Sunday, April 06, 2008

Suara Kenabian ditengah Konteks Pergumulan Kekinian

Panggilan menjadi AlatNya.
Refleksi dari Suara Kenabian Nabi Amos (Amos 5 : 14-17)
Pdt. Happy Pakpahan
I. Konteks Nats
Pemanggilan oleh Allah untuk menjadi alatNya berlangsung lintas profesi. Misalnya saja pemanggilan kepada Amos yang berfrofesi sebagai seorang petani berasal Tekoa. Ia dipanggil oleh Allah sebagai Nabi pada saat Kerajaan Israel memasuki babak baru dalam kehidupannya, dimana terjadi perkembangan ekonomi, sosial, politik yang menjanjikan harapan yang indah bagi segenap penduduk Israel. Perkembangan politik terbukti dengan makin luasnya wilayah teritorial kerajaan Israel. Roda kehidupan ekonomi melaju pesat karena aktivitas perdagangan luar negeri yang makin aktif dan lancar. Perkembangan ini semua diikuti dengan semakin tumbuhnya nasionalisme yang kental di rakyat Israel yang terbalut oleh keyakinan iman yang ekslusif. Semangat keyakinan iman itu dihayati dan dirayakan dalam bentuk-bentuk keagaman yang simbolik, Ramai-ramai umat Israel secara rutin mengunjungi tempat-tempat ibadah. Dibawah pimpinan para imam, orang samakin ramai mempersembahkan kurban bakaran kepada Allah. Pesta-pesta keagaman dilakukan dengan sangat meriah dan antusias. Melalui ekspresi keagamaan dan ceromoni inilah umat Israel berusaha memelihara “hubungan baiknya” dengan Allah. Mereka seolah-olah hendak meyakinkan diri bahwa jika melakukan demikian maka Allah pasti akan memberkati dan menyertai bangsaNya Israel, umat pilihanNya. Akan tetapi dibalik sisi gemerlap “keagamaan ini”, terjadi hal yang ironis. Kemakmuran Israel yang tergambar dalam meriahnya aktifitas keagamaan ternyata hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat, yakni mereka yang hidup sebagai kalangan pejabat dan kaya. Sementara sebagian besar masyarakatnya justru hidup miskin, menderita dan tertindas. Terjadi kesenjangan social-ekonomi. Dan ternyata hal ini terkondisikan oleh perbuatan mereka-mereka yang “berlaku saleh“ dalam aktifitas keagamaannya itu. Dalam konteks inilah Amos dipanggil dan menyuarakan suara kenabian yang dari Allah.
II. Panggilan - Suara Kenabian Amos & Relevansi
Melihat konteks inilah dalam nubuatannya Nabi Amos mengatakan bahwa aktifitas keagamaan yang meriah itu sebagai realitas yang palsu dan semu. Amos dikenal sebagai Nabi yang bernubuat dengan kata-kata yang tajam dan blak-blakan mewartakan teguran dan hukuman dari Allah bagi Israel, karena sebagai bangsa, Israel telah berdosa dihadapan Tuhan. Ada kesenjangan keagamaan dengan realitas. Sebab kenyataannya, kegiatan ibadah mereka tidak mengubah karakter hidupnya. Masih tetap terjadi penindas terhadap orang miskin dan lemah oleh orang kaya yang sehari-hari melakukan rutinitas keagamaan. Ayat 14. Diawal nats dengan tegas dikatakan “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu, seperti yang kamu katakan. “. Ada pesan untuk berbuat aktif, mencari yang baik dan jangan yang jahat, bukan menunggu. Kalimat ini tegas, mengajak orang mengambil sikap melakukan perbuatan baik. Dan perbuatan baik itu berasal dari kedekatan hubungan dan penyertaan dari Allah. Hidup orang percaya adalah hidup yang aktif sebagai pencari dan pelaku kebaikan. Ini sejajar dengan panggilan dalam perkataan Tuhan Yesus di Perjanjian Baru sebagai garam dan terang dunia. Dan kemudian dipaparkan bahwa ada dampak dari perbuatan baik itu yaitu mereka akan hidup dan Allah Semesta Alam akan menyertai mereka. Dari nats ini Amos kembali menekankan bahwa kehidupan itu berasal dari penyertaan Allah semata.
Ayat 15. Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf. Bukan saja mencari yang baik tetapi suara kenabian Amos juga mengajak mengambil sikap tegas terhadap pebuatan jahat. Dikatakan Bencilah yang jahat. Artinya : tidak menteloransi – tidak membiarkan kejahatan - atau lebih tegas melawan yang jahat. Allah membenci kejahatan sekaligus mencintai hal yang baik. Dan kedua hal ini tidak saling menteloransi. Mencintai yang baik diikuti dengan perbuatan menegakkan keadilan dipintu gerbang. Pintu gerbang artinya tempat persidangan. Mencari yang baik berarti menegakkan keadilan serta kebenaran, dan ini dilakukan di pengadilan dan segala aspek kehidupan manusia. Hal ini tidak terpisah. Menegakkan keadilan dan kebenaran adalah panggilan jalan kehidupan orang percaya. Mereka yang mengaku umat Pecaya kepada Allah akan tetapi tidak menegakkan keadilan dan kebenaran maka pengakuannya itu adalah palsu. Dan ayat ini diikuti kalimat konsekuensi ( sebab – akibat ) yaitu : Jika membenci yang jahat dan mencintai yang baik dan menegakkan keadialan mungkin Tuhan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf. Kata mungkin disini menunjukkan pergumulan kerohanian Amos terhadap Tuhan. Disatu sisi Amos bergumul dengan pertobatan Israel, sisi lain Amos bergumul supaya Tuhan menyatakan belas kasihannya kepada Israel.
Ayat 16-17. Sesungguhnya, beginilah firman TUHAN, Allah semesta alam, Tuhanku: "Di segala tanah lapang akan ada ratapan dan di segala lorong orang akan berkata: Wahai! Wahai! Petani dipanggil untuk berkabung dan orang-orang yang pandai meratap untuk mengadakan ratapan. Dan di segala kebun anggur akan ada ratapan, apabila Aku berjalan dari tengah-tengahmu," firman TUHAN. Pada ayat ini Amos kemudian berbicara tentang kondisi yang akan terjadi bila kejahatan tetap dilakukan umat Israel. Bangsa ini tidak akan luput dari penghukuman – akan ada ratapan dimana-mana, termasuk bagi orang-orang yang pandai, yang menggap diri sanggup mengendalikan segala sesuatu. Ini adalah bagian dari keadilan Allah. Dengan mewartakan ini, Amos mengajak umat Israel mengingat kembali kuasa dan kendali yang dimiliki Allah. Demikianlah Amos dalam pemberitaannya memberitakan penghukuman dan juga memberitakan kasih Allah. Segala sesuatu memiliki konsekuensi. Perbuatan baik akan mendatangkan berkat, penyertaan Allah, sedangkan perbuatan yang melanggar ketetapan Allah akan mendatangkan penghukuman. Di Negeri kita, Indonesia, Agama sangat dijunjung. Mulai dari pendidikan dasar hingga publikasi pariwisata, selalu diajarkan bahwa masyarakat Indonesia disebut masyarakat religius, yang berakhlak, santun dan bermoral tinggi. Di Negeri ini juga dapat disaksikan pesatnya pembangunan rumah-rumah ibadah mulai di masyarakat hingga di Kantor Pemerintah dan Swasta, berdiri rumah ibadah. Aktifitas keagamaan dilakukan dengan meriah (apalagi di Moment Hari besar keagamaan). Pada moment keagamaan, masyarakatnya secara lintas masing-masing latar belakang agama, rajin mengunjungi rumah ibadah sehingga rumah ibadah tampak penuh dan padat. Ibadah tidak lagi hanya dilaksanakan di rumah ibadah akan tetapi hingga ke kantor-kantor swasta atau pemerintah, hotel-hotel, kapal-kapal hingga ke tanah lapang. Dimana-mana diadakan “pagelaran” bertajuk Doa Bersama, Gebyar Praise and Worship, Tabliq - Ibadah Akbar, dll. Juga masing-masing Agama gencar melakukan gebyar Dakwah. Bermunculan Pengkotbah – Pendoa yang populer dan professional layaknya selebritis. Akan tetapi ternyata ratapan-ratapan sosial – ekonomi – budaya – karakter – dan ratapan kriminal tetap berlangsung dinegeri ini. Indikatornya : tetap dan semakin banyak saja terjadi kekerasan mengatas namakan Agama. Pembakaran, penutupan rumah ibadah agama tertentu, gerakan sistematis penindasan terhadap aktivitas melakukan hak dasar beragama tetap berlangsung melalui peraturan dan UU berbau syariah agama tertentu. Hingga intimindasi – terror bagi umat melakukan ibadah juga tetap terjadi dibeberapa daerah. Atas nama agama tertentu, sekelompok orang melakukan kekerasan yang notabene adalah kejahatan hak asasi. Tetap maraknya praktek korupsi, kolusi, nepotisme merambat laksana KANKER dimasyarakat, mulai dari satpam hingga pejabat, dari kondektur hingga direktur, dari tukang parkir hingga konglomerat. Penipuan, pencurian, perampokan, terror, pelecehan. pemerkosaan tetap terjadi dan menjadi isi sehari-hari media massa. Sementara itu, kebencian antar golongan, Agama, suku ditiup-tiupkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang pada dasarnya dikendalikan oleh kepentingan. Gerakan ekslusifisme keagamaan menjamur. Ironisnya, tetap terjadi kesenjangan ekonomi. Disatu sisi berdiri bangunan sebagai symbol kemewahan dan kejayaan, disisi lain diseberangnya tetap berdiri gubuk-gubuk kumuh symbol kekalahan persaingan ekonomi. Ini semua bermuara ke frustasi sosial dimasyarakat, lihat saja karena persoalan sepele seorang bias dikeroyok hingga babak belur, pelaku copet diadili dan dibakar massa hingga meninggal. Penyelesaian persoalan lebih banyak dengan kekerasan. Main hakim sendiri bukti ketidakpercayaan kepada proses hukum yang dikelola pejabat publik Negara. Ada terjadi, satu waktu orang berjalan dengan pakaian simbol kesalehan sambil menjinjing kitab sucinya, tetapi di lain waktu orang yang sama adalah pelaku korupsi dan merampok hak-hak orang banyak. – penindas. Disatu sisi di moment keagamaan tertentu diadalan perayaan meriah yang cenderung komersil dengan makanan dan kemewahan disisi lain banyak orang yang kelaparan dan kekurangan yang dibiar kan menonton kemewahan. Manusia telah buta dan tuli akan penderitan orang lain. Dipihak tertentu, kerajinan merumuskan UU, peraturan – peraturan, ketepatan–ketetapan telah menjadi “topeng” pelindung buruk rupa para perumus. Dibeberapa kasus justru orang yang tahu tentang agama dan perundang-undanganlah yang diharapkan menjadi motor kebaikan justru menjadi actor kebejatan.
Inilah wajah negeri kita. Sebuah wajah yang terbelah. Sangat kontras. Lalu kemana ajaran – pengajaran agama selama ini ? kemana bermuara semua kotbah – dakwah – nyanyian – doa – dan “tampilan kesalehan” itu semua ? kemana semua wejangan ilahi ? Menyedihkan memang. Mengapa sebagai Negara yang beragama, di Ripublik kita ini kejahatan dan ketidakadilan justru tetap mewarnai kehidupan kita. Sejajar dengan nubuatan Amos, Apa yang salah ? ada benar terjadi kesenjangan antara aktivitas keagamaan dengan kenyataan hidup. Benarkah umat beragama secara khusus umat Kristen tidak konsisten mencintai yang baik dan membenci yang jahat, menegakkan keadilan dan kebenaran. Atau justru sebagai bagian pelaku kejahatan dan pelaku ketidakadilan ?. Nubuatan Amos mewartakan kepada kita hari ini tanpa disertai perilaku yang benar, aktivitas keagamaan adalah sia-sia. ( bnk. Yesaya 58 : 1-7 ; Matius 6 : 16 – 18 ; Zakaria 7 : 9-10). Jika tindakan keagaman ( sermon, partangiangan, ibadah mingggu, doa, nyanyian, pesta pembangunan, dll) sebagai tindakan lahiriah tanpa disertai oleh kemurnian hati, mencintai dan melakukan hal yang baik dan menegakkan keadilan dan kebenaran, aktifitas itu semua tidak berkenan di hadapan Allah. Sebaliknya jika ibadah dilakukan dengan kemurnian hati dan terimplementasi dalam perbuatan hidup, maka terang dari Tuhan akan bersinar dengan sendirinya menjadi berkat yang menerangi dan menggarami keadaan. Mengenai ratapan dalam kehidupan ekonomi, sosial dan kebebasan beragama, persoalannya sekarang justru bukan karena Allah yang tidak menolong atau mendengar keluhan umat sehingga kondisi tetap demikian.
Tetapi pertanyaan refleksi adalah mengacu kepada ayat 16-17, benarkah “ratapan” itu terjadi justru karena umat sendirilah yang ternyata tetap menajiskan dirinya dengan perbuatan dosa, dan dosa itu yang membuat mereka terpisah dari Allah. Bagi Amos sangat jelas yang memisahkan manusia dari Allah adalah dosa. Kejahatan dan perlakuan kejahatan manusia itulah yang mendatangkan penderitan dan ratapan bagi manusia. Untuk itu mari kita mereflesikan diri, benarkah justru telah terjadi kesenjangan antara iman dan perbuatan dalam kehidupan kekristenan selama ini. Mari berefleksi apakah Ibadah yang gebyar-gebyar selama ini tidak diikuti dengan mencintai dan hidup melakukan kebenaran dan keadilan. Untuk itu belajar dari Nats Kitab Amos ini, mari mencintai kebaikan dan keadilan dan kebenaran, naikkanlah syafaat doa untuk negeri ini. Gereja hendaknya semakin kontekstual dan maksimal mewartakan suara kenabian Amos agar umat Tuhan semakin mencintai kebaikan dan membenci kejahatan serta seakligus menegakkan keadilan dan kebenaran, dipakai Allah memberikan suara kenabian ditengah masalah kerakyatan.. Dan mari berlaku sebagai garam yang tidak hambar dan terang yang tidak disembunyikan didalam gantang. Inilah panggilan hidup orang percaya. Syalom.