GERAKAN BERSAMA MENCEGAH HIV AIDS
- PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA 1 DESEMBER -
Happy Pakpahan (Komite HIV AIDS HKI)
(P. Siantar, 19/12-08). Ditengah gencarnya Program Pencegahan HIV (Human Immunodeficiency Virus) - AIDS [Acquired Immune Deficiency Syndrome] dan munculnya banyak Lembaga bentukan pemerintah, Lembaga keagamaan, LSM dengan lingkup program pencegahan dan pendampingan HIV AIDS, kita sebenarnya layak terkejut bila kita tidak terkejut melihat realitas bahwa ternyata penyebaran HIV AIDS tetap makin marak dimasyarakat. Ini tidak terlepas dari perilaku seks bebas, pemakaian narkoba (drugs) yang erat kaitannya dengan meningkatan pengidap HIV AIDS dimasyarakat.
Menarik apa yang disampaikan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nafsiah Mboi yang mengatakan Pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia dinilai gagal. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) meminta pemerintah tegas mengeluarkan aturan 'no condom no sex'. Menurut Nafsiah, cara yang paling efektif untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah dengan melakukan pencegahan. Dia mencontohkan upaya pencegahan itu perlu dibarengi dengan perubahan konstruksi sosial di dalam masyarakat menyangkut arti kejantanan. Kejantanan harus diidentikkan dengan kemampuan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, termasuk dari bahaya HIV/AIDS. "Harus ada perubahan, laki-laki jantan itu kayak apa sih? Laki-laki jantan itu yang bisa melindungi dirinya dan orang lain, melindungi kesehatan dirinya dan orang lain," tukasnya. Nafsiah Mboi mengingat hubungan seksual adalah salah satu penyebar utama virus HIV/AIDS, pemerintah perlu membuat kebijakan terkait dengan penggunaan kondom. Pemerintah harus membuat kebijakan wajib pakai kondom bagi pelaku hubungan seksual yang bebas. "Pemerintah harus bisa membuat kebijakan wajib makai kondom atau tidak (seks) sama sekali, no kondom no sex" (Sumber:Antara-http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/13/1947422/upaya.cegah.penyebaran.hivaids.gagal).
Statement Nafsiah Mboi yang mengatakan Pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia dinilai gagal, hendaknya memacu kita. Satu sisi hal ini membuka mata kita bahwa keadaan belum banyak berubah tapi disisi lain masih terlalu dini mengatakan gagal mengacu kepada proses penyadaran dan pencegahan itu masih "on the way". Tapi yang pasti sudah saatnya kita semakin serius untuk mencegah HIV AIDS, karena semua orang termasuk kita sangat berpotensi terindap HIV AIDS. Sehingga Efektif jika gerakan ini menjadi gerakan bersama.
STATISTIK KASUS HIV/AIDS DI INDONESIA – dilapor s/d Juni 2008.
Ditjen PPM & PL Depkes RI dari melaporkan bahwa dalam triwulan April s.d. Juni 2008 telah terdapat tambahan 819 kasus AIDS dan 148 pengidap infeksi HIV yang terdiri dari: 212 HIV & 1546 AIDS. Secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS 1 Januari 1987 s.d. 30 Juni 2008, terdiri dari: 6277 HIV & 12686 AIDS. Total Jumlah HIV dan AIDS di Indonesia : 18.963 dengan kematian: 2479. (dikutip dari http://spiritia.or.id/). Bisa dibayangkan bila angka penderita HIV/AIDS semakin meningkat di negeri ini, maka dapat dipastikan Indonesia akan kehilangan asset yang paling berharga yaitu generasi bangsa yang tangguh dan berkualitas di masa yang akan datang. Apalagi semua orang percaya fenomena HIV/AIDS seperti gunung es, penderita yang berhasil diidentifikasi hanyalah sebagian kecil dari keadaan sebenarnya.
Singkat kata perlu upaya yang lebih efektif mencegah HIV AIDS. Dan ini harus lah gerakan bersama lintas anggota masyarakat.
SEMUA ORANG BISA IKUT DALAM GERAKAN PENCEGAHAN DAN PENDAMPINGAN - PENANGGULANGAN HIV/AIDS
Melihat 4 mata rantai penyebarluasan HIV AIDS diatas, bisa kita simpulkan bahwa HIV/AIDS adalah masalah kesehatan dan mempunyai implikasi politik, sosial, agama dan hukum. Bahkan bila tidak dilakukan penanganan yang sungguh-sungguh maka dampaknya secara nyata, cepat atau lambat dapat menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia dan pada akhirnya hal ini akan mengancam upaya bangsa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. (Siapa yang mau pejabat di daerah-negaranya pecandu narkoba-seks bebas? – mengontrol dirinya saja tidak mampu apalagi memimpin daerah-negara).
Karena penyebaran HIV/AIDS sangat kuat dipengaruhi oleh tingkah laku manusia oleh sebab itu segala usaha untuk pencegahannya haruslah mempertimbangkan faktor ini. Upaya ini efektif bila kita memiliki asumsi dasar yang sama bahwa kita melihat diri sebagai bagian dari penyelesaian. Kita bersama Orang dengan HIV/AIDS bukan obyek atau sasaran semata, melainkan mempunyai peran dan tanggung jawab dalam upaya dukungan dan pencegahan AIDS. Berikut beberapa hal yang dapat kita lakukan (lintas usia, profesi dan lintas cara) untuk mencegah dan mendampingi HIV AIDS.
1. Menghapus Stigma dan Diskriminasi.
HIV/AIDS telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak tahun 1987. Keberadaannya langsung diiringi munculnya banyak stigma negatif seperti HIV AIDS adalah penyakit kutukan, mereka yang mengidap adalah pelaku zinah dan pemakai narkoba, HIV AIDS penyakit menular sehingga pengidapnya harus di kucilkan dll. Ini semua menimbulkan nuansa ketakutan dan rasa malu, bukan hanya bagi si pengidap tetapi hingga ke seluruh kerabat. Hal ini diperparah dengan penolakan oleh tenaga kesehatan dan penyedia layanan lainnya, peraturan yang diskriminatif, pemberitaan media massa yang sensasional, dan pembocoran status HIV seseorang sehingga menimbulkan rasa malu dan minder, dll. Jadi jelas upaya pencegahan HIV/AIDS di Indonesia terhambat oleh masih adanya stigmatisasi di kalangan masyarakat.
Menurut Aburizal Bakrie, hambatan utama yang dihadapi dalam pencegahan HIV/AIDS saat ini adalah munculnya stigmatisasi. Jika berbicara tentang pencegahan HIV/AIDS melalui penggunaan kondom, maka hal ini dianggap berhubungan dengan upaya pemerintah untuk melindungi setiap orang yang berperilaku seksual bebas, bahkan sejumlah kalangan sering mengasosiasikan ini sebagai sosialisasi perilaku seks bebas. ( http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/28/1937477/stigmatisasi.hambat.pencegahan.hivaids.)
Upaya menghapus diskriminasi harus diimbangi pada sikap pemberdayaan dan kesempatan bagi orang HIV-positif untuk bisa bekerja dan berpenghidupan yang layak. Untuk itu perlu memberikan keterampilan agar orang HIV-positif bisa memenuhi peran tersebut dengan nyata karena hak setiap orang (termasuk ODHA) untuk memperoleh pekerjaan dan Negara perlu melindungi hak ini. Perlindungan dan Penegakan hak asasi manusia untuk orang HIV-positif perlu ditingkatkan.
2. Ketersediaan layanan dan tenaga kesehatan yang ”bersahabat” dengan orang HIV-positif. Salah satu mata rantai penularan HIV/AIDS adalah Akibat “Efek Spiral” transfusi darah, ASI, alat-alat kedokteran, hubungan suami isteri yang sudah tertular karena seks bebas. Sehingga tidaklah heran, apabila banyak ditemukan 3000 bayi lahir dengan mengidap HIV positif. Karena itu perlu Ketersediaan layanan dan tenaga kesehatan yang ”bersahabat” dengan orang HIV-positif. Ini bisa dalam bentuk tersedianya dukungan sebelum dan sesudah tes agar orang HIV-positif dapat menerima hasil tes dan menjalani hidup secara positif dan bermartabat. Pemerolehan obat-obatan antiretroviral dan obat-obatan untuk infeksi oportunistik dengan standar yang baik dengan harga terjangkau perlu segera ditingkatkan dan lebih merata. Dan disamping itu perlu pembekalan agar tenaga kesehatan memiliki kesiapan menangani ODHA dan menghindari penyebarluasan keorang lain akibat kesalahan penanganan medias. Misalnya dalam hal transfusi darah juga harus dipastikan darah donor bersih dari infeksi virus HIV. Perlu diatasi kurangnya akses pada pengobatan dilihat sebagai kendala yang sangat membatasi orang HIV-positif untuk memperpanjang masa tanpa gejala atau masa produktifnya sebagai manusia. Disamping itu, hak orang HIV-positif untuk mempunyai keturunan agar dilindungi dan segala upaya dilaksanakan agar bisa dilakukan dengan cara yang paling aman untuk ibu dan bayi.
Atas dasar ini, maka para ODHA hendaknya diperlakukan sama sebagai manusia. Harus dirangkul, jangan dikucilkan dan masyarakat senormalnya berbaur dengan mereka. Pendapat bahwa rumah sakit-rumah sakit yang kedatangan para pasien ODHA tak boleh lagi memisahkan ruang perawatannya dengan pasien penyakit umum lainnya juga harus disertai penekanan bahwa Tenaga medis dan orang terkait di rumah sakit itu juga harus dibekali dan dilatih pemahaman yang tepat dan penanganan medis yang tepat pula ttg HIV AIDS. Jangan sampai terjadi ironi : ”maunya mencegah penularan HIV/AIDS, tapi malah membuka peluang terjadinya penularan HIV/AIDS secara cepat. Sudah jelas ini penyakit menular, kok malah disuruh berinteraksi dengan mereka. Sudah jelas ini penyakit mematikan, kok malah tidak dikarantina”. Jika ini dilakukan, perlu ada jaminan 100 persen aman bila pasien HIV/AIDS berbaur dengan pasien penyakit lain atau orang sehat.
3. Mencegah Perilaku Seks Bebas dan Penyalahgunaan Narkoba.
Tidak kita pungkiri, bahwa seks bebas dan penyalahgunaan narkoba sangat erat kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Perilaku Seks Bebas Sebagai Transmisi Utama HIV/AIDS (Survey CDC, Des 2002 dan KPAN 2003). Perilaku seks bebas ini menjadi lebih luas karena seiring globalisasi - maka “perjalanan internasional” dan “keterbukaan media” memberi peluang “pe-liberalan” pikiran yang mensahkan seks bebas dan kontak seksual secara fisik. Razia-razia yang dilakukan aparat kepolisian tidaklah cukup menghentikan penyebaran visrus penyakit ini. Kampanye kondomisasi yang dieluh-eluhkan dapat mengatasi pencegahan HIV/AIDS yang ditunjang dengan pendirian ATM kondom ternyata tetap tidak membawa hasil yang signifikan. Kondom bukanlah penyelesaian tuntas, kondom tidak efektif sebagai pencegah penularan virus HIV. Karena menurut salah satu situs, pori-pori kondom besarnya 600 kali lebih besar dibanding besar virus HIV. Selain itu, kondom sensitif terhadap perubahan suhu. Sehingga, penggunaan kondom semakin meningkatkan laju infeksi HIV dan menyuburkan seks bebas. Program kampanye penggunaan kondom yang ditujukan bagi orang yang tidak mampu melakukan perilaku abstinentia atau menghindari hubungan seks (be faithfull) sering dianggap sebagai anjuran perilaku seks bebas. Wacana ini mutlak harus dihilangkan dengan kegiatan sosialisasi yang efektif dan intensif kepada semua pihak, karena persepsi banyak pihak yang menggeneralisasi kampanye anti HIV dan AIDS sejajar dengan kampanye seks bebas seperti ini dilatarbelakangi kurangnya informasi dan cara pikir yang sempit. Memakai alat pengaman, contohnya memakai kondom, karena biasa meminimalkan menularkan virus. ingat kan, virus ini menular melalui cairan tubuh. Selain itu, kita juga bisa turut mendukung program KB (keluarga berencana) dan menghargai kemanusiaan melalui perlindungan.
Penerapan ide liberalisme oleh banyak individu seperti Seks Bebas ”didampingi” ATM Kondom di negeri ini, semakin menambah daftar panjang perusakan generasi bangsa, a.l mulai kehamilan di luar nikah, aborsi, stress, bunuh diri dan kehancuran keluarga. Dan aktivitas seks bebas tetap akan terjadi di negeri ini, selama negara juga tetap memfasilitasi terjadinya aktivitas seks bebas dengan penyediaan Lokalisasi. Bila diamati, ada kontradiksi dalam kebijakan negara, di satu sisi negara ingin penularan HIV/AIDS tidak terus meningkat tetapi di sisi lain negara malah memberikan izin beroperasinya tempat-tempat yang jelas-jelas menumbuh suburkan aktivitas seks bebas. Hendaknya Pemerintah bertindak dengan tegas, bukannya plin-plan karena ini menyangkut generasi bangsa masa kini dan akan datang. (bnk. Kasus Video porno dan perilaku seks mulai dari Pejabat Negara, anggota DPR, pelajar, dll yang marak 7 tahun belakangan ini). Pencegahan penularan HIV/AIDS tidak bisa tidak harus diselesaikan dengan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif bukan parsial.
Disamping itu mata rantai Narkoba dan segala jenisnya sangat berbahaya, karena selain dapat menghilangkan akal manusia juga dapat menularkan HIV/AIDS melaui jarum suntik yang tidak streril. Pemakaian narkoba dan jarum suntik secara bergantian dan diikuti seks ”bebas” akibat “loss control dengan berganti-ganti pasangan termasuk dua perilaku yang rawan penularan HIV/AIDS. Untuk memberantasnya harus dilakukan peningkatan kesadaran individu dan menghabisi mafia narkoba hingga ke akar-akarnya dengan hukum yang bisa membuat efek jera. Setiap orang (lintas usia) harus pintar-pintar memilih pergaulan. Ok Bro – ok sis..!
4. Memberikan penyadaran secara khusus bagi kaum muda & Mengefektifkan Lembaga Keagamaan - Sekolah dalam Proses Penyadaran. Masa muda identik dengan masa coba-coba, termasuk seks coba-coba. Rasa ingin tahu - hingga ingin merasakan ” yang serba enak” membuat akal sehat dan norma yang diterima dari kecil dirumah dan disekolah bisa sirna. Mereka biasanya tidak perduli dengan akibat dari perbuatan yang mereka lakukan. Karena itu, sudah sepantasnya dan wajib dilakukan oleh para orang tua-dan pihak terkait- mendidiknya secara efektif agar kelak bisa menjadi orang yang berguna. Sangat efektif bila masing-masing organisasi termasuk Organisasi KeAgamaan seperti Gereja (melalui kurikulum Katekisasi, PA, Retreat, dll) tetap dilakukan Program-program penanggulangan AIDS mengutamakan pendekatan ke generasi muda, karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa 38 persen lelaki penyuka lelaki adalah mereka yang berusia di bawah 25 tahun. Waria juga 30 persennya berusia 15-24 tahun, prosentase yang sama untuk pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat aditif) suntik, atau yang disingkat menjadi penasun". Hal ini bisa juga dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi HIV/AIDS pada setiap kegiatan pelatihan atau kegiatan belajar mengajar yang relevan, bahkan dapat pula dilakukan secara khusus melalui media Komunikasi, Informasi dan Edukasi [KIE] yang relevan. Penerapan yang sesuai dalam program IEC juga membutuhkan kapasitas yang membangun pada pekerja kesehatan, pekerja sosial, pekerja lapangan, guru, pelatih trampil dan lain-lain digaris depan. Disamping itu tetap perlu usaha pencegahan ditujukan pada populasi yang beresiko tinggi seperti kaum muda, para pekerja seks dan klien mereka, PLHA dan partnernya, IDUs, dan mereka yang secara umum pekerjaannya beresiko terinfeksi HIV/AIDS dan didasari ukuran pencegahan efektif seperti pengurangan resiko, ketaatan beribadat sebagai tindakan pencegahan universal dan sebagainya.
5. Bersikap saling setia terhadap pasangan anda.
Ini sangat efektif, karena kesadaran akan sakralnya ikatan pernikahan akan membuat kita menghindari seks diluar ikatan pernikahan. Kesetiaan adalah wujud konkret tanggung jawab, dan tanggung jawab adalah wujud kita bukan hanya mengasihi diri sendiri tetapi juga orang lain. Jika setia orang memiliki konsep ini, maka dia tidak akan mau membawa ”penyakit” kepada pasangannya sebagai ”oleh-oleh” seks diluar ikatan pernikahan.
6. Menghilangkan stigma negatif bahwa ODHA pasti para pelaku maksiat.
Sejak epidemi HIV/AIDS bermula 20 tahun lalu, pandangan masyarakat banyak yang masih saja ”jadul”. Mereka masih melihat hanya kelompok tertentu di masyarakat yang berpotensi menderita HIV dan AIDS. Gay, pengguna narkoba, dan pekerja seks komersial adalah kelompok yang rentan tertular penyakit ini. Tapi, itu mitos jadul. Nyatanya, setiap orang berpotensi terinfeksi HIV. Baik itu orang tua atau anak muda, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa atau kanak-kanak, kaya dan miskin, gelandangan atau profesor – termasuk saya dan anda. Faktanya, HIV dapat menginfeksi siapa saja yang tidak melakukan tindakan pencegahan sepatutnya. Disamping itu banyak masyarakat selalu mengkaitkan pengidap HIV AIDS pasti para pelaku maksiat, pemakai narkoba sehingga kesannya miring dan negatif. Maklum, penyakit yang menggerogoti sistem imun tubuh itu pertama-tama ditemukan pada pelaku homoseksual. Nah, kini penularan HIV/AIDS tak sekadar akibat hubungan intim dengan sejenis, melainkan sudah mendera “orang-orang tak berdosa”. Seperti istri/suami oleh pasangan sahnya atau bayi oleh ibunya.
Ini membuka mata bahwa salah satu isu kampanye pencegahan HIV/AIDS adalah penghapusan berbagai bentuk diskriminasi perlakuan terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Propaganda ini bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa ODHA pasti para pelaku maksiat. Tak semua ODHA pelaku maksiat, namun, toh mereka terinveksi virus HIV dari orang-orang yang dahulu juga pelaku maksiat. Seperti istri/suami dari pasangan yang mantan pecandu narkoba atau pasangan yang dulu suka gonta-ganti pasangan, dll. Keadaan ini makin berkembang dialami banyak orang karena ”ketabuan dan keterttupan”. Lihat saja berapa banyak orang yang mengaku menderita infeksi HIV saat ditanya pacarnya ketika hendak menikah atau melakukan hubungan seks? Berapa orang yang mau secara jujur menjelaskan sejarah hubungan seksnya ketika tengah melakukan pendekatan? Namun, lebih jauh lagi, siapa yang bisa memastikan seseorang positif HIV dan tahu kondisi kesehatan kekasih lamanya? Dan yg lebih ironis, banyak pelaku seks bebas atau yang pernah berhubungan seks tidak mengetahui bahwa dia terjangkit HIV AIDS karena perasaan ”tidak mungkin kena”.
Hal diatas ini jelas memacu HIV AIDS. Bila diamati, stigma hingga perilaku diskriminatif tentu tidak terlepas dari keterbatasan informasi dimasyarakat. Upaya mencegah dan menghapus stigma atau diskriminasi ini dapat dilakukan dengan Penyebarluasan informasi yang lengkap dan benar untuk masyarakat supaya dapat menerima keberadaan orang HIV-positif dengan wajar dan tidak menghakimi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode pembentukan kelompok dukungan (support group), penyediaan informasi lebih lanjut mengenai topik-topik terkait dengan hidup HIV (melalui brosure atau media lain) hingga melakukan konseling untuk keluarga dan lingkungannya. Kesiapan keluarga dan lingkungan untuk dapat menerima penderita HIV/AIDS penting dilakukan sebab jangan sampai mereka kemudian mengucilkan penderita. Sebab, bagaimana pun penderita HIV/AIDS juga memiliki hak untuk hidup aman dan tenteram. Karena itu mari bersama dalam gerakan pencegahan HIV AIDS dari titik dimana kita beraktifitas keseharian. Tidak saatnya lagi untuk bersifat pasif - atau berpolemik usaha pencegahan HIV AIDS selama ini gagal atau tidak - yang penting mari tetap berusaha secara bersama karena masalah ini semakin dekat dengan kita, baik disadari maupun tanpa disadari. Stop AIDS. Keep the Promise. God Bless Us. (hp)