Friday, January 22, 2010

TAHUN 2010 – TAHUN POLITIK SUMATERA UTARA

GENDERANG PILKADA SUDAH MULAI DITABUH
Happy Pakpahan

Wuuiihhh..., jalanan mulai ramai kembali dipenuhi spanduk, baliho, stiker, selebaran. Kali ini terkait Pemilihan Kepala Daerah yang berlangsung tahun 2010 ini. Jalanan yang sudah tidak teratur oleh pengemudi kendaraan yang semaunya, kini diperparah dengan tata ruang jalan yg tidak teratur pula oleh tempelan dan pajangan dimana-mana. Mulai dari pohon, segala jenis tiang, pagar di pasang alat-alat sosialisasi Pilkada oleh para calon dan kelompok masyarakat perihal dukung mendukung calon.

Melihat jalanan, Genderang Pilkada sudah di depan mata di tahun 2010 ini. Setidaknya kita lihat melalui sosialisasi yg ada, bahwa para peminat Bupati-wakil/Walikota-wakil sudah melakukan "rayuan" kepada masyarakat. Di beberapa daerah, Calon, TS & partai politik mulai melakukan manuver, berbagai pertemuan antar pengurus partai dengan calon kandidat intensif dilakukan. Statement dukung-mendukung juga mulai di bahas dan sosialisasikan oleh ormas-OKP dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Jejaringan sosial seperti Facebook dan Twitter juga mulai banyak diisi oleh sosialisasi Calon. Beberapa dari Calon kemudian membuat Web atau Blog sendiri dan mensosialisasikannya ke konsituen melalui dunia maya. Tak ketinggalan, "rayuannya" pun mulai ditebar ke masyarakat dengan alat komunikasi bervariasi mulai dari penyebaran stiker, spanduk, baleho, berkunjung ke pelosok daerah pedesaan hingga mengumpul massa untuk silaturahmi baik kepada aktifitas sosial, adat/marga, ormas, OKP, Kampus, Pabrik, Panti Asuhan/Jompo hingga lapo tuak. Jelas, ketika berkomunikasi para Calon dan Tim Sukses tampil sangat menjanjikan, bersikap dermawan, memberikan senyum termanis, bersikap melegakan, mencerahkan walaupun belum tentu dapat dibuktikan nantinya setelah terpilih. Satu sisi ini ada positifnya sehingga warga bisa mengenal Calon Kepala Daerahnya, tapi disisi lain ini menunjukkan sikap ketidak patuhan calon terhadap Peraturan yang ada karena oleh KPU sendiri penjadwalan segala bentuk Kampanye ini jelas belum dimulai.

PILKADA DI SUMUT

Di Sumatera Utara sendiri ada sebanyak 24 kabupaten/kota di Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 2010 akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada), ini diungkapkan ketua KPUD Sumut, Irham Buana Nasution kepada Waspada Online. Hal ini dilakukan dengan 2 gelombang; bulan Mei (rencana 12 Mei 2010) dan September 2010. Irham mengatakan, ke-24 kabupaten/kota tersebut, Medan, Binjai, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Selatan, Toba Samosir, Samosir. Kemudian, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Nias, Nias Selatan, Karo dan Labuhan Batu. Lalu kabupaten/kota pemekaran antara lain Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Pemko Gunung Sitoli dan Nias Barat. (http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40346:2010-sumut-laksanakan-24-pilkada&catid=77&Itemid=131 )


UNTUK DI RENUNGKAN

Bagi Para Calon
1. Di dalam konteks kompetisi politik, setiap Calon beserta parpol pendukung-TS harus memiliki sikap kedewasaan berpolitik siap kalah dan siap menang. Para Kandidat yang mengaku punya nilai lebih (sehingga mencalonkan diri) diharapkan memberikan pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat dan terlebih pendukungnya. Calon harus meninggalkan cara-cara kampanye yang mengarah kepada saling mendiskreditkan, kepicikan rasial apalagi kekerasan. Ingat Demokrasi juga berarti dapat menerima perbedaan pendapat, identitas, kelompok dan agama. Kemampuan untuk menghormati pendapat orang lain juga menunjukkan seberapa demokratis para Calon.

2. Dalam Kampanye dan bersosialisasi, para Calon tentunya akan memaparkan program kerjanya jika terpilih. Ada yang mengatakan mereka akan menjadi pemimpin amanah, merakyat, menggratiskan pendidikan dan kesehatan dan masih banyak lagi. Bukan itu saja, ada saja calon yang sedikit arogan mengatakan bahwa Kota A maju ditangannya dan karenanya masa depan Kota A ada di bahunya. Itu semua sah dalam proses demokrasi, tapi jangan sampai semua itu hanya sekadar rayuan yang utopia yg cenderung membodohi rakyatnya sendiri. Bagi masyarakat luas, harapan dari hasil pilkada adalah hadirnya pemimpin yang memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka. Itu saja yang diinginkan masyarakat luas. Tidak lebih. Karenanya, sangat diharapkan nantinya kepada seluruh kontestan untuk bersosialisasi  dengan menggunakan nurani dan akal sehat. Berkompetisi dengan cara-cara yang bermartabat. Sebab, dengan cara seperti itu, apa yang dilakukannya tidak melukai hati masyarakat luas (yg bisa saja merasa dibohongi).

Jangan pernah membohongi masyarakat, menjadi Bupati/Walikota adalah tujuan mulia bila dilandasi dengan niat baik, tetapi juga bisa menjadi malapetaka bila ada niat jahat mis.memperkaya diri. Untuk menjadi pejabat itu perlu luruskan niat, terlebih memiliki sikap takut akan TUHAN Yang Maha Kuasa. Karenanya didalam semangat menyala-nyala, sang peminat Bupati/Walikota harus melakukan kontemplasi. Benarkah tujuannya untuk membangun kota/kabupaten beserta masyarakatnya dan lingkungannya. Ataukah ada tujuan terselubung untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga?. Ataukah pencalonannya sendiri terlalu dipaksakan hingga menyiksa diri sendiri, atau bahkan akan menjadi bahan olok-olok masyarakat atas kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Ingat, ambisi dan jabatan bisa saja menjadi titik awal kehancuran seseorang bila tidak dijalani dalam kebenaran TUHAN, bisa menjadi awal "bencana" dalam keluarga dan karir. (bnk. nasib banyak pejabat publik yang akhirnya menjadi pesakitan di bui).

3. Bagi setiap Calon dan TS, diperlukan komitmen yang kuat untuk menjaga kondusivitas masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting karena tidak jarang dalam suasana menjelang Pilkada di mana politik menjadi panglima, berbagai intrik politik terus dihembuskan untuk menjatuhkan lawan politik. Sikut-menyikut, jegal-menjegal, saling ungkap keburukan, fitnah, serta ”jurus” jahat lainnya selalu dihembuskan untuk sekadar mendiskreditkan lawan politik serta menarik simpati massa (black campaign). Ini berpotensi memecah belah tatanan masyarakat yg sudah ada. Alih-alih kehadiran kalian di kampung halaman/daerah pemilihan membawa kebaikan dan peningkatan kesejahteraan, justru kalian bisa menciptakan rusaknya kekerabatan, sengketa di dalam lapisan masyarakat.

Karna itu, kepada Calon yang ikut dalam Pemilihan Bupati/Walikota di Sumut (dan di seantero Indonesia), masyarakat mengharapkan cara berkampanye yang sehat dan bermartabat. Sebab, ketika seseorang juru kampanye ataupun bakal calon kontestan Pilkada mengungkap keburukan orang lain (lawan politiknya), sesungguhnya dia telah menjelaskan kepada publik bahwa dirinya atau tokoh yang diusungnya tidak layak untuk menjadi kepala daerah. Masyarakat yang sudah semakin pintar akan melihat calon tsb ternyata lebih cocok untuk sekadar menjadi tukang gunjing, tukang gosip, bahkan bukan tidak mungkin lebih cocok menjadi tukang fitnah dari pada mengembah jabatan publik. Sungguh, apa yang dilakukan itu sebagaimana yang dikatakan peribahasa, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Toh masyarakat sudah semakin bisa menilai kandidat yang layak dipilih.
Jika tiap Calon ketika berkampanye banyak mengeluarkan dusta, maka itu bisa saja adalah signal bahwa ketika ia terpilih akan kembali "berdusta" & memposisikan diri sebagai raja-raja kecil yang setiap saat minta dilayani dan mengumpulkan pundi2 untuk balik modal ketika kampanye plus tambahan2nya. Sementara masyarakat lebih menderita. Akses dari desa menuju kota tetap sangat memrihatinkan lapangan pekerjaan susah, pupuk susah didapat. Sedangkan hutan tergerus habis dalam setiap tahun akibat penebangan liar. Infrastrukur yang menjadi akses utama dan denyut ekonomi masyarakat pun jauh dari yang diharapkan. Di mana-mana terjadi kerusakan parah tetap saja ada akibat tak pernah diurus. Kepemimpinan kalian tak sesuai dengan kondisi riil masyarakat lokal. Jika ini terjadi masyarakat beserta elemen lain akan menjadi lawan dikemudian hari membongkar dosa-dosa kalian.

Bagi Masyarakat
Elemen yang juga menjadi bagian penting di dalam proses Pilkada adalah masyarakat daerah itu sendiri. Karena itu sebagai pemegang kedaulatan, masyarakat daerah, hendaknya mampu memahami hak dan kewajibannya sebagai pemilih, mengenal risalah dan track record para Calon, menggunakan hak suara sesuai dengan nurani, tanpa tekanan dan intervensi dan tidak tergiur politik uang. Bahkan diharapkan masyarakat mampu melakukan fungsi kontrol sosial jika dalam implementasinya Calon, penyelenggara pemilu (KPUD dan Panwaslu) melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang Peraturan yang berlaku. Jangan justru masyarakat terpecah belah dan hidup dalam suasana kurang harmonis akibat Proses Pilkada.

Bagi kita sesama anggota masyarakat, Pintar dan semakin jeli-lah dalam Pilkada 2010. Pintarlah melihat bahwa menjelang Pilkada memang masalah kemiskinan, pertanian, pendidikan, pengangguran dan kerusakan jalan terus menjadi komuditas politik kandidat. Bahkan bisa saja ada kandidat yg rela membangun infrastruktur yang rusak demi mencari perhatian publik dan media lokal. Calon yang kebetulan incumbent pun bisa saja tiba-tiba makin gesit dan cepat menggelontorkan dana anggaran daerah demi membangun citra dan simpati publik. Apa jadinya setelah mereka terpilih? Siapa yang tahu hari esok. Tapi yang pasti melihat kinerja Kepala Daerah hasil Pilkada selama ini di banyak Daerah, ada yang berbalik 180 derajat, yang tadinya waktu kampanye seperti Malaikat dan dermawan, kemudian berubah menjadi drakula yang siap melahap habis harta dan kekayaan negara sebagai fasilitas publik. Jika masih saja terjadi demikian, sampai kapan pun masalah kemiskinan dan pengangguran tak kan pernah teratasi dengan baik dan akhirnya membuat masyarakat pesimis akan Pilkada (maka semakin besarlah Golput). 
Karena itu lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja memiliki posisi strategis memberikan pencerahan dan pendidikan politik dalam proses Pilkada kepada warganya. Gereja sama seperti lembaga keagamaan dan elemen kemasyarakatan yang ada harus mendampingi proses Pilkada di mana dia berada. Kita harus menggarami dan menerangi proses Pilkada 2010 ini. Jangan sampai justru Gereja dan Lembaga Keagamaan lainnya turut larut dalam permainan kotor Pilkada. Sehingga diharapkan Proses Pilkada akan menghasilkan Pemimpin Daerah yang benar-benar amanah, dan menjadi berkat buat semua. Bukan menjadi awal "malapetaka" baru di daerah dengan kebijakan yg tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat dan asas hukum di negara ini.

Bagi Penyelenggara Pemilu & Pihak Terkait
Kualitas Pilkada dapat dilihat dari aspek proses dan hasilnya. Belajar dari Pemilihan legislatif dan Presiden 2009 telah selesai. Pemilu berpotensi menimbulkan banyak masalah. Mulai dari kisruh masalah DPT, hingga kisruh penolakan dan atau dukung hasil Pemilu. Karena itu komponen penyelenggara Pilkada (KPUD dan Panwaslu) harus memiliki sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang baik. Penyelenggara Pemilu perlu semakin membekali diri dengan penguasaan peraturan yang terkait dengan pemilu, penguasaan thdp tahap-tahap pemilu, kemampuan leadership dan komunikasi dalam bekerja. Sehingga penyelenggara dapat bekerja secara tepat dan akurat (valid), sehingga persoalan DPT yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat memilih dalam Pemilu tidak terulang kembali. Demikian juga dalam penghitungan suara benar-benar dibutuhkan ketelitian, sehingga tidak terjadi lagi adanya penggelembungan suara atau sebaliknya ada suara yang tidak terhitung. Selain itu penyelengggara harus bersikap tegas, netral dan tidak terpengaruh dengan bujukan money politik dari perorangan atau kelompok tertentu. Demikian juga kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan pilkada yang pernah terjadi sebelumnya dapat diantisipasi pihak penyelenggara dan dicarikan solusinya. Masyarakat dan Bangsa ini berharap banyak pada netralitas dan keprofesionalan kerja penyelenggara Pilkada 2010.

Netralitas PNS-TNI-POLRI
Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya dalam menyongsong tahun pilkada adalah sikap positif yang mesti ditunjukkan oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk TNI dan POLRI. Dalam konteks perundang-undangan, PNS merupakan abdi masyarakat, yang juga menjadi penyelenggara negara. Dalam jabatan itu melekat tugas dan fungsi yang berada di atas semua golongan, semua kepentingan, dan semua lapisan masyarakat. Sehingga PNS harus benar-benar tidak berpihak pada salah satu Calon. Merupakan sebuah pengkhianatan terhadap bangsa dan negara jika PNS-TNI-POLRI berada dalam kelompok maupun golongan tertentu dalam pilkada. Aparatur Negara harus tetap netral dalam menyikapi para kontestan yang akan tampil sebagai bakal calon kepala daerah.

Benar adanya, akan terjadi tarik-menarik kepentingan dalam proses pilkada tersebut. Tarik-menarik kekuatan secara alamiah akan mempengaruhi khususnya PNS. Hal ini dapat dipahami karena PNS juga bagian dari masyarakat yang mempunyai hak politik untuk menentukan calon pilihannya dalam pilkada. Terlihat ada dualisme PNS. Oleh karena itu, PNS harus pandaipandai menempatkan dirinya. Ketika dia merasa bagian dari aparatur penyelenggara pemerintahan, maka dia harus berada dalam posisi yang netral. Untuk bisa berlaku seperti ini memerlukan iktikad yang kuat serta harus mampu membentengi diri dari sikap keterpengaruhan dari pihak lain dan profesional, menjauhi sikap menjilat/cari muka pada atasannya yg kebetulan ikut Calon .

PENUTUP
Atas realitas pilkada di tahun 2010 ini, sejatinya seluruh komponen masyarakat Sumut harus mampu menjaga situasi yang kondusif. Doa dan Tekat kita menjalani tahun 2010 yang penuh dengan kepentingan politik, masyarakat Sumut dapat menjaga kondusivitas yang baik, menjaga kerukunan antar umat beragama dan intern umat beragama, menjaga kerukunan tatanan adat, permargaan, dll. Masyarakat tentu tidak ingin akibat kepentingan segelintir orang kehidupan sosialnya  dirusak dan menimbulkan luka-luka dan kecurigaan sosial diantara masyarakat (sega nai puang...). Semoga pilkada memberikan hasil yang terbaik bagi masyarakat Sumut. Itu yang diharapkan. Selamat memasuki tahun politik 2010, Selamat ber Pilkada! TUHAN menyertai kita. Horas. (hp)

Thursday, January 07, 2010

Semoga Kami Tidak Repot Gus. (Refleksi Atas Wafatnya Gusdur)





Gusdur telah wafat. Indonesia kehilangan - saya kehilangan. Gusdur salah seorang tokoh yang saya kagumi pemikiran dan karakternya yg mempunyai ciri khas penuh makna.

Berita, kilas balik kiprah dan karya, kenangan dan pendapat masyarakat mulai dari tokoh Agama, tokoh politik hingga wong cilik mengisi berita-berita di media eletronik, cetak hingga mengisi wall jaringan sosial-pertemanan seperti facebook, twitter dll.

Elok rasanya moment ini tidak hanya bersifat melankonik belaka, melainkan kita mengambil makna tentang karya dan pemikiran Gusdur - sang Guru Bangsa - Tokoh kemajemukan. Berikut ada sebuah Paper ditulis oleh Imam Subkhan yang di posting di http://www.kabarindonesia.com/ tertanggal 06-Jan-2010. Disamping mengkalimatkan respon masyarakat terhadap kepergian Gusdur, bung Subkhan mengulas tentang ciri khas kiprah Gusdur dan mencoba membantu kita memaknai karya - pemikiran Gusdur. Semoga bermamfaat. Selamat Jalan Gusdur, pemikiranmu dan teladanmu tetap hidup di hati kami. Semoga kami - bangsa ini tidak repot hidup menghargai-dan saling menghormati kemajemukan beragama-kemajemukan pendapat - di bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika ini. God Bless.

Refleksi Kepergian Gus Dur

Walaupun sudah hampir satu pekan pasca wafatnya Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau biasa akrab disapa Gus Dur, namun suasana duka cita masih sangat terasa di setiap penjuru tanah air. Kita semua, seolah-olah belum percaya atas tiadanya sang pejuang demokrasi ini. Terasa, wafatnya beliau lebih cepat dari apa yang kita duga. Dikarenakan selama ini publik terbiasa disuguhi kabar tentang kesehatan Gus Dur yang naik turun. Namun pada kesempatan lain, Gus Dur tampil di media dengan statemen-statemennya yang khas atau menghadiri sebuah acara penting tertentu. Dua hal ini yang selama ini mewarnai kehidupan Gus Dur yang dikenal publik, terutama masyarakat awam, sehingga ketika terdengar kabar di media beberapa hari sebelum wafatnya beliau, tepatnya 24/12 bahwa kondisi kesehatan Gus Dur menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit seusai melakukan ziarah ke beberapa makam kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat tidak terlalu kaget, termasuk penulis.

Namun rupanya, di penghujung tahun 2009, Sang Kholik harus menyempurnakan perjuangan Gus Dur di dunia. Di usianya yang ke-69 tahun, bertepatan dengan hari ulang tahun putri bungsunya, 30/12, bangsa Indonesia harus kehilangan putra terbaiknya, Sang Guru Bangsa, Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme, Pahlawan Demokrasi, Pembela Kaum Minoritas, serta Negarawan Sejati. Sebagaimana diungkapkan presiden SBY tatkala memberikan sambutan pada acara kenegaraan pemakaman almarhum Gus Dur di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 31/12.


Meninggalnya Gus Dur, ternyata banyak sekali pelajaran dan hikmah yang patut dijadikan refleksi bersama oleh bangsa ini. Banyak yang mengira, ketika Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan pada tahun 2001, era Gus Dur sudah selesai. Pengaruh dan kharismatiknya diperkirakan sirna di tengah-tengah masyarakat. Ternyata, dugaan tersebut meleset dan telah terbantahkan dengan realita yang ada. Gus Dur tetap konsisten dalam memperjuangkan prinsip-prinsip hidupnya, walaupun tidak sedikit yang menghujat dan menentangnya. Beliau selalu hadir dan mengawal setiap momentum penting di negeri ini, termasuk kisruh KPK kemarin. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, semangat juang yang membara, serta diiringi kekuatan spiritual dan keikhlasannya dalam membela yang benar, telah mampu mengalahkan “musuh-musuhnya” sampai akhir hayatnya.

Kini, setelah beliau tiada, semuanya terbukti dan menjadi saksi. Betapa Gus Dur sangat dicintai dan dikagumi oleh semua lapisan masyarakat, termasuk yang selama ini berseberangan dengan pemikiran-pemikirannya, baik di ranah politik, budaya dan keagamaan. Lihat saja, sampai detik ini, makam Gus Dur di ponpes Tebuireng terus dibanjiri para peziarah dari seluruh penjuru tanah air dan berbagai elemen masyarakat. Mulai anak-anak, pelajar, mahasiswa, akademisi, pejabat, tukang becak, artis, seniman, budayawan, aktivis, tokoh ormas, santri, para kyai, pengusaha, turis asing, bahkan semua penganut agama turut berziarah dan mendoakannya.

Sementara di berbagai daerah, digelar doa bersama, tahlilan, dan shalat ghaib untuk mendiang Gus Dur. Selain itu, kegiatan yang cukup unik juga digelar, seperti aksi barongsai menabur bunga di atas foto Gus Dur di Solo serta aksi satu juta lilin dan doa bersama oleh komunitas lintas agama di tugu Proklamasi Jakarta baru-baru ini. Sungguh sebuah pemandangan langka jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang meninggal dunia sebelumnya, baik di Indonesia maupun di dunia.

Tidak hanya itu, para pemimpin-pemimpin dunia pun turut memberikan ucapan belasungkawa dan komentar mengenai sosok Gus Dur. Sekaliber presiden AS, Barrack Obama pun turut memberikan statemen bahwa Gus Dur sebagai perintis dan pemrakarsa demokrasi di Indonesia dan dunia. Sampai saat ini pun, berbagai media massa masih terus menayangkan biografi Gus Dur dalam “in memorium Gus Dur” disertai tanggapan dari para sahabat Gus Dur, bahkan rival-rival Gus Dur di kancah perpolitikan.

Ke-nyleneh-an Gus Dur selama ini dalam setiap statemennya, yang sebagian masyarakat menganggap kontroversi, ternyata diakui justru menjadi pelajaran, penggugah intelektualitas, pendobrak status quo, penerobos lingkar-lingkar primordialisme, serta pemberangus eksklusivisme dan fanatisme yang sempit. Seperti yang pernah dilontarkan dalam pandangan keagamaan, misalnya ucapan salam assalamu’alaikum supaya diganti selamat pagi, siang atau sore, Al Qur’an sebagai kitab paling porno karena menjelaskan hubungan seksual, pembolehan ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain, termasuk pandangannya terhadap negeri zionis Israel, dimana Gus Dur mengusulkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara tersebut.

Jika orang menilai pernyataan Gus Dur hanya dari satu sudut pandang, maka hasil akhirnya adalah penyalahan dan “pengkafiran”. Tetapi, jika kita mampu memandang secara multidimensi dan multiperspektif, maka hasilnya akan lain. Orang akan lebih arif, bijak, dan santun dalam memandang setiap persoalan termasuk perbedaan. Pelajaran berharga dari setiap lontaran pemikiran Gus Dur, sesungguhnya sanggup menggugah dan membuka wawasan selebar-lebarnya bagi para kaum intelektual, cendekiawan serta generasi muda, untuk lebih banyak belajar keilmuan dan pengalaman hidup.

Rekonsiliasi

Ibarat pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan budi atau jasa; Becik ketitik ala ketara. Begitulah yang bisa menggambarkan sosok Gus Dur dengan segala sepak terjangnya selama ini. Hampir semua lapisan masyarakat mengakui kebaikannya. Seperti yang ditanyakan oleh Salahuddin Wahid, adik Gus Dur kepada para peziarah dalam sambutan atas nama keluarga yang diulang sampai tiga kali “Apakah betul Gus Dur orang yang baik?” Semua yang hadir, termasuk presiden SBY mengamininya. Popularitas figur Gus Dur bukan hanya karena beliau merupakan mantan presiden RI ke-4, tetapi ketokohannya sudah diakui dan mengakar kuat di masyarakat, apalagi bagi warga nahdliyin. Dikarenakan beliau selama tiga periode memimpin NU yang merupakan ormas terbesar di Indonesia.

Maka tidak mengherankan, saat pemakaman jenazah cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari ini yang dilakukan secara kenegaraan, telah menjadi ajang pertemuan atau silaturrahim tokoh-tokoh, pejabat dan para kyai, termasuk yang selama ini berbeda pandangan dengan almarhum, khususnya di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti halnya kehadiran Muhaimin Iskandar yang juga keponakan almarhum, saat ini menjabat Menakertrans dan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB versi pemerintah. Bahkan Cak Imin panggilan akrabnya - merasa mendapatkan wasiat dari Gus Dur untuk bisa merangkul semua pihak yang selama ini tercerai-berai akibat konflik internal di PKB.

Tokoh PKB lain yang juga ikut bertakziyah adalah Alwi Shihab (mantan ketua umum PKB), Choirul Anam (sekarang pendiri PKNU), Effendi Choirie, Syaifullah Yusuf, Marwan Ja’far, Hanif Dhakiri, Eman Hermawan, dan Helmy Faishal Zaini (pengurus DPP PKB). Selain itu, sejumlah kyai kharismatik NU dan tokoh-tokoh PKB juga hadir, seperti KH Musthofa Bisri, KH Maimun Zubair, KH Abdurrahman Chudlori, KH Fawaid As’ad, KH Idris Marzuki, KH Muchit Muzadi, KH Hasyim Muzadi, Mahfud M.D. (sekarang ketua MK), dan para tokoh penting lainnya.

Sebenarnya dari pertemuan tokoh-tokoh tersebut yang telah sekian lama tidak terjalin komunikasi yang baik dapat menjadi momentum yang tepat untuk kembali kompak dan bersatu. Banyak pihak terutama arus bawah sangat menginginkan agar kepergian Gus Dur menjadi tonggak bagi segenap kader PKB dan warga NU untuk bisa merefleksikan diri, sekaligus melakukan rekonsiliasi. Dua kubu besar yang masih terus bercokol di tubuh PKB seharusnya bisa bersatu, yaitu kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Yenny Wahid (putri Gus Dur).

Caranya, masing-masing kekuatan harus bisa menanggalkan ego, kepentingan dan ambisi pribadi atau kelompok. Kemudian lebih mengedepankan keikhlasan dan semangat juang untuk membela kepentingan rakyat tanpa melihat posisi, rivalitas atau siapa yang memimpin, serta patuh terhadap nasihat para kyai sebagaimana tradisi di kalangan nahdliyin. Selain itu, semangat dan konsistensi Gus Dur untuk mewujudkan partai yang membawa misi keislaman inklusif, moderat, pluralis, menghargai perbedaan, dan menghormati HAM harus selalu terpatri kuat di jajaran pengurus PKB dan konstituennya. Jika ini terwujud, sungguh merupakan era kebangkitan dan kemenangan PKB untuk menghadapi pemilu 2014 yang akan datang. Karena kita tahu, pada pemilu 2009, tanpa dukungan dan restu Gus Dur, ternyata perolehan suara PKB tidak bisa berbicara banyak di tingkat nasional. Bisa dikatakan, tanpa Gus Dur, tidak akan ada PKB. Tetapi Gus Dur tetap menginginkan partai ini akan tetap eksis dan menjadi penyalur suara warga nahdliyin serta kaum wong cilik, untuk terus menyuarakan dan membela kebenaran, walaupun kehadiran jasadnya sudah tidak di tengah-tengah kita lagi. Oleh karena itu, sudah seharusnya, warga PKB dan NU yang paling terpanggil untuk memperjuangkan Gus Dur diberi gelar Pahlawan Nasional dengan terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi. (*)

Oleh : Imam Subkhan
* Penulis adalah anggota komunitas pecinta Gus Dur tinggal di Jaten Karanganyar