NEGERI ini punya banyak ironi. Inilah negeri yang dikepung laut, tapi mengimpor garam. Inilah pula negara agraris yang mengimpor beras.
Bahkan, tahun ini Indonesia diperkirakan bakal mengimpor 1,75 juta ton beras dan menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua dunia.
Perkiraan itu dibuat Kementerian Pertanian Amerika Serikat. Posisi Indonesia hanya satu tingkat di bawah Nigeria, salah satu negara rawan pangan di Afrika, yang tahun ini diperkirakan mengimpor 1,9 juta ton beras.
Kalau proyeksi itu benar, sepantasnya bangsa ini malu besar. Bukankah negeri ini negara agraris? Bukankah itu kemunduran karena pada 2008 dan 2009 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri?
Ada banyak faktor dituding sebagai penyebab, antara lain menyusutnya lahan pertanian, meningkatnya permintaan, dan cuaca yang ekstrem.
Menyusutnya lahan pertanian jelas akibat tidak adanya kebijakan yang benar-benar berpihak kepada sektor pertanian. Sepanjang 2007-2010 saja sekitar 600 ribu hektare lahan pertanian beralih fungsi.
Di tengah krisis pangan dunia sekarang yang diperkirakan masih terus berlangsung, pemerintah tetap membiarkan lahan-lahan pertanian tergerus menjadi jalan tol. Untuk kebutuhan jalan tol Jakarta-Surabaya saja, sedikitnya 4.500 hektare sawah di Pulau Jawa bakal lenyap.
Pemerintah juga tidak berpihak kepada petani. Di tengah melambungnya harga pangan dunia yang rata-rata menanjak 15% dalam enam bulan terakhir, pemerintah justru berkeras mempertahankan harga pembelian beras. Petani sebagai produsen padi tidak mendapat keuntungan dari pasar karena pemerintah memihak kepada konsumen.
Jangan-jangan itu yang membuat petani lebih memilih menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Jumlah pekerja di sektor pertanian pada Agustus 2010 turun 1,34 juta orang apabila dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya.
Mengendurnya program pengendalian jumlah penduduk menambah runyam persoalan beras.
Penduduk tumbuh 1,3%, sedangkan produksi padi hanya tumbuh 1%. Sebagai gambaran, setiap tahun jumlah penduduk Indonesia yang harus diberi makan nasi bertambah sebanyak penduduk Singapura.
Bila pemerintah tetap mengabaikan program keluarga berencana di satu pihak, dan di lain pihak juga tetap membiarkan perubahan fungsi lahan pertanian serta mengabaikan nasib petani, hanya soal waktu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di jagat.
Terlebih lagi bila semua itu disertai pula dengan perubahan cuaca ekstrem yang berkepanjangan, Indonesia bahkan bisa terancam krisis beras.
Apalagi sudah ada alarm, di tengah ancaman krisis pangan global, negara-negara produsen utama beras bakal memproteksi ketahanan pangan negara mereka sendiri dengan menahan ekspor komoditas mereka.
Tidak mudah memberi makan 237 juta perut. Bila perut rakyat kosong, sia-sialah membela stabilitas politik. Karena itu, pemerintah jangan anggap enteng masalah beras dengan kebijakan gampangan main impor.
Bahkan, tahun ini Indonesia diperkirakan bakal mengimpor 1,75 juta ton beras dan menjadi negara pengimpor beras terbesar kedua dunia.
Perkiraan itu dibuat Kementerian Pertanian Amerika Serikat. Posisi Indonesia hanya satu tingkat di bawah Nigeria, salah satu negara rawan pangan di Afrika, yang tahun ini diperkirakan mengimpor 1,9 juta ton beras.
Kalau proyeksi itu benar, sepantasnya bangsa ini malu besar. Bukankah negeri ini negara agraris? Bukankah itu kemunduran karena pada 2008 dan 2009 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri?
Ada banyak faktor dituding sebagai penyebab, antara lain menyusutnya lahan pertanian, meningkatnya permintaan, dan cuaca yang ekstrem.
Menyusutnya lahan pertanian jelas akibat tidak adanya kebijakan yang benar-benar berpihak kepada sektor pertanian. Sepanjang 2007-2010 saja sekitar 600 ribu hektare lahan pertanian beralih fungsi.
Di tengah krisis pangan dunia sekarang yang diperkirakan masih terus berlangsung, pemerintah tetap membiarkan lahan-lahan pertanian tergerus menjadi jalan tol. Untuk kebutuhan jalan tol Jakarta-Surabaya saja, sedikitnya 4.500 hektare sawah di Pulau Jawa bakal lenyap.
Pemerintah juga tidak berpihak kepada petani. Di tengah melambungnya harga pangan dunia yang rata-rata menanjak 15% dalam enam bulan terakhir, pemerintah justru berkeras mempertahankan harga pembelian beras. Petani sebagai produsen padi tidak mendapat keuntungan dari pasar karena pemerintah memihak kepada konsumen.
Jangan-jangan itu yang membuat petani lebih memilih menjadi buruh pabrik atau tukang ojek. Jumlah pekerja di sektor pertanian pada Agustus 2010 turun 1,34 juta orang apabila dibandingkan dengan enam bulan sebelumnya.
Mengendurnya program pengendalian jumlah penduduk menambah runyam persoalan beras.
Penduduk tumbuh 1,3%, sedangkan produksi padi hanya tumbuh 1%. Sebagai gambaran, setiap tahun jumlah penduduk Indonesia yang harus diberi makan nasi bertambah sebanyak penduduk Singapura.
Bila pemerintah tetap mengabaikan program keluarga berencana di satu pihak, dan di lain pihak juga tetap membiarkan perubahan fungsi lahan pertanian serta mengabaikan nasib petani, hanya soal waktu Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di jagat.
Terlebih lagi bila semua itu disertai pula dengan perubahan cuaca ekstrem yang berkepanjangan, Indonesia bahkan bisa terancam krisis beras.
Apalagi sudah ada alarm, di tengah ancaman krisis pangan global, negara-negara produsen utama beras bakal memproteksi ketahanan pangan negara mereka sendiri dengan menahan ekspor komoditas mereka.
Tidak mudah memberi makan 237 juta perut. Bila perut rakyat kosong, sia-sialah membela stabilitas politik. Karena itu, pemerintah jangan anggap enteng masalah beras dengan kebijakan gampangan main impor.