Sunday, June 29, 2008

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

Tribute to a multi-talented, national figure
Ini dia salah satu tokoh multi talent yang saya kagumi. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, sosok sederhana yang menghasilkan karya-beragam yang tidak sederhana, melainkan LUAR BIASA. Lihat saja, sebagai seorang Romo - Pastor, yang notabene adalah lingkup Pelayanan Rohani/Gerejawi, ia justru dikenal bukan saja sebagai Rohaniawan, tetapi juga sebagai Arsitek, Budayawan, Pendidik dan Sastrawan. Ini dikarenakan karya-karyanya yang diakui oleh pegiat-pegiat kriteria diatas. Lintas appresiasi, sebagai Rohaniawan, ia bukan hanya "Arsitek spiritualitas bagi umatnya", tetapi juga arsitek Budaya, Pendidikan, dan turut andil dalam membangun perkembangan sastra di Indonesia serta internasional.
Saya mulai kenal tokoh ini sejak Bangku kuliahan. Beberapa Karya Tulisannya yang saya nikmati dan menjadi koleksi saya a.l : 1. Burung-Burung Manyar, novel, 1981
  • 2. Durma Umayi, Novel, 1985
  • 3. Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987

Karya Lain :

  • Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
  • Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
  • Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
  • Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
  • Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
  • Ragawidya, 1986
  • Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
  • Gereja Diaspora, 1999
  • Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
Berikut Biografi YB Mangunwijaya dan Karya-2 Beliau :
Ada banyak gelar yang bisa disandangkan pada sosok yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun ini. Ia adalah seorang arsitek, seorang humanis, seorang sastrawan, juga budayawan. Sebagai pendidik, ia juga berperan menghadirkan suatu pendidikan alternatif.
SIAPAKAH ROMO MANGUN? Yusuf Bilyarta Mangunwijaya adalah nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah, sebagai anak sulung dari dua belas bersaudara. Ayahnya bernama Yulianus Sumadi, sedangkan ibunya Serafin Kamdaniyah. Romo Mangun mengawali pendidikannya di HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang (1936 -- 1943). Lalu berturut-turut di STM Jetis, Yogyakarta (1943 -- 1947), dan SMU-B Santo Albertus, Malang (1948 -- 1951). Selanjutnya ia menempuh pendidikan seminari pada Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, yang dilanjutkan ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang. Pada masa-masa sekolahnya, Romo Mangun sudah ikut dalam gerakan kemerdekaan. Ia, misalnya, ikut dalam aksi pencurian mobil-mobil tentara Jepang. Ia pun bergabung dalam Batalyon X Divisi III sebagai prajurit TKR. Ia turut pula dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Selain menjadi prajurit Tentara Pelajar, ia pernah pula bertugas sebagai sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Pernah pula ia menjabat sebagai komandan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I pada Kompi Kedu.
IMAM YANG MENEKUNI ARSITEKTUR Pada tahun 1951, ia masuk ke Seminar Menengah di Kotabaru. Setahun kemudian, ia pindah ke Seminari Menengah Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Ia melanjut ke Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Di sinilah ia bertemu mentornya, Uskup Soegijapranata, SJ., sosok yang juga menjadi tokoh Nasional. Uskup Soegijapranata, SJ. merupakan uskup agung pribumi pertama di Indonesia. Tidak hanya mengajar, Soegijapranata pulalah yang menahbiskan Romo Mangun sebagai imam pada tahun 1959. Meski telah menjabat sebagai imam, cita-cita Romo Mangun sejak lama untuk menjadi insinyur tidaklah hilang. Itulah sebabnya, setelah ditahbiskan, ia justru melanjutkan pendidikannya di Teknik Arsitektur ITB, juga pada tahun 1959. Dari ITB, ia melanjutkan studinya di universitas yang sama dengan B.J. Habibie, yaitu di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada 1960, yang diselesaikannya pada tahun 1966. Pendidikan arsitektur inilah yang kemudian memberinya landasan yang kuat untuk menghasilkan beragam karya arsitektural yang justru menghadirkan nuansa baru dalam arsitektur Indonesia. Tidak heran pula bila ia kemudian dikenal sebagai bapak arsitektur modern Indonesia.
Sebagai arsitek, ia merancang membangun banyak gedung. Sebut saja kompleks peziarahan Sendangsono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, Bentara Budaya Jakarta, pelbagai bangunan lain, termasuk beberapa gereja. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pun menganugerahinya IAI Awards 1991 dan 1993 sebagai penghargaan atas beberapa karyanya. Adapun karya arsitekturalnya di Kali Code menjadi salah satu "monumen" Romo Mangun. Ia membangun kawasan pemukiman warga pinggiran itu tidak sebatas pembangunan fisik, tapi sampai pada fase memanusiakan manusia. "Penataan lebih pada segi sosio-politis dan pengelolaan kemasyarakatan," demikian tutur Romo Mangun, yang dikenal juga sebagai bapak dari masyarakat "Girli" (pinggir kali) mengenai "monumen"-nya tersebut. Penataan lingkungan di Kali Code itu pun membuahkan The Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1992. Tiga tahun kemudian, karya yang sama ini membuahkan penghargaan dari Stockholm, Swedia, The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award untuk kategori arsitektur demi rakyat yang tak diperhatikan.
MEMIHAK RAKYAT KECIL Sisi humanisme Romo Mangun memang begitu kental. Pada tahun 1986, ia mendampingi warga Kedungombo yang kala itu memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk. Pembelaannya kepada nasib penduduk Kedungombo menyebabkan presiden, yang saat itu masih dijabat oleh Soeharto, menuduhnya sebagai komunis yang mengaku sebagai rohaniawan. Berbagai teror dan intimidasi menghampirinya pula. "Kalau saya dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri, silakan tanyakan langsung kepada warga Kedungombo. Kalau saya dikatakan sebagai warga negara yang tidak taat kepada pemerintah, saya jawab, ketaatan itu harus pada hal yang baik. Orang tidak diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa yang saya kerjakan sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila," komentarnya tenang. Upaya yang tidak sia-sia mengingat pada tanggal 5 Juli 1994, akhirnya Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga Kedungombo tersebut. Malahan warga memperoleh ganti rugi yang nilainya lebih besar daripada tuntutan semula. SEBAGAI PENULIS SEKALIGUS PENDIDIK Karya tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah karya tulis sembarangan. Semua dihadirkan dengan alam pikir yang kompleks. Hal ini terwujud pula dari kalimatnya yang panjang-panjang, yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia berkata, "Tulisan saya realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga." Faruk H.T. berkomentar, "Karya-karya sastra Romo Mangun pada dasarnya berisi cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang tidak menutup kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan" (Gatra 20 Februari 1999). Kekayaan tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat bingkai sejarah yang dihadirkan, tetapi juga persoalan kultur turut dibahasnya. Dalam bukunya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein" (1999), masalah kultur dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas secara tajam. Dalam bidang kesusastraan, buah tangannya tidak dimungkiri pula. Sebut saja "Burung-Burung Manyar" (1981) yang menuai penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983. Ia juga menjadi orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat. Adapun karya sastra terakhirnya berjudul "Pohon-Pohon Sesawi", yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal. Tidak hanya dalam bidang arsitektur dan penulisan, Romo Mangun pun memiliki keprihatinan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Ia mewujudkannya dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Catherine Mills, yang menulis tesis mengenai Romo Mangun, mengutip perkataan Romo, "When I die, let me die as a primary school teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru sekolah dasar)." Bagi Romo Mangun, pendidikan dasar jauh lebih penting daripada pendidikan tinggi. Itulah sebabnya, ia pun pernah berujar, "Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak boleh menelantarkan pendidikan dasar." Mengenai cara Romo Mangun mendidik anak-anak, budayawan Mudji Sutrisno memiliki kenangan tersendiri. Ketika bersama anak-anak didiknya sedang merayakan ulang tahun salah seorang anak, Romo melihat bahwa anak-anak kecil tersebut tidak sanggup menghabiskan makanannya. Akhirnya, Romo mengumpulkan sisa makanan tersebut menjadi satu dan memakannya agar tidak ada yang terbuang. "Dengan menghabiskannya serta menjelaskan bahwa makanan adalah rezeki Sang Pencipta, maka sebuah penghayatan keteladanan dalam menanamkan nilai syukur dan menghargai nasi tertanam amat menyentuh. Apalagi, santapan itu dihabiskan sang guru dengan rendah hati," kenang Mudji.
ROMO BERPULANG Romo Mangun sebenarnya telah memasang alat pacu jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994, ia berniat mengurangi aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Meski demikian, pada tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang ia hindari itu. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri Simposiom "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian sebagai pembicara pada simposium tersebut, namun belum lama, badannya limbung, nyaris jatuh. Budayawan Mohamad Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang Puri. Dan tepat pukul 13:55 WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini menunjukkan betapa ia merupakan pribadi yang sangat dikagumi sekaligus dihormati masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya kalangan rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat Yogyakarta, berbagai lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri. Budayawan Mudji Sutrisno mengapresiasi sosok Romo sebagai seorang rohaniawan yang menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan tindakan nyata. Tidak hanya seorang pastor yang melayani misa, tetapi juga pastor yang terlibat dalam membahasakan cinta. Masih menurutnya, Romo Mangun benar-benar mempraktikkan karya Yesus yang menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum terpinggirkan, dan hidup bersama mereka. Cita-cita Romo Mangun memang banyak yang terlampaui. Sebagai arsitek, ia berhasil membangun beragam bangunan yang membuahkan penghargaan. Sebagai penulis, karyanya pun diakui di tingkat dunia. Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sejak tahun 1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan telantar. Ia juga merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang menurut Mudji Sutrisno merupakan karya intelektual yang nyata, yang melakukan penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki "laboratorium" tapi juga mewakili nurani bangsa. Sayang, perjuangannya harus terhenti oleh penyakit jantung, saat SD Mangunan tersebut baru berjalan lima tahun, kurang empat tahun untuk melihat hasil dari kurikulum pendidikan dasar sembilan tahun yang dirancang dan diaplikasikan oleh Romo Mangun sendiri. Mungkinkah ini menjadi tongkat estafet bagi semua orang, sebagaimana Yesus meninggalkan Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan karya mereka bersama. Ya, tongkat estafet itu harus disambut oleh setiap orang percaya. Andakah itu?
Dirangkum dari Anonim 1999. Sang Pastor Pejuang Romo Mangun telah Pergi, dalam SiaR News Service, Rabu 10 Februari 1999, http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg00416.html.Laksono, Mayong S. Romo Mangun: Merakyat untuk Balas Budi kepada Rakyat, dalam Intisari on the Net, Maret 2000, http://www.indomedia.com/intisari/2000/maret/mangun.htm.Prakosa, Ambara Muji. 2007. Man For Others: Sketsa Mangun (1), dalam http://orcafilms-inside.blogspot.com/2007/05/man-for-others-sketsa-mangun-1.html.Wikipedia Indonesia. 2007. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya. Dirangkum oleh: R.S. Kurnia Karya-2 YB Mangiwijaya Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Karya Arsitektur Pemukiman Kali Code, Yogyakarta Kompleks Sendangsono Gedung Keuskupan Agung Semarang Gedung Bentara Budaya, Jakarta Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta Gereja Katolik Cilincing, Jakarta Markas Kowihan II Biara Trappist Gedono, Salatiga, Semarang Gereja Maria Assumpta, Klaten Gereja Maria Sapta Duka, Mendut
Buku dan tulisan Balada Becak, novel, 1985 Balada dara-dara Mendut, novel, 1993 Burung-Burung Rantau, novel, 1992 Burung-Burung Manyar, novel, 1981 Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987 Durga Umayi, novel, 1985 Esei-esei orang Republik, 1987 Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980 Gereja Diaspora, 1999 Gerundelan Orang Republik, 1995 Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983 Impian Dari Yogyakarta, 2003 Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000 Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999 Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999 Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999 Menuju Indonesia Serba Baru, 1998 Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998 Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999 Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999 Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986 Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999 Politik Hati Nurani Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978 Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern Ragawidya, 1986 Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya) Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, 1983-1987 Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000 Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982 Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999 Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001 Spiritualitas Baru Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999 Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan & kemasyarakatan, 1994 Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988
Buku tentang Romo Mangun Romo Mangun Di Mata Para Sahabat, Abdurrahman Wahid, Kanisius, 1999 Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan, Priyanahadi dkk, Kanisius, 1999 Tektonika Arsitektur YB. Mangunwijaya, Eko A. Prawoto, Cemeti Art House Yogyakarta, 1999 Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil, Purwatma Pr, Kanisius, 2001 Mendidik Manusia Merdeka, Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun, Sumartana dkk, Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995 Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Sindhunata, Kanisius, 1999 Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, Kanisius, 1999 Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, Iip D. Yahya dan I.B. Shakuntala, Kanisius, 2005
Romo Mangun, activist Even after his death, YB Mangunwijaya speaks still with the voice of Indonesia's democratic independence fighters.
Nico Schulte Nordholt
Romo Mangun's voice is silent. Just now, when the situation in Indonesia is so grim, we miss his wise words and his courage. Fortunately he illuminated the political transformation process of recent years with incisive commentary through numerous articles, written with a boundless energy. Many of them are collected in a book entitled Menuju Indonesia serba baru 'Towards a completely new Indonesia' [Gramedia, 1998]. This is part of his heritage to a younger generation of Indonesians. To influence, to inspire that younger generation, that was Mangun's chief purpose in all his political action and writing.
In this book Romo Mangun appears to be fascinated by the differences and similarities between the struggle for independence in the 1940s and the current struggle for democracy. In those days, the new Indonesia had to be built up after colonial exploitation and fascist occupation. Today young people face the task, after seven years of oppression under Sukarno and another 33 years under Suharto, once more to give shape to a nation that has been wounded to the bone. That task is if anything even more difficult today. The earlier struggle was led by a democratic leadership, with figures such as Sutan Syahrir, Mohammad Hatta and so many other founders of the republic, who gave meaning and direction to that process of nation-building. The indoctrination of the last forty years has made the possibility of democratic leadership at least in the short term virtually zero.
Mangun rather feared that the post-Suharto period could well be even more repressive. He resisted that danger, and worked for a genuine democracy, literally to his last breath of life. He saw it as his mission to convey the democratic values of the revolutionary period to a younger generation, who grew up in an Indonesia where for 40 years those values have been suppressed. As a lad he fought in the student battalion, the Tentara Pelajar Indonesia, TPI. Since he had had a basic technical education, he became a driver-mechanic. He drove for the former Sultan of Yogyakarta, and also regularly came into contact with Commander Suharto, who later became president.
Student-soldier This period was decisive for the remainder of his life. Three individuals played an immense role for him. They were Major Isman, the commander of TPI; Monsignor Sugyapranoto, who as bishop of Semarang unconditionally chose the side of the republic against the colonial Dutch and was later honoured as national hero by Sukarno; and Sutan Syahrir, the republic's first prime minister, whose inspiring, democratic attitude during the independence struggle made a great impression on the young soldier Mangun. As a result of a speech made by Major Isman during a TPI reunion in Malang in the early 1950s, the 22-year old Mangun decided to dedicate the rest of his life to the cause of the wong cilik, the 'little people', the weakest members of society. Major Isman had pointed out that the true heroes of the revolution were not they, the young student-soldiers, but the villagers who had suffered so much. In order to repay his debt to them, Mangun henceforth devoted himself to the weak and the oppressed. Under the influence of Mgr Sugyapranoto he then entered seminary to become a priest. The same monsignor later sent Mangun to Aken in Germany to obtain a degree in architecture. It is the social democratic ideas from the writings of Sutan Syahrir that continually reappear in Mangun's politically coloured articles. He saw Syahrir as someone who devoted himself completely to the independence cause, but who understood at the same time that a narrowly nationalistic, merely political independence would not be sufficient to really improve the lot of the 'little people'. That requires in the first place social liberation, coupled with education on a massive scale, but also, and especially, international solidarity. The technically gifted Mangun brought his political ethics, rooted in a religious social democratic thought world, into practice in such a way that for him the word and the deed became one. He acquired a virtually unique place among Indonesia's political activists. But perhaps Romo Mangun's especial characteristic is that he never let himself be put into one particular box. He knew how to break through every dividing wall. He could do that at least partly because of his multifaceted talents, among which lay a great sense of humour, and which makes it really impossible to regard him only in one dimension, namely as political activist. He first became nationally known as an activist when he declared himself, in word and deed, in solidarity with the slum dwellers of the Code River in Yogyakarta. But he had by then already acquired fame through his novel 'The Weaverbirds' (Burung-burung Manyar, 1981). The novel won him a literary prize. Narrowly nationalistic interests initially contested the award and accused Mangunwijaya of having detracted from the heroic struggle for independence. However, because of his own role in that struggle, indeed under the command of Suharto, who had since become president, Mangun seemed to be immune from such reproach. In his action on behalf of the Code River residents he also made skilful use of his old job as driver for the former Sultan of Yogyakarta. He never hesitated to make the fullest use of contacts built up over a rich and varied life, in service of the wong cilik. Mangun adopted the same approach in the second big socio-political action into which he threw himself, on behalf of farmers displaced from their homes in a Central Java valley by the building of the huge Kedung Ombo dam. Without hesitating he contacted his campus friend from his Aken period, Rudy Habibie, at the time minister for research and technology, and asked him in an open letter for his help. Yet even more important than the letter was another aspect of his approach to action.
No dividing wall As a priest he knew he was vulnerable to the allegation that he was hunting for converts through his social action, especially after he began a basic education project for the children in the Kedung Ombo dam environs. For that reason he made a close ally out of his friend Kiai Hamam Dja'far of Magelang, who has also since died. Not out of the tactical consideration that he needed someone to cover his back but, as he said to me, in the full awareness that in an action such as this every hint of conversion fanaticism must be avoided. He was convinced that only by working together hand in hand, in praxis, to improve the lives of the oppressed was it possible to break through the religious dividing walls. In that respect Romo Mangun's life as an activist has become a role model for all socio-political activists in Indonesia, indeed by no means only in Indonesia. Now we must mention two further themes in the 'Mangun as political activist' narrative. First is a deep involvement in the cause of the East Timorese. He had already adopted a stance against the grave injustice of the occupation, though in a veiled way, in his novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa of 1983. Here he drew an allegorical parallel between the bloody massacres of the inhabitants of Banda Island by the seventeenth century Dutch VOC, and the Indonesian occupation of East Timor in 1975.
Soon thereafter, arguing both out of his historical insight that the founders of the republic had fought only for the freedom of the territory of the former Netherlands India, and out of his great feeling for justice and a revulsion against any kind of human rights abuse, Romo Mangun became one of the first Indonesians to speak publicly in favour of a just solution to this bloody conflict. Besides his good friend Abdurrahman Wahid, the colourful chairman of Nahdatul Ulama, Mangunwijaya was the only other Indonesian to be personally invited by Bishop Belo to attend the Nobel Peace Prize ceremony in Oslo on 10 December 1996. For political reasons, Wahid allowed the invitation to pass, but Romo Mangun was there. This is one of the differences between the NU leader, who has since then developed into a practising politician, and Mangun the political activist, who was always indebted only to his own principles. In the second theme, however, Mangun came much closer to the area of practical politics. Over the last twelve months he became a very vocal defender of the federative idea within the political arena. Precisely because he thought of himself as a fighter for independence, he saw that the future of the entire island nation could only be saved as the Republic of Indonesia by working towards a federative state. I would like to end with a mention of what was no doubt the pinnacle experience of Romo Mangun's role as political activist. On 26 May 1998 he was one of the main speakers at a mass rally in Yogyakarta to commemorate the death of the student Moses Gatutkaca. I tend to think it must be more than mere coincidence that it had to be someone with such a symbolically laden name who became the victim in Yogyakarta's otherwise rather peaceful month of May 1998: Moses, the liberator in the Judaeo-Christian tradition, and Gatutkaca, the purest hero within the Javanese mythology. But I want to point to the speech that Romo Mangun delivered on that occasion. It was undoubtedly one of his most political speeches, but it was above all highly visionary and, to my mind, of the same quality as the Manifest Politik nomor 1 of November 1945, which Romo Mangun quoted so frequently. This document, written by Sutan Syahrir in the time of kegelisahan, of chaos, significantly determined the meaning and direction of the struggle for independence. Mangunwijaya in his speech of 26 May 1998 especially addresses the youth, and calls on them incisively yet patiently to carry on the struggle 'towards a completely new Indonesia'. He envisaged in the first place the year 2028, a hundred years after the 'birth' of the first generation of democratic leaders, who proclaimed independence in 1945. And then, eventually, the year 2045 when, a hundred years after that proclamation, a truly democratic Indonesia has taken shape. Like the prophet Moses, Mangun spoke of a promised land that he knew he would never enter. But with a rock solid faith in the power and impetuousness of youth he was convinced that that vision would become a reality. Abdurrahman Wahid expressed the same faith in an obituary for his friend Mangun when he wrote of his conviction that we would surely be enriched by successors to Mangun, who would dedicate themselves as wholeheartedly to his ideals. Nico Schulte Nordholt (n.g.schultenordholt@tdg.utwente.nl) teaches at the University of Twente, Enschede, Netherlands. Extracted from a eulogy delivered at a memorial service for YB Mangunwijaya on 6 May 1999. Mangun died on 10 February 1999 aged 69 (see Inside Indonesia no.58, April-June 1999). Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia