Friday, January 22, 2010

TAHUN 2010 – TAHUN POLITIK SUMATERA UTARA

GENDERANG PILKADA SUDAH MULAI DITABUH
Happy Pakpahan

Wuuiihhh..., jalanan mulai ramai kembali dipenuhi spanduk, baliho, stiker, selebaran. Kali ini terkait Pemilihan Kepala Daerah yang berlangsung tahun 2010 ini. Jalanan yang sudah tidak teratur oleh pengemudi kendaraan yang semaunya, kini diperparah dengan tata ruang jalan yg tidak teratur pula oleh tempelan dan pajangan dimana-mana. Mulai dari pohon, segala jenis tiang, pagar di pasang alat-alat sosialisasi Pilkada oleh para calon dan kelompok masyarakat perihal dukung mendukung calon.

Melihat jalanan, Genderang Pilkada sudah di depan mata di tahun 2010 ini. Setidaknya kita lihat melalui sosialisasi yg ada, bahwa para peminat Bupati-wakil/Walikota-wakil sudah melakukan "rayuan" kepada masyarakat. Di beberapa daerah, Calon, TS & partai politik mulai melakukan manuver, berbagai pertemuan antar pengurus partai dengan calon kandidat intensif dilakukan. Statement dukung-mendukung juga mulai di bahas dan sosialisasikan oleh ormas-OKP dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Jejaringan sosial seperti Facebook dan Twitter juga mulai banyak diisi oleh sosialisasi Calon. Beberapa dari Calon kemudian membuat Web atau Blog sendiri dan mensosialisasikannya ke konsituen melalui dunia maya. Tak ketinggalan, "rayuannya" pun mulai ditebar ke masyarakat dengan alat komunikasi bervariasi mulai dari penyebaran stiker, spanduk, baleho, berkunjung ke pelosok daerah pedesaan hingga mengumpul massa untuk silaturahmi baik kepada aktifitas sosial, adat/marga, ormas, OKP, Kampus, Pabrik, Panti Asuhan/Jompo hingga lapo tuak. Jelas, ketika berkomunikasi para Calon dan Tim Sukses tampil sangat menjanjikan, bersikap dermawan, memberikan senyum termanis, bersikap melegakan, mencerahkan walaupun belum tentu dapat dibuktikan nantinya setelah terpilih. Satu sisi ini ada positifnya sehingga warga bisa mengenal Calon Kepala Daerahnya, tapi disisi lain ini menunjukkan sikap ketidak patuhan calon terhadap Peraturan yang ada karena oleh KPU sendiri penjadwalan segala bentuk Kampanye ini jelas belum dimulai.

PILKADA DI SUMUT

Di Sumatera Utara sendiri ada sebanyak 24 kabupaten/kota di Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 2010 akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada), ini diungkapkan ketua KPUD Sumut, Irham Buana Nasution kepada Waspada Online. Hal ini dilakukan dengan 2 gelombang; bulan Mei (rencana 12 Mei 2010) dan September 2010. Irham mengatakan, ke-24 kabupaten/kota tersebut, Medan, Binjai, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungun, Asahan, Tanjung Balai, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Selatan, Toba Samosir, Samosir. Kemudian, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Nias, Nias Selatan, Karo dan Labuhan Batu. Lalu kabupaten/kota pemekaran antara lain Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Pemko Gunung Sitoli dan Nias Barat. (http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40346:2010-sumut-laksanakan-24-pilkada&catid=77&Itemid=131 )


UNTUK DI RENUNGKAN

Bagi Para Calon
1. Di dalam konteks kompetisi politik, setiap Calon beserta parpol pendukung-TS harus memiliki sikap kedewasaan berpolitik siap kalah dan siap menang. Para Kandidat yang mengaku punya nilai lebih (sehingga mencalonkan diri) diharapkan memberikan pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat dan terlebih pendukungnya. Calon harus meninggalkan cara-cara kampanye yang mengarah kepada saling mendiskreditkan, kepicikan rasial apalagi kekerasan. Ingat Demokrasi juga berarti dapat menerima perbedaan pendapat, identitas, kelompok dan agama. Kemampuan untuk menghormati pendapat orang lain juga menunjukkan seberapa demokratis para Calon.

2. Dalam Kampanye dan bersosialisasi, para Calon tentunya akan memaparkan program kerjanya jika terpilih. Ada yang mengatakan mereka akan menjadi pemimpin amanah, merakyat, menggratiskan pendidikan dan kesehatan dan masih banyak lagi. Bukan itu saja, ada saja calon yang sedikit arogan mengatakan bahwa Kota A maju ditangannya dan karenanya masa depan Kota A ada di bahunya. Itu semua sah dalam proses demokrasi, tapi jangan sampai semua itu hanya sekadar rayuan yang utopia yg cenderung membodohi rakyatnya sendiri. Bagi masyarakat luas, harapan dari hasil pilkada adalah hadirnya pemimpin yang memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka. Itu saja yang diinginkan masyarakat luas. Tidak lebih. Karenanya, sangat diharapkan nantinya kepada seluruh kontestan untuk bersosialisasi  dengan menggunakan nurani dan akal sehat. Berkompetisi dengan cara-cara yang bermartabat. Sebab, dengan cara seperti itu, apa yang dilakukannya tidak melukai hati masyarakat luas (yg bisa saja merasa dibohongi).

Jangan pernah membohongi masyarakat, menjadi Bupati/Walikota adalah tujuan mulia bila dilandasi dengan niat baik, tetapi juga bisa menjadi malapetaka bila ada niat jahat mis.memperkaya diri. Untuk menjadi pejabat itu perlu luruskan niat, terlebih memiliki sikap takut akan TUHAN Yang Maha Kuasa. Karenanya didalam semangat menyala-nyala, sang peminat Bupati/Walikota harus melakukan kontemplasi. Benarkah tujuannya untuk membangun kota/kabupaten beserta masyarakatnya dan lingkungannya. Ataukah ada tujuan terselubung untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga?. Ataukah pencalonannya sendiri terlalu dipaksakan hingga menyiksa diri sendiri, atau bahkan akan menjadi bahan olok-olok masyarakat atas kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Ingat, ambisi dan jabatan bisa saja menjadi titik awal kehancuran seseorang bila tidak dijalani dalam kebenaran TUHAN, bisa menjadi awal "bencana" dalam keluarga dan karir. (bnk. nasib banyak pejabat publik yang akhirnya menjadi pesakitan di bui).

3. Bagi setiap Calon dan TS, diperlukan komitmen yang kuat untuk menjaga kondusivitas masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting karena tidak jarang dalam suasana menjelang Pilkada di mana politik menjadi panglima, berbagai intrik politik terus dihembuskan untuk menjatuhkan lawan politik. Sikut-menyikut, jegal-menjegal, saling ungkap keburukan, fitnah, serta ”jurus” jahat lainnya selalu dihembuskan untuk sekadar mendiskreditkan lawan politik serta menarik simpati massa (black campaign). Ini berpotensi memecah belah tatanan masyarakat yg sudah ada. Alih-alih kehadiran kalian di kampung halaman/daerah pemilihan membawa kebaikan dan peningkatan kesejahteraan, justru kalian bisa menciptakan rusaknya kekerabatan, sengketa di dalam lapisan masyarakat.

Karna itu, kepada Calon yang ikut dalam Pemilihan Bupati/Walikota di Sumut (dan di seantero Indonesia), masyarakat mengharapkan cara berkampanye yang sehat dan bermartabat. Sebab, ketika seseorang juru kampanye ataupun bakal calon kontestan Pilkada mengungkap keburukan orang lain (lawan politiknya), sesungguhnya dia telah menjelaskan kepada publik bahwa dirinya atau tokoh yang diusungnya tidak layak untuk menjadi kepala daerah. Masyarakat yang sudah semakin pintar akan melihat calon tsb ternyata lebih cocok untuk sekadar menjadi tukang gunjing, tukang gosip, bahkan bukan tidak mungkin lebih cocok menjadi tukang fitnah dari pada mengembah jabatan publik. Sungguh, apa yang dilakukan itu sebagaimana yang dikatakan peribahasa, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Toh masyarakat sudah semakin bisa menilai kandidat yang layak dipilih.
Jika tiap Calon ketika berkampanye banyak mengeluarkan dusta, maka itu bisa saja adalah signal bahwa ketika ia terpilih akan kembali "berdusta" & memposisikan diri sebagai raja-raja kecil yang setiap saat minta dilayani dan mengumpulkan pundi2 untuk balik modal ketika kampanye plus tambahan2nya. Sementara masyarakat lebih menderita. Akses dari desa menuju kota tetap sangat memrihatinkan lapangan pekerjaan susah, pupuk susah didapat. Sedangkan hutan tergerus habis dalam setiap tahun akibat penebangan liar. Infrastrukur yang menjadi akses utama dan denyut ekonomi masyarakat pun jauh dari yang diharapkan. Di mana-mana terjadi kerusakan parah tetap saja ada akibat tak pernah diurus. Kepemimpinan kalian tak sesuai dengan kondisi riil masyarakat lokal. Jika ini terjadi masyarakat beserta elemen lain akan menjadi lawan dikemudian hari membongkar dosa-dosa kalian.

Bagi Masyarakat
Elemen yang juga menjadi bagian penting di dalam proses Pilkada adalah masyarakat daerah itu sendiri. Karena itu sebagai pemegang kedaulatan, masyarakat daerah, hendaknya mampu memahami hak dan kewajibannya sebagai pemilih, mengenal risalah dan track record para Calon, menggunakan hak suara sesuai dengan nurani, tanpa tekanan dan intervensi dan tidak tergiur politik uang. Bahkan diharapkan masyarakat mampu melakukan fungsi kontrol sosial jika dalam implementasinya Calon, penyelenggara pemilu (KPUD dan Panwaslu) melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang Peraturan yang berlaku. Jangan justru masyarakat terpecah belah dan hidup dalam suasana kurang harmonis akibat Proses Pilkada.

Bagi kita sesama anggota masyarakat, Pintar dan semakin jeli-lah dalam Pilkada 2010. Pintarlah melihat bahwa menjelang Pilkada memang masalah kemiskinan, pertanian, pendidikan, pengangguran dan kerusakan jalan terus menjadi komuditas politik kandidat. Bahkan bisa saja ada kandidat yg rela membangun infrastruktur yang rusak demi mencari perhatian publik dan media lokal. Calon yang kebetulan incumbent pun bisa saja tiba-tiba makin gesit dan cepat menggelontorkan dana anggaran daerah demi membangun citra dan simpati publik. Apa jadinya setelah mereka terpilih? Siapa yang tahu hari esok. Tapi yang pasti melihat kinerja Kepala Daerah hasil Pilkada selama ini di banyak Daerah, ada yang berbalik 180 derajat, yang tadinya waktu kampanye seperti Malaikat dan dermawan, kemudian berubah menjadi drakula yang siap melahap habis harta dan kekayaan negara sebagai fasilitas publik. Jika masih saja terjadi demikian, sampai kapan pun masalah kemiskinan dan pengangguran tak kan pernah teratasi dengan baik dan akhirnya membuat masyarakat pesimis akan Pilkada (maka semakin besarlah Golput). 
Karena itu lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja memiliki posisi strategis memberikan pencerahan dan pendidikan politik dalam proses Pilkada kepada warganya. Gereja sama seperti lembaga keagamaan dan elemen kemasyarakatan yang ada harus mendampingi proses Pilkada di mana dia berada. Kita harus menggarami dan menerangi proses Pilkada 2010 ini. Jangan sampai justru Gereja dan Lembaga Keagamaan lainnya turut larut dalam permainan kotor Pilkada. Sehingga diharapkan Proses Pilkada akan menghasilkan Pemimpin Daerah yang benar-benar amanah, dan menjadi berkat buat semua. Bukan menjadi awal "malapetaka" baru di daerah dengan kebijakan yg tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat dan asas hukum di negara ini.

Bagi Penyelenggara Pemilu & Pihak Terkait
Kualitas Pilkada dapat dilihat dari aspek proses dan hasilnya. Belajar dari Pemilihan legislatif dan Presiden 2009 telah selesai. Pemilu berpotensi menimbulkan banyak masalah. Mulai dari kisruh masalah DPT, hingga kisruh penolakan dan atau dukung hasil Pemilu. Karena itu komponen penyelenggara Pilkada (KPUD dan Panwaslu) harus memiliki sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang baik. Penyelenggara Pemilu perlu semakin membekali diri dengan penguasaan peraturan yang terkait dengan pemilu, penguasaan thdp tahap-tahap pemilu, kemampuan leadership dan komunikasi dalam bekerja. Sehingga penyelenggara dapat bekerja secara tepat dan akurat (valid), sehingga persoalan DPT yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat memilih dalam Pemilu tidak terulang kembali. Demikian juga dalam penghitungan suara benar-benar dibutuhkan ketelitian, sehingga tidak terjadi lagi adanya penggelembungan suara atau sebaliknya ada suara yang tidak terhitung. Selain itu penyelengggara harus bersikap tegas, netral dan tidak terpengaruh dengan bujukan money politik dari perorangan atau kelompok tertentu. Demikian juga kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan pilkada yang pernah terjadi sebelumnya dapat diantisipasi pihak penyelenggara dan dicarikan solusinya. Masyarakat dan Bangsa ini berharap banyak pada netralitas dan keprofesionalan kerja penyelenggara Pilkada 2010.

Netralitas PNS-TNI-POLRI
Selanjutnya, yang tidak kalah pentingnya dalam menyongsong tahun pilkada adalah sikap positif yang mesti ditunjukkan oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk TNI dan POLRI. Dalam konteks perundang-undangan, PNS merupakan abdi masyarakat, yang juga menjadi penyelenggara negara. Dalam jabatan itu melekat tugas dan fungsi yang berada di atas semua golongan, semua kepentingan, dan semua lapisan masyarakat. Sehingga PNS harus benar-benar tidak berpihak pada salah satu Calon. Merupakan sebuah pengkhianatan terhadap bangsa dan negara jika PNS-TNI-POLRI berada dalam kelompok maupun golongan tertentu dalam pilkada. Aparatur Negara harus tetap netral dalam menyikapi para kontestan yang akan tampil sebagai bakal calon kepala daerah.

Benar adanya, akan terjadi tarik-menarik kepentingan dalam proses pilkada tersebut. Tarik-menarik kekuatan secara alamiah akan mempengaruhi khususnya PNS. Hal ini dapat dipahami karena PNS juga bagian dari masyarakat yang mempunyai hak politik untuk menentukan calon pilihannya dalam pilkada. Terlihat ada dualisme PNS. Oleh karena itu, PNS harus pandaipandai menempatkan dirinya. Ketika dia merasa bagian dari aparatur penyelenggara pemerintahan, maka dia harus berada dalam posisi yang netral. Untuk bisa berlaku seperti ini memerlukan iktikad yang kuat serta harus mampu membentengi diri dari sikap keterpengaruhan dari pihak lain dan profesional, menjauhi sikap menjilat/cari muka pada atasannya yg kebetulan ikut Calon .

PENUTUP
Atas realitas pilkada di tahun 2010 ini, sejatinya seluruh komponen masyarakat Sumut harus mampu menjaga situasi yang kondusif. Doa dan Tekat kita menjalani tahun 2010 yang penuh dengan kepentingan politik, masyarakat Sumut dapat menjaga kondusivitas yang baik, menjaga kerukunan antar umat beragama dan intern umat beragama, menjaga kerukunan tatanan adat, permargaan, dll. Masyarakat tentu tidak ingin akibat kepentingan segelintir orang kehidupan sosialnya  dirusak dan menimbulkan luka-luka dan kecurigaan sosial diantara masyarakat (sega nai puang...). Semoga pilkada memberikan hasil yang terbaik bagi masyarakat Sumut. Itu yang diharapkan. Selamat memasuki tahun politik 2010, Selamat ber Pilkada! TUHAN menyertai kita. Horas. (hp)