki obsesi untuk melawan Tuhan. Dari sekian banyak buku yang ditulisnya, salah satunya berjudul "Anti-Kristus", di mana ia menyatakan dirinya sebagai Anti-Kristus. Ia berbalik melawan Allah karena Allah disampaikan kepadanya dengan cara yang salah. Tetapi dengan berbaliknya Nietzsche dari Allah, ia tidak lagi memiliki tujuan hidup. Ia telah kehilangan semua arti hidup. Menolak Injil bearti menolak semua dasar pengharapan. Tidak ada suatu apapun yang kekal, segala sesuatu adalah fana. Nietzsche menjadi gila pada usia 45 tahun dan meninggal 11 tahun kemudian, yaitu tahun 1900. Kisah Nietzsche adalah sebuah bagian upaya manusia yang menganggap diri pandai kemudian menolak Allah. Dan banyak buku, tabloid, brosur, website lainnya, yang atas nama kecendikiawanan dan ilmu pengetahuan, yang berisikan sangkalan dan penolakan terhadap karya penyelamatan oleh TUHAN Yesus Kristus. Ini tantangan Misi diera Tehnologi Informatika saat ini. Karena setiap anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa sekalipun jika mengakses internet maka akan terbuka berbagai aliran ilmu yang tidak sedikit berisikan penyangkalan dan penolakan terhadap keselamatan oleh TUHAN Yesus. Dan itu semua dihadirkan dengan tampilan yang menarik (up to date) dan kalimat-kalimat yang meyakinkan. Karena itu tetap perlu pendampingan dan pendewasaan iman bagi seluruh anggota keluarga agar tidak tergoda dan tergoncang imannya akan pengaruh media.
Jemaat Kristus, di zaman modren ini banyak cara manusia tidak taat dan kemudian menyangkal Allah. Ada banyak kisah kemurtadan dimana seorang yang dulunya Kristen kemudian mengaku telah mempelajari inti kekristenan kemudian tidak puas dengan realita Kekristenan yang dilihatnya dan akhirnya murtad dan menyangkal Allah. Ia kemudian bersaksi dalam berbagai mimbar menyangkal Kristus. Ketidaktaatan hadir juga dalam rupa menyandarkan diri kepada keberuntungan ajiajian dan memakai kuasa kegelapan meraih suatu tujuan tertentu. Banyak orang disamping berdoa kepada TUHAN juga kemudian mengandalkan kuasa susuk dan jasa konsultan feng shui untuk meraih keuntungan – laris dalam usaha – menarik dalam pergaulan dll. Di dunia usaha dan pekerjaan, ketidak taatan kepada TUHAN hadir dalam bentuk tetap korup, kolusi, kekerasan, penipuan takaran timbangan, dan dosa lainnya untuk meraih keuntungan. Didunia hukum ketidaktaatan kepada TUHAN hadir dalam bentuk penyelewengan wewenang dan hukum berdasarkan standard pribadi dan keuntungan yang diperoleh sehingga keadilan seperti dagangan. Akarnya adalah godaan iblis yang menanamkan kerakusan dalam pikiran manusia sehingga berbuat tidak taat dan berlaku curang. Ini semua adalah bentuk meragukan kasih dan pemeliharaan TUHAN seolah jika berbuat benar dan jujur maka tidak akan dapat hidup dan tidak mendapat apa-apa. Dan tragisnya, untuk sampai kepada totalitas ketaatan pada TUHAN, banyak orang yang terbuai pada pola ”masih banyak waktu untuk bertobat ” sehingga tetap larut dan semakin jauh dalam persekutuan Gereja dan lebih memilih ”membahas” di Lapo dari pada bersekutu di Gereja setiap Minggu dan Kebaktian lainnya. Saudara terkasih, Kebenaran Allah telah dinyatakan dalam TUHAN Yesus Kristus karena itu hiduplah didalam DIA. Jangan ada lagi berbagai bentuk penyangkalan dan ketidaktaatan dihadapanNya. Dan Firman TUHAN juga berkata bahwa TUHAN masih membuka kemurahannya untuk pertobatan manusia yang tidak taat kepadaNya. Sebagai pengikut Kristus, jemaat TUHAN diminta untuk tetap hadir sebagai garam dan terang. Garam yang tidak hambar tetapi memberi arti dan terang yang tidak menghanguskan melainkan memberi petunjuk/teladan yang memperbaharui. Serta dipakai sebagai alat menunjukkan kemurahan Kristus yang berlaku sepanjang aktifitas. Ini tekat kita. Amin. Haleluya. (hp,-)

Tuesday, February 12, 2008

Beberapa Puisi Dalam Buku Makariosisme - Happy Pakpahan, 2005

Sederhana Saja

Puisi ini hanya ingin mengatakan itu………………….. Januari, 1990


Aku Masih Disana

Dari gaperta ke Amplas. Dari Amplas ke Tebing, dari Tebing ke Siantar dan Dari Siantar Langsung Ke Tarutung.
Di Tarutung bermalam dua malam, lalu ke Sibolga.
Dari Sibolga nyeberang ke Nias, dari Nias naik Helikopter langsung ke Polonia.
Dari Polonia terbang ke Lampung.
Di Lampung nginap dua hari, Dari Lampung nyeberang ke Merak, dari Merak ke Jakarta.

Di Jakarta nginap tiga hari. Dari Jakarta langsung ke Yogyakarta, dari Yogyakarta terbang ke Surabaya.

Dari surabaya langsung ke Bali, dari Bali nyeberang ke Sorong dan dari Sorong terbang ke Makasar.

Dari makasar terbang ke Samarinda, dan dari Samarinda langsung ke Jakarta. Dari Jakarta langsung ke Merak, dari Merak nyeberang ke Lampung.

Dari Lampung naik bus ke Padang.

Dari Padang tak bisa kemana-mana karena uang habis. Karena itu kirimkan uangmu untuk beli tiket biar kuteruskan puisi ini, karena saat ini aku masih di Padang. Ketika Imajinasi melayang, Jak, 1999 Dedicated For : My Self


Aku Ini Apalah

Aku ini apalah . apanya otak-kukan sudah kau bongkar untuk apanya tugasmu itu,

Aku ini apalah, apanya tanganku kan sudah kau pegang untuk gandengan isi hatimu,

Aku ini apalah, apanya kakikukan sudah kau injak untuk membuatmu tampak lebih tinggi dari apa yg dilihat orang selama ini,

Aku ini apalah, apanya kekasihkukan sudah kau cemari dengan kata-kata hasutanmu yg membuat apa yg dimiliki kekasihku menjadi lawan apanya hatiku,

Aku ini apalah, apanya temankukan sudah kau telantarkan demi apanya ambisimu yang apa dikatakan orang sebagai otak kotor itu.

Aku ini apalah dimatamu, karena apa-apaku telah diinjak oleh apa-apanyamu sehingga apanyamu menlunturkan apaku.

Aku ini apalah, sehingga untuk apa lagi kuteruskan apaku ini. PGI WSU, S.Katraren 04.55 WIB

Tanpa Kau ( Kembalilah : A )

Sej..k K..u T..k H..dir l..gi

Hidup ini terj..lin d..l..m r..ngk..i..n penuh perub..h..n

Ketid..k h..dir..nmu membu..t b..ny..k temp..t y..ng kosong K..u membu..t ..d.. b..ny..k perub..h..n d..n keg..njil..n m..kn..

H..rusk..h k..u terus bersik..p begitu ..k..nk..h kepergi..nmu seperti ..ir d..l..m ..lir..n sung..i y..ng tidak pern..h kemb..li

K..l..u boleh persil..hk..n ku melih..t dirimu lagi seb..b t..np.. K..u,

Aku menjadi ku Dan Kau menjadi ku Jayapura, 2000


MORITURI
Kalian telah menciptakan lagu suram dengan darahku Sejak itu jiwaku tak mampu lagi bersorak sorai,
Kau telah mengusirku dari surga saguku, Aku terpaksa meninggalkan semua yg mencintaiku Rohku melayang tak tenang dibukit tengkorak ini.

Aku berkata, Aku tidak memerlukan batu nisan untuk kuburku Tapi kalian membutuhkannya untuk aku,

Didalam sini kami berbaring dengan bahu yang rata, Diatas sana kalian sibuk melempar tanggung jawab.

Perairan Ambon, 2000 (Morituri = mereka yg harus mati. Bhs Latin)

Menggugat Westernisasi Kekristenan

Masih Adakah Yang diharapkan dari Seminari atau Sekolah Tinggi Teologi Dalam Hal Teologi Kontekstual ? Menggugat Westernisasi KeKristenan di Indonesia
( Tinjauan Kritis terhadap Pola “mengimport” bentuk-bentuk Teologi, Konfessi, Liturgi sampai kepada bentuk struktur organisasi dari Barat Oleh Gereja-Gereja di Indonesia. ) - Telah diterbitkan dalam Buku "Berapalama lagikah kamu akan tidur ?" Oleh : Alumni STT Abdi Sabda -


Adat adalah tata hidup, nilai yang menjadi kompas petunjuk arah hidup masyarakat.[1] Setiap manusia lahir ke dunia sebagai pria dan wanita yang berada dalam adat tertentu. Manusia hidup dengan pikiran dan hati yang terbentuk oleh gagasan, nilai, keyakinan dan mitos yang telah diteruskan padanya dari generasi terdahulu, yang tertuang dalam adat. Adat sekaligus menjadi tanda - ciri khas dan jati diri manusia yang hidup, hal ini artinya, manusia yang hidup sekaligus manusia yang beradat.

Selama ini dalam pertemuan adat dan Injil di Indonesia, ada kecendrungan posisi adat selalu berada dalam posisi “diabaikan”. “Masyarakat/ manusia yg memiliki Adat” dalam kesehariannya mengalami semacam “keterasingan kepribadian” dalam hubungan adat dan Injil didalam menghadapi pergumulan konteks yang berkembang . Padahal Injil hanya dapat dimengerti dalam Konteks. Artinya Injil tidak pernah berada dalam suatu kekosongan, Injil itu bersifat terbuka, dinamis dan dialogis. Hal ini berkaitan dengan pola masuknya Injil yg berbarengan dengan masuknya Kolonial Belanda. Bahwa selama masa kolonialisme Eropa, agama Kristen di Indonesia bersifat Eropa Sentris. Pelayanan Pekabaran Injil pada saat itu disertai dengan jiwa kolonialisme dan westernisasi yang didasari rasa superior oleh pihak Misionari. Pihak zending dengan alasan penyaringan unsur-unsur adat yang sesuai dengan Kekristenan mengambil sikap negatif/ radikal terhadap adat kebudayaan setempat.[2] Ini tampak ketika pada awalnya, masuknya Injil dipengaruhi asumsi akan “ketidakbaikan” budaya penduduk asli sehingga banyak diantara orang Kristen hanya menerima begitu saja pengajaran para misionari tanpa terusik hatinya untuk mempelajari secara lebih mendalam hubungan Injil dan Kebudayaan. Dalam beberapa kasus sering terjadi apabila ada orang dari penduduk pribumi yang menerima ajaran Kristen, orang tersebut mengambil alih kebudayaan “orang yang memperkenalkan Injil padanya” yang didasari wacana berpikir bahwa budaya tersebut adalah Cara Hidup Kristiani. Budaya “penerima” seakan “dipaksakan” untuk menerima unsur dari Barat tanpa memperdulikan makna, mamfaat ataupun konteks pergumulan dan budaya setempat seperti halnya sebagian orang Kristen Yahudi pada abad pertama yang berusaha membuat orang-orang bukan Yahudi menerima bentuk-bentuk budaya Yahudi. Eropanisasi agama Kristen itu pada satu pihak telah mencabut warga jemaat Kristen dari ikatan Kulturalnya.[3] Disamping itu keadaan ini juga membuka pintu bagi sikap paternalistik para pekabar Injil Eropa.

Paham ini menganut bahwa pihak misionaris dari zanding Eropa sebagai “Bapak-Bapak dalam iman” yang harus membimbing orang Kristen dan wajib diikuti-dipatuhi jemaat-jemaat menuju kepada “ KeKristenan yang sesungguhnya “. Dengan demikian bukankah bisa dikatakan bahwa pada awalnya zending dan agama Kristen diIndonesia seolah merupakan bagian dari ekspansi Barat di bidang politik dan kebudayaan.[4]

Akibat “ Westernisasi KeKristenan “

Pola Pendidikan Teologi, Ibadah, Bangunan dan Pakaian Yang Cenderung Bersifat Mengikuti Pola Barat

Sampai sekarang corak Barat dalam kehidupan Gereja-gereja di Indonesia masih terasa. Gereja-gereja di Indonesia sejauh ini belum mengemban tugas teologianya secara serius sebab sebahagian besar masih merasa puas diri dengan menerima jawaban-jawaban siap pakai dari teologi atau Konfesi Barat.[5] Dalam prakteknya, gereja-gereja di Indonesia “mengimport” bentuk-bentuk Teologi, Konfessi, Liturgi, kebiasaan berpakaian, bentuk bangunan, sampai kepada bentuk struktur organisasi dari Barat yang nota bene semua ajaran itu tidak dibuat berdasarkan konteks pergumulan gereja setempat ( Umumnya yg dipakai adalah Teologi-Teologi Luther, Calvin, Wesley, Sedangkan Pengakuan Iman yg dipakai seperti Pengakuan Iman Rasuli, Niceanum, dll ). Dalam hal tata Kebaktian, umumnya tata kebaktian gereja-gereja hasil zanding tidak terlepas dari pola liturgi gereja Barat. Banyak Liturgi Gereja merupakan campuran unsur-unsur liturgi gereja “Uniert” di Jerman dengan unsur liturgi yang berlaku dalam gereja-gereja Presbiterian (Calvinis). Buku nyanyian (ende) juga banyak mengandung kumpulan nyanyian gereja yang dipakai dalam gereja-gereja zaman Reformasi pada abad 17, ke-19 dan ke-20.[6] Warisan zanding ini mampu bertahan hingga kini. Sampai sekarang pada umumnya dalam hal tata ibadah tidak banyak terjadi perubahan. Sekali-sekali ada usaha untuk menciptakan tata kebaktian yang memakai bentuk-bentuk kebudayaan Indonesia . tetapi anggota gereja tidak selalu dapat menerima usaha seperti itu. Belum lagi soal pengajaran Kekristenan yang lekat dengan Teologi dan Konfessi dari Barat. Kemudian dalam hal Pengajaran, didalam semua gereja yang merupakan hasil karya RMG , katekismus Luther menjadi bahan dasar dalam pendidikan agama, Katekismus Heidelberg. Gereja-gereja di Indonesia sebagian besar hingga kini tidak mempunyai konfessi, tata ibadah, katekismus dan ajaran gereja sendiri.[7]

Kalaupun mengaku ada, jika diteliti sebagian adalah import dari Badan Misi awal seperti RMG. Dan sangat disayangkan, bentuk konfessi, ajaran gereja, liturgi ataupun Teologi yang diimport tersebut sampai saat ini dianggap biasa saja sehingga hampir tidak dirasakan lagi sebagai bentuk asing. Padahal semua hal ini tentu mengabaikan sumber-sumber , sejarah, bahasa dan wujud kebudayaan lain dalam suatu komunitas. [8] Tidak jarang ada yang menganggap konstruksi teologi yang mereka miliki sebagai iman sehingga tidaklah mengherankan apabila mereka menganggap sesuatu yang tidak sesuai dengan kostruksi teologi mereka sebagai “penyelewengan iman” atau paling tidak sebagai usaha “menggoncangkan iman”.

Dan pada prakteknya juga, dalam menyikapi suatu pemikiran teologia baru dalam Gereja, terjadi penolakan-penolakan ( Mungkin termasuk penolakan terhadap isi tulisan ini ). Penolakan itu kadang didasarkan atas ketakutan terhadap teologia lain yang mengancam konstruksi mereka sendiri yang sudah lama mereka terima dari barat di masa lalu. Hal-hal yang mereka miliki tidak lagi mereka anggap sebagai kostruksi teologi yang berasal dari refleksi iman di Barat puluhan tahun yang lalu, tetapi sebagai sesuatu yang asli, yang autentik dari timur- yang autentik dari Injil.[9] Contoh lain bentuk Westernisasi yang terwariskan adalah soal bentuk bangunan dan kebiasaan memakai Jas.

Bangunan gereja dibangun menurut gaya Jerman yang sama sekali berbeda dengan gaya bangunan Batak. Juga kebiasaan untuk menempatkan lonceng dimenara-menara Gereja , yang menjadi alat kelengkapan gereja-gereja Jerman, dijadikan juga sebagai persyaratan mutlak untuk sebagian besar gereja di Indonsia. Lama kelamaan Gereja Batak menjadi terbiasa kepada unsur asing itu sehingga mereka beranggapan bahwa sebuah bangunan gereja harus dibangun menurut gaya khas tersebut supaya dapat diakui sebagai gereja yang lengkap. Barulah setelah munculnya kesadaran di tengah-tengah gereja Batak maka mulai dibangun gereja dengan gaya arsitektur Batak.

Dan kalau kita mau menganalisa secara jujur lebih jauh benarkah terbaginya denominasi Gereja di Indonesia sebagian besar adalah sekedar penerusan keterpecahan Teologia Barat yang masuk kepadanya. Jadi jelas, bahwa pada umumnya teologia kita di Indonesia masih dalam tawanan Teologi Jerman, Belanda, Inggris dll. Atau benarkah kita tidak mau membuat teologi dengan tidak mengadopsi utuh Teologi Warisan adalah akibat kecenderungan mencari rasa aman finansial, suatu skandal ketergantungan yang mengancam kemandirian dan tanggung jawab gereja. Bahwa Gereja-gereja di Indonesia sering “takut” mencapai kemandirian dalam hal berteologia dikarenakan sudah terlalu lama bergantung pada lembaga-lembaga Penginjilan dari Barat. Jika ini benar terjadi maka seperti yang dikatakan D.T Niles bahwa Kekristenan di Asia seperti sebuah tanaman dalam Pot. Injil telah dibawa kepada bangsa-bangsa seperti sebuah tanaman dengan potnya adalah kebudayaan Barat. [10]

Apakah Benar Telah terjadi Kesadaran Religius Cangkokan ?

Pola “Import Konfessi ” atau Westernisasi Kekristenan ini bisa membuat Teologi kurang mengakar di kehidupan konkret umat, banyak Teologia Gereja tidak mengakar dan tidak fungsional. Banyak orang-orang Kristen mengalami rasa “kesepian dan keterasingan” dengan budayanya. Serta membuat terkondisinya suatu bentuk keterikatan kita dengan Teologi Barat walaupun pada prakteknya Teologi tersebut tidak menyentuh hati, jiwa umat. Semua hal ini dikatakan H. Kraemer sebagai penghambat dalam kehidupan Gereja dan pada akhirnya melemahkan kesaksian Kekristenan pada masa kini.[11] Dan membuat Gereja-gereja di Asia telah lebih bersifat resolusioner ketimbang revolusionaris, dan dalam pendekatan-pendekatan masalah sosial lebih banyak berkata-kata ketimbang melakukan [12] Kemudian, sampai saat ini bagi orang Kristen dari budaya, nilai-nilai Kekristenan tampaknya hanya sebagai “another system of values” disamping nilai-nilai yang lebih dahulu dihayatinya. Indikator dari hal ini adalah bahwa bagi mayoritas orang Kristen, adat lebih tinggi dari agama. Ungkapan tidak beradat merupakan penghinaan terbesar, dibandingkan dengan ungkapan tidak beragama. Indikator ini secara tidak langsung mengisyaratkan keberadaan gereja selama ini kurang mengakar, umat Kristen banyak yang kurang memiliki dasar teologi yang baik.

Teologi tidak dapat menjangkau kebutuhan yang dirasakan. Sehingga ketidak berakaran teologi selama ini mengakibatkan banyak kekristenan beribadah kepada “Allah yang tidak dikenalnya” akibat pemahaman kekristenan dan dogmanya masih bersifat import, hal ini menempatkan sikap yang membuat bingung warga jemaat Kristen dan bahkan menempatkan jemaat pada konsepsi iman yang mengambang[13].

Pada kenyataannya bentuk-bentuk Teologi yang dipakai seperti Teologi Luther, Calvin, Wesley, sampai kepada kepada teologi-teologi yang dipakai aliran-aliran Kharismatik - Pentakosta, sampai sekarang, walaupun telah hadir di Indonesia beratus tahun lamanya, masih kurang berakar dan sulit dimengerti oleh umat Kristen di Indonesia. [14] Hal ini termasuk poola KeKristenan Kharismatik yg cenderung bersifat Western, yg dapat mencabut manusia dari akar budayanya dalam keKristenan. Yang terjadi bisa membuat hanya sekedar rasa candu kepada ibadah dan bisa menjurus hanya kepada suatu bentuk “Pertobatan batin-internal”. Teologi yg diajarkan jarang telah menjadi daging (inkarnasi) yang artinya teologi tersebut belum sampai meresap masuk kebawah permukaan sejarah, budaya dan kehidupan sehari-hari para wanita, pria di Indonesia. Ini tampak dengan indikasi bahwa dikantong-kantong Kristen masih terdapat banyak “penyakit sosial” dan ketidakberdayaan dalam mengelola Sumber daya Alam” yang dikatakan Herlianto sebagai pecundang.[15] Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena semua ajaran “Import” tadi sering tidak menyentuh persoalan konkret di Indonesia seperti masalah poligami, perdukunan, penyembahan roh nenek moyang, ekonomi rakyat, ketidak adilan, perjuangan HAM, pergaulan bebas, Narkoba, bentrokan kekuasaan dan mamonisme[16] ( sama seperti ketika zaman penjajahan dimana : Agama Kristen sendiri tidak sanggup untuk merombak Indonesia yang berada dibawah pemerintahan kolonial itu menjadi bangsa yang merdeka.[17] Semua itu adalah suatu bentuk kesadaran religius cangkokan, yang perlu segera dipindahkan ketanah biar mengakar sebagai bentuk pengkontekstualisasian iman Kristen dengan menempatkan benih iman didalam budaya yang telah menerimanya.

Gereja dan telogi harus menjelma diri dalam kebudayaan, seperti Kristus ‘menjelma’ dalam wujud seorang suku bangsa Yahudi ( Roma 9:5 ). Ini berarti Teologia gereja tidak dapat tetap menjadi orang asing ditengah suatu kebudayaan, ia harus menjadi anak bangsa itu yang diharapkan sebagai kontak langsung antara iman dan budaya.[18] Ini perlu kita gumulkan karena, masalah teologi adalah sesuatu yang hidup, dan tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang statis, sebagai seperangkat rumusan yang baku dan final.

Keberadaan STT-Seminari atau Lembaga Pendidikan Teologi

Ada kecendrungan bahwa Lembaga Pendidikan Teologi / Seminari, Sekolah Alkitab ( termasuk yg instand dalam segi waktu ) sebagai “wadah pengkajian teologia” selama ini cenderung menggunakan kurikulum yang berorientasi Barat yang kurang menekankan pendidikan teologi dari budaya bangsanya sendiri. Sistem pendidikan seperti ini hanya menghasilkan lulusan-lulusan berorientasi pengulangan teologi Barat sedangkan masalah berteologi secara konteksual, pengembangan pribadi untuk kreatif dan beranalisa sosial kurang ditekankan. Ada kecendrungan, Sekolah-sekolah yang bergerak dibidang pendidikan Teologi sering kali hanya terfokus pada penerjemahan dan perumusan hasil refleksi dari Teolog Barat hal ini tampak dalam kurikulumnya, dan pemakaian buku-buku Teologi dari Eropa, dan pengutipan pendapat para tokoh/ Teolog abad-abad sebelumnya. Mahasiswa banyak “menjunjung tinggi” Alkitab sebagai Firman Allah namun dalam kenyataan yang dijunjung sebenarnya adalah perangkat rumus-rumus dari suatu ajaran dogmatis tertentu dari ayat-ayat Kitab Suci. Kalaupun ada Tafsiran tetapi sangat diwarnai oleh ajaran dogmatis tertentu itu.

Pola pendidikan yang mengikuti pola teologi Barat mempunyai beberapa kelemahan. Perasaan aman atas kepastian yang diperoleh dari rumus-rumus yang diwarisi menyebabkan banyak murid pola pendidikan seperti itu, sadar atau tidak sadar akan bersifat defensif. Mereka tidak lagi berteologi. Yang dilakukan adalah mempertahankan hal-hal yang sudah dipertahankan oleh pendahulu. Dalam lembaga pendidikan yang berpola demikian, kita tentu dapat menerima bahwa disitu memang diajarkan teologi, tetapi orang tidak berani berteologi. Tekanan terletak pada pencetakan pendeta yang menguasai ketrampilan untuk mempertahankan hal-hal yang ada tetapi tidak pada teolog yang berteologi. Hal ini tentu mengherankan kita yang biasa nya langsung menganggap orang-orang yang berada dalam suatu lembaga pendidikan teologi sebagai Teolog. Jadi, seorang mahasiswa teologi atau seorang pengajar teologi belum tentu merupakan seorang teolog.

Dan uniknya lagi ada banyak pemimpin gereja dan jemaat yang hanya menginginkan agar “Lulusan Seminari-STT-Sekolah Alkitab” nya dapat berkotbah, melayani sakramen dan memberitakan pelayanan pastoral kepada anggota jemaatnya sendiri ketimbang “memperlengkapi” para anggotanya menjadi “Teolog garam dan terang” dalam konteks Sosial Budayanya. Anggota-anggota Gereja telah terbiasa sehingga tidak menjadi kaget lagi ketika mahasiswa Teologi kembali keGerejanya dengan tidak membawa gagasan-gagasan baru. Padahal belajar dan mengkaji adalah tugas mahasiswa yang utama sewaktu mereka study teologi. Seorang mahasiswa tidak boleh membuang waktu 4-7 tahun lamanya untuk study kalau nantinya ia akan berkotbah dan mengajarkan teologi yang itu-itu juga yang sudah pernah didapatkannya disekolah minggu. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah benar buku, ajaran dan pemikiran teologi Barat yang dikunsumsi tersebut benar-benar mengisi dan menjawab persoalan konkret kehidupan umat. Bukankah dengan demikian dalam study Teologi dan Kurikulumnya kita tetap terikat pada Barat mengambil kebudayan Barat menjadi milik kita sendiri, sehingga Allah yang kita pelajari adalah tetap seorang Allah turis?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendesak yang perlu penanganan yang sangat hati-hati. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kaburnya makna berteologi saat ini di STT. Untuk ini harus ada perubahan pada kurikulum, peninjauan ulang model yang telah ditetapkan dan mencari alternatif lain dalam metode pendidikan Teologi. [19] Tinjauan Dari Sudut Komunikasi Akan Perlunya suatu Kontekstualisasi Teologi Alkitab ditulis dengan kosa kata konteks sesuai dengan cara berpikir,dan bahasa yang pemaknaannya dimengerti oleh orang pada zamannya. Kita yang memakai teologi dan konfessi Gereja Barat jika hanya memakai bahasa dan kosa kata Barat seperti terjemahan teologi dan Alkitab dari kekristenan Eropa seringkali hal tersebut tidak dimengerti.

Pendekatan ini cenderung mengabaikan kerangka berpikir para pendengar. Maka proses komunikasi akan semakin rumit, dan tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan. Memamfaatkan teori Komunikasi, makna tidak terletak dalam kata-kata atau benda, melainkan dalam diri orang yang berpikir tentang makna itu dan mengungkapkannya dalam bahasa. Mengkomunikasikan Injil berarti menyampaikan suatu berita bukan memindahkan makna kepada orang lain. Makna berarti apa yang dibangun di benak sipenerima berita dan yang ditanggapinya, yang tidak terlepas dari pengaruh budaya. Kesesuaian antara sumber berita dan penerimanya tergantung pada sejauh mana ada kesepakatan-kesesuaian antara sumber dan sipenerima mengenal arti dan lambang budaya yang dipakai. Faktor ideologis yang mencerminkan pandangan dunia dan sistem nilai seseorang serta unsur-unsur budaya yang terdiri dari pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan dalam suatu masyarakat menentukan cara kita memandang kewibawaan, penafsiran dan penggunaan Alkitab. Setiap Gereja yang ada dalam suatu Konteks budaya tertentu harus berkenan berhadapan dengan realita asumsi ini. Sehingga penerima Injil di dalam kehidupan kekristenannya, bukan hanya menghafal teologi dan konfensi Barat, karena teologi dan konfensi Barat itu dibuat untuk menjawab pergumulan konteks berdasarkan cara berpikir, budaya dan sejarah mereka. Dan jika kita terlalu terpengaruh dan tergantung pada tradisi Barat maka kita bisa melupakan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia atau masing-masing budaya.

Kontekstualisasi Teologi sebagai tugas mendesak Dan Kaitannya dengan Penyataan Allah Yang Hadir Dalam Sejarah

Pada dasarnya agama Kristen bukan barang import. Pekabaran Injil seperti yang dilakukan oleh para Misionaris Barat hanyalah membawa kembali mahluk ciptaan kepada Penciptanya yang sempat terpisah akibat kejatuhan manusia kedalam dosa. Hal ini dapat lebih kita pahami dengan memahami pandangan Wittgenstein, bahwa Anda tidak dapat mendengar Allah berbicara kepada orang lain, anda dapat mendengar-Nya hanya kalau Ia berbicara kepada anda” [20] Semua hal ini lah yang dipandang Pieris selama ini kurang diperhitungkan dalam penemuan metodologi ber-Teologia di Asia. [21]

Ditengah latar belakang pergumulan dan perkembangan kondisi jemaat dan masyarakat inilah Yesus tetap menyapa kita dengan pertanyaan “menurut kamu siapakah Aku ini” (Matius 16:13; dan 15). Disinilah jantung terdalam masyarakat Adat ditantang terlibat dalam dialog yang serius dalam Firman Tuhan. Jika orang Adat Kristen tidak henti-hentinya berdoa “Datanglah kerajaan-Mu” ditengah pergumulan mereka, sekarang tibalah saatnya bahwa mereka harus menjabarkan aspek presentis Kerajaan Sorga dalam hubungannya dengan masyarakat dan budaya aslinya, dengan pemikiran dasar bahwa budaya adalah diakui sebagai pemberian Allah sang pencipta dan sarana untuk kemuliaannya.

Manusia kini sama dengan manusia pada masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dahulu kala, sama-sama hidup dalam sejarah, dan mempunyai budaya sendiri dalam kaitan percaya pada Allah yang hidup. Sehingga ketika gereja membahas persoalan Injil dan Adat dalam nuansa kepribadian mereka sendiri mereka tidak lagi berbicara tentang “kebudayaan-kebudayaan lain” tetapi kebudayaan dimana mereka menjadi bagiannya. Jadi haruskah kebudayaan yang telah ada berabad-abad lamanya sesuai dengan identitas suku itu dibuang seperti sampah ? Ini berbahaya, sebab sering kali kita menolak atau meremehkan suatu bentuk kebudayaan karena kita tidak mengetahui dan memahami makna terdalam mengapa adat/ kebudayaan itu muncul dan apa fungsinya. Teologia berasal dari kata Yunani yaitu Theos yang artinya Allah dan logos yang artinya firman atau kata-kata. Jadi Teologia secara harafiah artinya pembicaraan tentang Allah.

Teologi sebagai pengetahuan atas Allah yang bertugas untuk mencari kebenaran, tidak satupun mempunyai keabsahan akhir . Teologi harus terus menerus dibentuk kembali sesuai dengan pemahaman dan pergumulan kekinian dan perkembangan budayanya. Pemahaman tentang Allah bukanlah suatu sistem yang rasional yang tertutup. Namun akan terus memberi tempat kepada akal sebagai perangkat yang paling perlu untuk menghindari dogmatik yang beku. Teologia itu tidak pernah dipahami sebagaimana mestinya oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam realitas konteks tempat lahirnya teologi tersebut. Kita juga harus menggugat, bahwa jika teologi merupakan ekspresi dari iman, apakah tidak mungkin seseorang akan merubah teologi bila dihadapkan dengan suatu situasi yang baru yang lebih berarti dalam imannya. Dalam satu segi Teologi memang harus selalu baru. Teologi yang barulah yang bisa mengekspresikan kuasa Tuhan dalam siatuasi yang baru. Karena zaman berubah, masyarakat berubah, situasi yang timbul berubah, pergumulan berubah, jadi mengapa kita tetap memakai rumusan Teologi yang lama.

Bukankah Teologi berdasarkan rumusan katanya sendiri adalah bersifat Kontekstual. Karena faktor yang membentuknya mencakup pengalaman, penyataan Alkitab, tradisi, kebudayaan dan akal budi manusia. Orang Kristen dari berbagai tempat dan waktu mempunyai tanggung jawab untuk menguraikan pesan keselamatan Injil dengan cara menjadikannya “masuk akal” dalam budaya mereka sendiri. Setiap Gereja yg lahir dari masyarakat budaya tertentu harus dapat sepenuhnya bertanggungjawab menjawab panggilan Kristus dengan tidak menciplak contoh pertobatan asing dan hanya bicara soal sorga. Tipe transformasi adalah tipe yang tepat untuk berteologi Kontekstual. [22] Dalam posisi ini, budaya menjadi sarana dan kekayaan Berteologi, sehingga teologi dapat berakar kuat dan berdampak bagi masyarakat konteks. Teologi Kontekstual adalah kontekstualisasi berita Injil, dimana yang terjadi bukan hanya sekedar pempribumian berita kesaksian “asing” dari Barat, bukan pula semata-mata revolusionalisasi masyarakat lama. Kontekstualisasi Injil lebih berarti merupakan transformasi terus menerus setiap masyarakat oleh Injil [23] Untuk itu cara berteologi “dari luar Konteks” sudah seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan cara “bergerak dari dalam”. Suatu cara yang mengenal konteks secara tepat dan jujur. Dengan melihat ketiga hasil itu, maka dapat dikembangkan bahwa setiap Budaya harus memikirkan hubungan antara Injil dengan konteks budaya mereka sendiri, karena Konteks sangat berpengaruh pada makna. Mereka harus membiarkan Injil menilai tafsiran dan gaya hidup mereka sendiri yang memang dipengaruhi oleh budaya. Sehingga budaya menjadi sarana dan kekayaan dalam berteologia, sehingga teologi berakar kuat dimana Injil berada. Ini artinya perlu suatu kontekstualisasi Teologi sebagai hasil pertemuan antara Injil dan kebudayaan. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah bagi setiap mahasiswa Teologia. Teologi yang Hidup lahir dari perjumpaan dan Pergumulan Injil dengan Lingkungan dimana ia bertemu dan bersentuhan dengan inti eksistensi budaya, karena manusia berjumpa dengan Allah yang diberitakan Injil bukan dengan kehampaan melainkan sebagai pria atau wanita yang hidup dengan pikiran dan hati yang telah terbentuk oleh gagasan, nilai, keyakinan dan mitos yang telah diteruskan kepadanya dari generasi terdahulu. Sehingga, Teologia perlu lahir dari pengalaman hidup orang beriman kepada Kristus memang harus menjadi kontekstual. Karena teologi sebagai pembicaraan tentang Allah melalui kata-kata bisa mempunyai arti yang berbeda antar suatu budaya dengan budaya lain. Teologi ini harus timbul dari budaya yang kesadarannya telah terbebas kerena budaya mempunyai begitu banyak nilai-nilai dan sumberdaya yang sangat berharga untuk kebebasan dan pemberdayaan yang selama ini diabaikan, seperti Falsafah hidup, Ulaon (pesta) adat, cerita rakyat, tarian dan pola kebiasaan cara mengambil keputusan. Karena bukankah Karl Barth, Luther, Calvin, Wesley dan teolog lainnya juga berteologia dari budaya dan cara berpikir mereka sendiri para misonaris adalah wakil budaya bangsanya.

Orang-orang Barat dalam berteologi bertolak dari latar belakang konteks yang berbeda dengan cara berpikir dan falsafah hidup orang Asia. Tuhan Yesus sendiri dalam berteologia merefleksikannya dalam gambaran , simbol, perumpamaan budayanya yaitu Yahudi. Dengan demikian ia bersatu dengan umat Yahudi dan secara alamiah berbicara dalam bahasa dan adat istiadat mereka secara kritis. [24]. Metode yang dipakai untuk berteologia didasarkan oleh pengertian manusia sebagai “imago Dei”. Dengan memahami dirinya sebagai “imago dei” maka manusia ditantang untuk bertanya tentang dirinya dengan melihat konteks dan mencari tahu apa kehendak Allah sebagai hal yang harus dilakukannya dalam relasinya terhadap alam dan sesama dalam konteks. Jadi dalam hal ini manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan hubungan vertikal dan horizontal.

Apabila kebudayaan dan usaha kreatifitas manusia ditiadakan begitu saja seolah-olah manusia tidak memiliki kebudayaannya sendiri. Upaya Yang Harus dilakukan dalam STT sebagai “ Mesin Pencetak Teologi Kontekstual “ STT Abdi Sabda harus menyadari kenyataan ini, dan memberikan kritik tajam atas kelambanan semua dalam melakukan tugas kemandirian ini. STT Abdi sabda sebagai salah satu Lembaga Pendiikan Teologi, harus bertanggung jawab untuk memprakarsai terjadinya pembaharuan apabila doktrin dan konfessi maupun teologia “Lama” tidak lagi secara utuh mengakomodir dan mencakup cara berpikir konteks masyarakat yang berkembang terhadap situasi dan permasalahan yang juga berkembang. Pada satu sisi memakai Konfessi Barat dalam pengajaran Gereja adalah wajar saja. Akan tetapi apabila kemudian STT atau gereja-gereja di Indonesia lalu melihat tugas dan panggilannya akan misi yang dibebankan Allah kepadanya adalah juga sebagaimana tugas dan panggilan Gereja-gereja di Barat, maka disitulah masalahnya. Sebab, apakah gereja-gereja di Indonesia lalu harus menjadi sama dengan gereja-gereja di Barat dalam pengertian “dia hanya menjadi gereja-gereja Barat yang ada di Indonesia” .

STT adalah bagian dari Gereja di Indonesia, yang dipanggil dan diutus untuk bersaksi dalam Konteks Indonesia dengan tidak bisa terlepas dari sudut budayanya. Gereja harus dimampukan menemukan dan mempraktekkan kepribadian mereka, menemukan kesatuan yang mengikat antara Injil dan budaya. Tidak ada gereja yang benar-benar dapat menghindari tanggung jawab ini, termasuk Gereja-Gereja yg mengelola STT atau yg mengirimkan mahasiswanya di STT Abdi Sabda. Yang dituntut dari teologi Barat dan dunia ketiga adalah bahwa mereka mengikuti pola proses teologi Alkitab dan menghasilkan Teologi yang akan memperlihatkan masalah, cara berpikir dan ungkapan yang sesuai dengan konteks dimana teologi itu muncul. Seperti Yesus Kristus Teolog harus “duduk” diantara masyarakat “mendengarkan mereka dan bertanya kepada mereka (Lukas 2: 46) melalui pendekatan dan keterlibatan dalam hidup masyarakat, mengerti apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka rasakan. Dan apabila sang teolog menyampaikan jawaban Alkitabiah, jawaban itu benar-benar menanggapi pertanyaan mereka. Jika Teolog ingin mengharapkan pendengar atau masyarakat menanggapi Injil secara serius, teolog juga harus serius menghadapi umat, menanggapi keyakinan dan tradisi yang telah membentuk mereka. Setiap orang yang telah memahami asumsi ini harus tetap menyadari bahwa ia berada dalam suatu situasi yang baru sehingga ia terus ditantang untuk berteologia. [25] Gagasan bahwa Penyataan berhenti ketika kitab dituliskan terakhir dalam Alkitab selesai ditulis dan dikanonkan dan bahwa sesudah itu Allah hanya menerangi dan menyoroti manusia, perlu dipertanyakan.[26] Teologi Kontekstualisasi adalah perpaduan teologi Kristen dengan macam-macam filsafat dan praktek keagamaan yang punya akar dalam budaya tertentu. Jika kekristenan di Barat bisa memakai tradisi Yahudi, filsafat Yunani, Hukum-hukum Roma dan eksistensialis Jerman dan Prancis, mengapa Kekristenan di Indonesia tidak bisa “berkontekstualisasi ” dengan filsafat Batak, Karo, Nias, Mentawai, Jawa atau filsafat dari konteks budayanya sendiri.

Apakah Allah tidak bisa berbicara melalui konteks budaya di Indonesia sebagaimana ia berbicara melalui konteks Amerika dan Eropa. Allah kita adalah Allah yang hidup yang mempunyai kehendak bebas dan bukan semata-mata adalah Allah dari suatu golongan umat tertentu. Orang Kristen sering membuat kekeliruan yang sama seperti yang dilakukan Israel dalam Perjanjian Lama. Mereka terlalu ekslusif memfokuskan Allah selaku Allah dari perjanjian. Takkala Israel menitik beratkannya secara berat sebelah, maka kebenaran Allah menjadi ilah suatu suku, semacam berhala lokal. Ia menjadi Yahweh, ilah orang Israel yang kedudukannya tidak berbeda dengan Khemos ilah orang Moab; Milkom ilah orang Amon. Bukankah Alkitab mulai dengan bangsa-bangsa bukan dengan Israel., dengan Adam dan bukan Abraham, dengan ciptaan bukan Perjanjian. Ketika Allah memilih Israel, ia tidak mulai melupakan bangsa-bangsa lain. Allah berkuasa atas semua bangsa di muka bumi. Dia membentuk hati mereka sekalian dan memperhatikan segala pekerjaan mereka (Mazmur 33:13-15).

Semua asumsi ini mengisyaratkan agar tidak ada sifat ekslusifitas dalam berteologi. Karena hal itu adalah suatu pengkerdilan perhatian dan kuasa Allah. Karena itu ketergantungan Teologi dan kekerdilan wawasan kita harus kita ubah. Dan ini berkaitan dengan penilaian kita terhadap manusia, bahwa semakin tinggi manusia itu kita nilai, semakin besar minat kita melayani kepentingannya selaku gambar dan rupa Allah yg terdiri dari tubuh-jiwa dan roh. Sehingga dengan demikian akan lahir Kontekstualisasi Teologi dengan tidak mengabaikan konteks budaya dan peka terhadap kebutuhan umat dengan memperhitungkan proses sekularisasi, permasalahan konkret umat dan tetap setia pada nilai-nilai kebenaran Alkitabiah. Jadi apa yang dibutuhkan sekarang adalah jenis pemikiran teologi yang melibatkan persoalan masa kini dan budaya konteks yang membuat Injil dapat lebih dipahami oleh manusia secara mendalam. Namun itu tidak berarti bahwa Berteologi secara lokal/ sempit terbatas hanya kepada tempatnya sendiri saja tanpa memperhatikan sesama orang beriman lainnya ditempat lain. Teologi harus bersifat Alkitabiah dan lebih dari sekedar pernyataan spekulatif. Apabila hal ini terjadi, Kekristenan di Indonesia sebagai hasil Pekabaran Injil Misionari Barat dapat menanggalkan gagasan bahwa ia bergantung pada Barat dan kini telah menyatakan diri berjati diri Indonesia . [27] Penutup Demikianlah dengan titik berangkat melihat permasalahan kehidupan masyarakat dalam situasi konkrit, dimana gereja dalam berteologi hendaknya tidak lagi harus membatasi diri pada masalah abstrak selayaknya kita dapat bertanya “ Masih Adakah Yang di harapkan dari STT Abdi Sabda untuk menghasilkan Lulusan Yang mampu Berteologi Kontekstual “. Pertanyaan ini harus di jawab dengan serius dari kita. Pemberdayaan nilai-nilai budaya dan teologia Kontekstual ini dirasakan dapat menjadikan gereja bersifat fungsional dalam kehidupan jemaat. Sehingga jemaat nantinya dibebaskan dari belenggu “keterasingan” menjadi mampu berdaya, berencana dan bertindak dimasa depan. Untuk itu Sekolah Tinggi Teologia ( STT ), Seminari atau Lembaga Pendidikan sejenisnya sebagai wadah pendidikan Teologi bagi mahasiswa harus lebih banyak mencantumkan muatan lokalnya dalam kurikulum pendidikannya. Wadah-wadah pendidikan Teologi itu diharapkan menjadi wadah pengkajian terhadap persoalan konteks dan mencari jawaban apa kehendak Allah dalam teks, sehingga terus terjadi pola Hermeneutika Injil yang dinamis. Injil Yang Bersifat Universal Sekaligus Kontekstual. Karena Kontekstualisasi merupakan bagian dari kemandirian gereja dan kemandirian STT Abdi Sabda, Syalom.

Happy Pakpahan, STh Ketua Senat Mahasiswa Jur. Teologia Priode 1999-2000

[1] Seperti kita ketahui, ada tiga wujud kebudayaan yang jika kita cerminkan pada kebudayaan Batak yaitu; 1) Wujud Ideal : Sebagai wujud ide, gagasan, norma seperti mita penciptaan, pandangan terhadap leluhur, gagasan tentang alam, marga, gagasan tentang kerja, pesta, falsafah Dalihan Natolu serta sanksi yang dikenakan pada orang yang melanggar adat, dll. 2). Wujud Kelakuan : Sebagai wujud aktifitas kelakuan pola manusia dalam masyarakat seperti sikap hormat pada orang tua, gotong royong (konsep kerja) dimasyarakat, pesta, kebiasaan onan, dll. 3) Wujud Fisik : Wujud benda hasil kerja manusia seperti ulos, rumah, ukiran, gondang dll.

[2] Anggapan ini dapat kita lihat pada sikap misionaris sebelum Perang Dunia II . Lebih jelas dapat dibaca dalam buku Singgih, E, G, Berteologi Dalam Konteks, Jogyakarta, BPK GM – Kanisius, 2000, pada hlm. 88-112

[3] Bnd. Hutauruk, J. R, Kemandirian Gereja, Jakarta, BPK Gunung Mulia 1009 ; hlm. 49

[4] End, Van den Ragi Carita, Jakarta, BPK Gunung Mulia;1996 hlm. 296-297

[5] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 46 dan xxv.

[6] Dalam hal nyanyian memang terjadi perubahan dimana pada tahun 1980-an sejumlah ahli musik di Jakarta menghasilkan kumpulan lagu yang terangkum dalam Kidung Jemaat dimana terdapat sejumlah nyanyian yang memakai lagu Indonesia asli.

[7] Bandingkan dengan isi buku karya, Porter, R. D, Katekisasi Masa Kini, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1994; hlm 340

[8] Kenyataan bahwa Yesus yang lahir di Asia itu yang telah dibawa ke Barat beratus-ratus tahun lamanya dan dibawa kembali ke Asia dalam “pakaian” bukan Asia telah tertalu tebal sehingga sulit menembus budaya Asia yang sangat beraneka ragam tersebut. Rubianto, Vitus, Paradigma Asia : Pertautan Kemiskinan Dan Kereligiusan Dalam Teologia Aloysius Pieris, Yogyakarta, Kanisius; 1996; hlm. 51

[9] Bnk. Singgih , E, G, Berteologi Dalam Konteks, Yogya, BPK Gunung Mulia – Kanisius; Thn. 2000; hlm. 31

[10] lih. Ariarijah, Wesley, S Injil dan Budaya, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1997; hlm. 181

[11] Riemer, G ; Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF;1995 ; hlm. 169 [12] lih. Buku Teologia Crucis di Asia , karya A.A Yewangoe, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 hlm. 35. Lebih jauh Hesselgrave juga mengatakan bahwa pada saat ini, di Asia terjadi semacam mentalitas Ghetto yang menghalangi orang-orang Asia untuk menanggapi kepentingan budaya mereka . Lih. Hesselgrave dan Rommen, Edward Teologi Kontekstual : Makna, Metode dan Model, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 ,hlm. 94 [13] Inilah yang dikatakan Sebastian Kappen bahwa kita jarang (tidak pernah) bertemu dengan Allah yang telanjang. Dia tampil dihadapan kita berpakaian yang kita sendiri kenakan kepadanya dengan teologi Barat, karena itu perlu segera menyingkapkan kerudung yang menutupi wajahnya sebagaimana ia menyibakkan penutup mata kita sendiri “.[13] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 340 dan hlm. 6. [14] Riemer,G, Op. Cit .hlm. 168 [15] Lebih jelas dapat dibaca buku Herlianto berjudul Pelayanan perkotaan, Bandung, YABINA 1998 [16] Bukan berarti bahwa semua tema itu tidaklah penting, dan kita tidak perlu belajar dari teologi Barat. Tetapi persoalannya adalah jangan mengabaikan hakikat Kekristenan sebagai umat yang berhubungan dengan Allah yang hidup dan mempunyai corak berpikir sendiri. [17] lih. Hutauruk, J.R, Kemandirian Gereja BPK GM , Jakarta, 1993 hlm. XV [18] Pendapat Koyama yang dikutip Elwood, Douglas, J.Teologi Kristen Asia : Tema-Tema yang Tampil Ke Permukaan terj. B.A.Abednego, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992; hlm xxvii [19] Pola pengajaran terhadap bidang studi agama-agama adalah pola antitese dimana untuk menjelaskan keyakinan dan pendirian sendiri harus dimulai dengan memaparkan kebobrokan-kebobrokan pihak lain dilihat dari kaca mata sendiri..Si A. Demikian, si B demikian, tetapi kita tidak demikian lih ibid hlm. 135 [20] Adams, Daniel J, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992 hlm 51 [21] lih. Rubianto, Vitus, S.X, Op. Cit hlm 34. [22] Mengambil Posisi Terhadap Pandangan Richard Niebuhr Tentang Tipe Hubungan Injil Dan Budaya, dimana Niebuhr menggambarkan ada 5 sikap Tipe Hubungan antara Injil dan Kebudayaan yaitu : 1. Injil Bertentangan (Konfrontasi) dengan Kebudayaan ; 2. Injil sesuai dengan kebudayaan ; 3. Injil mengatasi kebudayaan ; 4. Injil berjalan sejajar dengan kebudayaan ; 5. Injil mentransformasikan Kebudayaan. [23] Memang telah muncul kesadaran dengan model inkulturasi, proses dimana unsur-unsur baru diperhadapkan pada suatu konteks budaya tertentu melalui interaksi antar budaya. Inkulturasi disini dipahami dalam arti pihak luar sebagai pengeksport membawa masuk sesuatu yg baru dan asing. Dan melalui rupa-rupa upaya dan strategi, “yang baru” itu dibungkus dan ditawarkan dengan cara yang dapat diterima oleh budaya setempat. Pandangan ini bertolak dari prakarsa pihak “pengeksport” sedangkan dari pihak “pengimport” Inkulturasi adalah proses pengambil alihan aspek-aspek baru secara kreatif dan aktif oleh budaya setempat, diubah dan disesuaikan dengan kategori-kategori yang tersedia dengan budaya pengimport, berkembang dengan cara memberi tempat pada unsur baru tersebut. Yang terjadi disini adalah bahwa betapapun pihak-pihak pengeksport berupaya menguasai makna yang diberikan pada unsur baru itu, toh pada akhirnya paling-paling dia bisa menetapkan kulit luar saja, sebab makna batiniah ditentukan oleh budaya lokal sendiri, sehingga model inkulturasi kurang tepat dalam persoalan pengakaran teologi seperti yg dialami oleh suku . [24] Teologi Paulus sendiri harus diakui tidak membahas banyak masalah yang hangat pada masa kini baik di Barat maupun di Dunia ketiga. [25] Akan tetapi disisi lain kita juga hendaknya tetap menghormati teolog-teolog yang telah bergumul dengan masalah-masalah teologia selama berabad-abad yang lalu. Kita tidak boleh menyangkal jasa dan sumbangan pemikiran para Teolog pendahulu kita. Apabila kita tidak dapat belajar dari apa yang telah mereka wariskan kepada kita berarti kita “menghina” kepala gereja yang membimbing mereka karena Roh Allahlah yang menerangi terciptanya suatu Teologi. [26] Bnd Pendapat C.H Craff, dalam buku Heselgrave, hlm 83 [27] Bnd. Pendapat Charles W. Forman yang dikutip Douglass J. Ellwod, Op. Cit hlm xx-xxi Gereja di Asia sudah mulai merefleksikan makna menjadi Gereja dalam konteks mereka sendiri, seperti di Korea, mereka dalam upaya berteologia menempatkan minjung (rakyat yang menderita) sebagai pokok refleksi. Kemudian teologi Kazoh Kitamori dalam teologi Allah yang menderita; Kosuke Koyama dalam Teologi Kerbau dll.