Thursday, January 07, 2010

Semoga Kami Tidak Repot Gus. (Refleksi Atas Wafatnya Gusdur)





Gusdur telah wafat. Indonesia kehilangan - saya kehilangan. Gusdur salah seorang tokoh yang saya kagumi pemikiran dan karakternya yg mempunyai ciri khas penuh makna.

Berita, kilas balik kiprah dan karya, kenangan dan pendapat masyarakat mulai dari tokoh Agama, tokoh politik hingga wong cilik mengisi berita-berita di media eletronik, cetak hingga mengisi wall jaringan sosial-pertemanan seperti facebook, twitter dll.

Elok rasanya moment ini tidak hanya bersifat melankonik belaka, melainkan kita mengambil makna tentang karya dan pemikiran Gusdur - sang Guru Bangsa - Tokoh kemajemukan. Berikut ada sebuah Paper ditulis oleh Imam Subkhan yang di posting di http://www.kabarindonesia.com/ tertanggal 06-Jan-2010. Disamping mengkalimatkan respon masyarakat terhadap kepergian Gusdur, bung Subkhan mengulas tentang ciri khas kiprah Gusdur dan mencoba membantu kita memaknai karya - pemikiran Gusdur. Semoga bermamfaat. Selamat Jalan Gusdur, pemikiranmu dan teladanmu tetap hidup di hati kami. Semoga kami - bangsa ini tidak repot hidup menghargai-dan saling menghormati kemajemukan beragama-kemajemukan pendapat - di bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika ini. God Bless.

Refleksi Kepergian Gus Dur

Walaupun sudah hampir satu pekan pasca wafatnya Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau biasa akrab disapa Gus Dur, namun suasana duka cita masih sangat terasa di setiap penjuru tanah air. Kita semua, seolah-olah belum percaya atas tiadanya sang pejuang demokrasi ini. Terasa, wafatnya beliau lebih cepat dari apa yang kita duga. Dikarenakan selama ini publik terbiasa disuguhi kabar tentang kesehatan Gus Dur yang naik turun. Namun pada kesempatan lain, Gus Dur tampil di media dengan statemen-statemennya yang khas atau menghadiri sebuah acara penting tertentu. Dua hal ini yang selama ini mewarnai kehidupan Gus Dur yang dikenal publik, terutama masyarakat awam, sehingga ketika terdengar kabar di media beberapa hari sebelum wafatnya beliau, tepatnya 24/12 bahwa kondisi kesehatan Gus Dur menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit seusai melakukan ziarah ke beberapa makam kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat tidak terlalu kaget, termasuk penulis.

Namun rupanya, di penghujung tahun 2009, Sang Kholik harus menyempurnakan perjuangan Gus Dur di dunia. Di usianya yang ke-69 tahun, bertepatan dengan hari ulang tahun putri bungsunya, 30/12, bangsa Indonesia harus kehilangan putra terbaiknya, Sang Guru Bangsa, Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme, Pahlawan Demokrasi, Pembela Kaum Minoritas, serta Negarawan Sejati. Sebagaimana diungkapkan presiden SBY tatkala memberikan sambutan pada acara kenegaraan pemakaman almarhum Gus Dur di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 31/12.


Meninggalnya Gus Dur, ternyata banyak sekali pelajaran dan hikmah yang patut dijadikan refleksi bersama oleh bangsa ini. Banyak yang mengira, ketika Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan pada tahun 2001, era Gus Dur sudah selesai. Pengaruh dan kharismatiknya diperkirakan sirna di tengah-tengah masyarakat. Ternyata, dugaan tersebut meleset dan telah terbantahkan dengan realita yang ada. Gus Dur tetap konsisten dalam memperjuangkan prinsip-prinsip hidupnya, walaupun tidak sedikit yang menghujat dan menentangnya. Beliau selalu hadir dan mengawal setiap momentum penting di negeri ini, termasuk kisruh KPK kemarin. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, semangat juang yang membara, serta diiringi kekuatan spiritual dan keikhlasannya dalam membela yang benar, telah mampu mengalahkan “musuh-musuhnya” sampai akhir hayatnya.

Kini, setelah beliau tiada, semuanya terbukti dan menjadi saksi. Betapa Gus Dur sangat dicintai dan dikagumi oleh semua lapisan masyarakat, termasuk yang selama ini berseberangan dengan pemikiran-pemikirannya, baik di ranah politik, budaya dan keagamaan. Lihat saja, sampai detik ini, makam Gus Dur di ponpes Tebuireng terus dibanjiri para peziarah dari seluruh penjuru tanah air dan berbagai elemen masyarakat. Mulai anak-anak, pelajar, mahasiswa, akademisi, pejabat, tukang becak, artis, seniman, budayawan, aktivis, tokoh ormas, santri, para kyai, pengusaha, turis asing, bahkan semua penganut agama turut berziarah dan mendoakannya.

Sementara di berbagai daerah, digelar doa bersama, tahlilan, dan shalat ghaib untuk mendiang Gus Dur. Selain itu, kegiatan yang cukup unik juga digelar, seperti aksi barongsai menabur bunga di atas foto Gus Dur di Solo serta aksi satu juta lilin dan doa bersama oleh komunitas lintas agama di tugu Proklamasi Jakarta baru-baru ini. Sungguh sebuah pemandangan langka jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar yang meninggal dunia sebelumnya, baik di Indonesia maupun di dunia.

Tidak hanya itu, para pemimpin-pemimpin dunia pun turut memberikan ucapan belasungkawa dan komentar mengenai sosok Gus Dur. Sekaliber presiden AS, Barrack Obama pun turut memberikan statemen bahwa Gus Dur sebagai perintis dan pemrakarsa demokrasi di Indonesia dan dunia. Sampai saat ini pun, berbagai media massa masih terus menayangkan biografi Gus Dur dalam “in memorium Gus Dur” disertai tanggapan dari para sahabat Gus Dur, bahkan rival-rival Gus Dur di kancah perpolitikan.

Ke-nyleneh-an Gus Dur selama ini dalam setiap statemennya, yang sebagian masyarakat menganggap kontroversi, ternyata diakui justru menjadi pelajaran, penggugah intelektualitas, pendobrak status quo, penerobos lingkar-lingkar primordialisme, serta pemberangus eksklusivisme dan fanatisme yang sempit. Seperti yang pernah dilontarkan dalam pandangan keagamaan, misalnya ucapan salam assalamu’alaikum supaya diganti selamat pagi, siang atau sore, Al Qur’an sebagai kitab paling porno karena menjelaskan hubungan seksual, pembolehan ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain, termasuk pandangannya terhadap negeri zionis Israel, dimana Gus Dur mengusulkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara tersebut.

Jika orang menilai pernyataan Gus Dur hanya dari satu sudut pandang, maka hasil akhirnya adalah penyalahan dan “pengkafiran”. Tetapi, jika kita mampu memandang secara multidimensi dan multiperspektif, maka hasilnya akan lain. Orang akan lebih arif, bijak, dan santun dalam memandang setiap persoalan termasuk perbedaan. Pelajaran berharga dari setiap lontaran pemikiran Gus Dur, sesungguhnya sanggup menggugah dan membuka wawasan selebar-lebarnya bagi para kaum intelektual, cendekiawan serta generasi muda, untuk lebih banyak belajar keilmuan dan pengalaman hidup.

Rekonsiliasi

Ibarat pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan budi atau jasa; Becik ketitik ala ketara. Begitulah yang bisa menggambarkan sosok Gus Dur dengan segala sepak terjangnya selama ini. Hampir semua lapisan masyarakat mengakui kebaikannya. Seperti yang ditanyakan oleh Salahuddin Wahid, adik Gus Dur kepada para peziarah dalam sambutan atas nama keluarga yang diulang sampai tiga kali “Apakah betul Gus Dur orang yang baik?” Semua yang hadir, termasuk presiden SBY mengamininya. Popularitas figur Gus Dur bukan hanya karena beliau merupakan mantan presiden RI ke-4, tetapi ketokohannya sudah diakui dan mengakar kuat di masyarakat, apalagi bagi warga nahdliyin. Dikarenakan beliau selama tiga periode memimpin NU yang merupakan ormas terbesar di Indonesia.

Maka tidak mengherankan, saat pemakaman jenazah cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari ini yang dilakukan secara kenegaraan, telah menjadi ajang pertemuan atau silaturrahim tokoh-tokoh, pejabat dan para kyai, termasuk yang selama ini berbeda pandangan dengan almarhum, khususnya di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti halnya kehadiran Muhaimin Iskandar yang juga keponakan almarhum, saat ini menjabat Menakertrans dan Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB versi pemerintah. Bahkan Cak Imin panggilan akrabnya - merasa mendapatkan wasiat dari Gus Dur untuk bisa merangkul semua pihak yang selama ini tercerai-berai akibat konflik internal di PKB.

Tokoh PKB lain yang juga ikut bertakziyah adalah Alwi Shihab (mantan ketua umum PKB), Choirul Anam (sekarang pendiri PKNU), Effendi Choirie, Syaifullah Yusuf, Marwan Ja’far, Hanif Dhakiri, Eman Hermawan, dan Helmy Faishal Zaini (pengurus DPP PKB). Selain itu, sejumlah kyai kharismatik NU dan tokoh-tokoh PKB juga hadir, seperti KH Musthofa Bisri, KH Maimun Zubair, KH Abdurrahman Chudlori, KH Fawaid As’ad, KH Idris Marzuki, KH Muchit Muzadi, KH Hasyim Muzadi, Mahfud M.D. (sekarang ketua MK), dan para tokoh penting lainnya.

Sebenarnya dari pertemuan tokoh-tokoh tersebut yang telah sekian lama tidak terjalin komunikasi yang baik dapat menjadi momentum yang tepat untuk kembali kompak dan bersatu. Banyak pihak terutama arus bawah sangat menginginkan agar kepergian Gus Dur menjadi tonggak bagi segenap kader PKB dan warga NU untuk bisa merefleksikan diri, sekaligus melakukan rekonsiliasi. Dua kubu besar yang masih terus bercokol di tubuh PKB seharusnya bisa bersatu, yaitu kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Yenny Wahid (putri Gus Dur).

Caranya, masing-masing kekuatan harus bisa menanggalkan ego, kepentingan dan ambisi pribadi atau kelompok. Kemudian lebih mengedepankan keikhlasan dan semangat juang untuk membela kepentingan rakyat tanpa melihat posisi, rivalitas atau siapa yang memimpin, serta patuh terhadap nasihat para kyai sebagaimana tradisi di kalangan nahdliyin. Selain itu, semangat dan konsistensi Gus Dur untuk mewujudkan partai yang membawa misi keislaman inklusif, moderat, pluralis, menghargai perbedaan, dan menghormati HAM harus selalu terpatri kuat di jajaran pengurus PKB dan konstituennya. Jika ini terwujud, sungguh merupakan era kebangkitan dan kemenangan PKB untuk menghadapi pemilu 2014 yang akan datang. Karena kita tahu, pada pemilu 2009, tanpa dukungan dan restu Gus Dur, ternyata perolehan suara PKB tidak bisa berbicara banyak di tingkat nasional. Bisa dikatakan, tanpa Gus Dur, tidak akan ada PKB. Tetapi Gus Dur tetap menginginkan partai ini akan tetap eksis dan menjadi penyalur suara warga nahdliyin serta kaum wong cilik, untuk terus menyuarakan dan membela kebenaran, walaupun kehadiran jasadnya sudah tidak di tengah-tengah kita lagi. Oleh karena itu, sudah seharusnya, warga PKB dan NU yang paling terpanggil untuk memperjuangkan Gus Dur diberi gelar Pahlawan Nasional dengan terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi. (*)

Oleh : Imam Subkhan
* Penulis adalah anggota komunitas pecinta Gus Dur tinggal di Jaten Karanganyar