ADA yang aneh dalam kehidupan berbangsa di Republik ini. Kita punya negara, tapi keberadaannya hampir tidak dirasakan warga. Negara absen justru ketika rakyat membutuhkan perlindungan. Negara seolah hanya hadir saat warga mengurus identitas kewargaan seperti KTP dan paspor atau rupa-rupa perizinan.
Lebih parah lagi, negara seolah membiarkan tindakan sekelompok orang yang berkomplot melakukan kekerasan. Bahkan, dengan payung organisasi kemasyarakatan (ormas), kelompok itu mendapatkan tiket untuk meneror, merusak, melukai, dan bahkan membunuh warga yang berbeda pandangan.
Negara yang memiliki monopoli kekerasan tidak menggunakan haknya itu untuk menegakkan hukum, tetapi malah menjadi penonton kebrutalan. Berkali-kali ormas anarkistis, atau minimal anasir-anasirnya, menjadi hakim jalanan tanpa ada tindakan tegas.
Itulah mengapa mereka menerjemahkan pesan itu secara gamblang bahwa apabila kekerasan dilakukan secara kolektif dan membawa atribut agama, negara pasti tidak akan menindak, apalagi menghukum.
Karena itu, tidak mengherankan jika tindak kekerasan atas nama agama masih sangat tinggi. Data Setara Institute menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi 286 tindak kekerasan. Sebanyak 103 kekerasan atas nama agama itu dilakukan elemen negara dan 183 kekerasan oleh nonnegara, termasuk ormas anarkistis.
Data tersebut menunjukkan negara terus kalah oleh ormas penguasa jalanan itu. Kian kelihatan kekalahan telak negara ketika tuntutan pembubaran ormas anarkistis itu selalu dijawab dengan pernyataan membubarkan ormas tidak mudah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah memberikan jalan bagi pembubaran ormas anarkistis. Namun, jalan itu amat panjang dan berliku-liku.
Awalnya ormas itu harus dibekukan dulu. Syaratnya setelah mereka melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan pemerintah pusat; dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara, pemerintah dapat membekukan ormas tersebut.
Pembekuan itu tidak bisa langsung dilakukan. Pengurus ormas itu harus lebih dulu dipanggil dan diberi peringatan. Pemerintah baru bisa membekukan pengurus ormas yang bersangkutan setelah meminta pertimbangan dan saran dari segi hukum dari Mahkamah Agung.
Bila setelah dibekukan ormas tersebut bertobat, pembekuan bisa dicabut dan ormas itu boleh beroperasi lagi. Jika mereka melakukan tindakan lagi yang sama dengan sebelum pembekuan, baru bisa dibubarkan.
Namun, negara mestinya tidak boleh menyerah. Asal ada kemauan, pasti ada jalan bagi terobosan hukum. Bukankah prinsip umum demokrasi berlaku bahwa freedom of association mengandung syarat peacefull association?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan ormas anarkistis dibubarkan. Itu perintah yang mesti dibaca agar penegak hukum mencari terobosan hukum sehingga pembubaran yang sah dan legal segera dapat dilakukan.
Sekali lagi, itu perintah Presiden dan jangan menjadikan Kepala Pemerintahan bahan olok-olok sebagai pemimpin yang banyak melahirkan instruksi tanpa ada yang bisa dieksekusi. Bila Kapolri dan Jaksa Agung tidak sanggup melaksanakannya, mengapa tidak meletakkan jabatan?