Menolak Rancangan UU Pornografi bukan berarti setuju akan adanya pornografi dan porno aksi di masyarakat. Statement ini harus digaris bawahi. Teman-teman sebangsa dan setanahair yang masih mencintai budaya bangsa dan menghargai warisan leluhur, isis RUU Pornografi (dahulu RUU APP - Anti Pornografi Porno Aksi) jelas mengorbankan nilai-nilai budaya bangsa yang bhineka tunggal ika.
Candi Sukuh, Ceto, Lingga dan Yoni, bahkan Tugu Monas - semuanya bisa dianggap porno. Padahal itu jelas bagian dari budaya bangsa, dan pada waktu itu masyarakat adat sendiri bisa mencerna secara positif patung-patung di candi tanpa pikiran harus ngeres dan pikiran negatif. Kalau begitu terjadi penjajahan satu budaya lebih benar diatas budaya lain. Terjadi tindakan kriminalisasi terhadap budaya tertentu.
Seorang penari Jawa, Sunda atau Bali bisa dianggap membangkitkan gairah seksual, padahal itu adalah seni. Pertanyaannya, haruskah ada pelarangan terhadap pakaian kebaya yang botabene warisan budaya dan pelarangan gerakan tertentu dari Tarian budaya ? Karya seni budaya ini jangan dikorbankan atas nama "menangani otak porno"dan kepicikan beberapa orang termasuk pembuat RUU Pornografi.
Anan Krisna dalam Web http //www.akcjoglosemar.org (http://www.akcjoglosemar.org/berita/tolak-uu-pornografi-kita-sudah-memiliki-budaya-dan-peradaban/) menyampaikan bahwa Rancangan undang-undang "porno" sungguh asusila dalam pengertian RUU Pprnografi itu sama sekali tidak menghargai budaya bangsa. Silakan dipelajari, ini adalah upaya arabisasi - jelas sekali. Partai politik yang mendukungnya adalah "antek arab" - silakan pelajari sejarah mereka. Apa hubungannya dengan kelompok-kelompok di luar sana. Upaya untuk merubah Indonesia menjadi bagian dari budaya arab jelas TIDAK BISA DITERIMA. KITA SUDAH MEMILIKI BUDAYA DAN PERADABAN.
Say "No" to crime against culture. Indonesia, saatnya bersatu - sebelum kau dijajah oleh kaum asing lewat saudara-saudara kita yang tidak memahami sejarah. Sayang, mereka berada di DPR, di MPR, dalam kabinet.
Saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang kurang paham dan menganggap penolakan terhadap rancangan undang-undang ini sama dengan penerimaan terhadap pornografi - MESTI DISADARKAN. Ada unsur primordial SARA disana. KITA MENOLAK PORNOGRAFI, TETAPI JUGA MENOLAK RANCANG UNDANG-UNDANG PORNO DAN TUNA SUSILA, BUTA TERHADAP BUDAYA BANGSA.
Menurut rencana, DPR akan menggelar sidang paripurna Selasa (23/9) mendatang untuk pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi menjadi Undang-Undang (UU). Dua dari 10 fraksi di DPR menolak pengesahan RUU tersebut dan mengancam akan walk out dari sidang paripurna, karena menilai regulasi tersebut bakal mengancam kebinekaan bangsa Indonesia. Definisi dan pasal-pasal mengenai pornografi dalam RUU tersebut, sangat interpretatif, sehingga bisa menjadi ajang perangkap kelompok orang tertentu terhadap orang atau kelompok lain hanya kerana sangkaan pornografi. Pertanyaannya, apakah semangat dan materi RUU tersebut, sungguh mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan kebinekaan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tersebut? Jawaban atas pertanyaan itu, bisa direkam dari reaksi masyarakat atas rencana penegsahan RUU Pornografi tersebut. DPR boleh mengklaim bahwa RUU tersebut sudah disosialisasikan ke masyarakat, sehingga layak diundangkan, tetapi fakta menunjukkan pula bahwa penolakan keras dari masyarakat, muncul di beberapa daerah.
Reaksi antara lain muncul dari Daerah Papua/Irian Jaya. Para wanita dengan menggunakan pakaian tradisional adat Papua menari sambil membawa poster penolakan atas RUU Pornografi (sebelumnya disebut RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi/APP) di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, Jayapura, beberapa waktu lalu. Mereka menyatakan dengan tegas menolak RUU Pornografi, karena dianggap dapat menghancurkan budaya asli setempat. Sejatinya, sebuah regulasi, diterbitkan untuk semua kalangan dalam masyarakat yang heterogen dengan tujuan untuk menjaga norma secara bersama. Untuk konteks Indonesia, tentu saja regulasi tersebut, haruslah merupakan penjabaran dari amanat konstitusi UUD 1945, ideologi negara dan bangsa Indonesia yang pluralitas.
Mengingat beragamnya kepentingan yang ada di dalam masyarakat Indonesia, pembahasan UU pun seharusnya dilakukan dengan hati-hati, penuh perhitungan, dan merangkum semua kepentingan dengan dasar musyawarah dan mufakat. Prinsip itu tentu diamanatkan dalam sila ke-4 Pancasila yang telah disepakati bersama menjadi dasar negara kita.
Kalau dicermati, penolakan keras atas RUU Pornografi itu, memang bukan tanpa alasan. Sebab, materi dan semangat dari RUU tersebut, mengandung banyak hal yang sangat krusial. Pasal dan ayat-ayat krusial itu, sangat berpotensi menghancurkan kebinekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bukan hanya potensi perpecahan antara suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, ataupun agama dan ras, tetapi masyarakat dengan kondisinya yang karena kemiskinan atau adat istiadatnya bisa dijeboloskan ke dalam penjara, hanya karena porno maupun dikesankan porno.
Kita semua sepakat bahwa pornografi merusak moral bangsa. Tetapi, jangan sampai kesan dan persepsi pornografi yang berbeda itu membuat bangsa kita hancur, karena saling menghakimi dan menjadi "polisi moral" terhadap yang lainnya. Jangankan sejumlah pasal yang substansial dan rentan berdampak pada integrasi bangsa yang masih jadi persoalan, definisi pornografi pun masih jadi perdebatan. Definisi yang disepakati Pansus soal pornografi, sangat debatable, dan berbeda dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Definisi Pornografi dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.
Dengan definisi yang dibuat DPR dan Pemerintah, tentu saja banyak hal yang menjadi pertanyaan, karena tidak jelas dan cenderung menjadi pasal karet, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok orang. Kata-kata "dapat" pada definisi pornografi kalau dicermati secara mendalam tentu saja sangat bersifat subjektif.
Misalnya, si Budi mungkin bangkit hasrat seksualnya ketika memandang Mira yang mengenakan rok mini, tetapi si Badu yang berdiri tepat di sampingnya menganggap penampilan Mira biasa-biasa saja, sehingga hasrat seksualnya tidak muncul. Siapa yang harus disalahkan, Badu, Budi, atau Mira? Kemudian, jika "hasrat seksual" hanya terpendam dalam pikiran dan hati dan tidak diwujudnyatakan dalam tindakan, apakah orang-orang semacam itu dikenai hukuman?
RUU ini juga tidak menjelaskan mengenai apa itu "nilai-nilai kesusilaan". Keberagaman agama, budaya, seni, dan lain-lain yang dimiliki Indonesia tentu saja akan memiliki nilai-nilai yang berbeda seperti halnya nilai-nilai kesusilaan. Belum tentu nilai kesusilaan orang Jawa sama dengan nilai kesusilaan orang Ambon, Papua, Aceh, dan masih banyak etnis lainnya.
Hal lain yang mendapat sorotan, yakni Pasal 4 ayat 1 (d) yang menyatakan, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Berbicara mengenai ketelanjangan, tentu kita harus melihat dari dasar kalimatnya, yakni telanjang. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan, kata telanjang memiliki arti tidak berpakaian, tetapi kalau kesan ketelanjangan, sulit diukur. Penjelasan RUU menyebutkan "mengesankan ketelanjangan" adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan, yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang. Pasal ini juga sungguh fatal, karena sangat multiintepretasi.
Bagaimana dengan perempuan atau ibu-ibu di desa di Jawa-Bali, yang terbiasa dengan kebaya atau lelaki di pedalaman Papua yang mengenakan koteka dalam kehidupan sehari-hari bukan karena seni, apakah itu pornografi atau mengesankan pornografi? Apakah mereka harus mengganti pakaiannya jika RUU ini disahkan? Atau apakah mereka harus mendekam di penjara kalau tetap mengenakan pakaian itu. Bagaimana dengan program membudayakan kebaya sebagai budaya bangsa ?
Lalu, bagaimana dengan para olahragawan semisal perenang, atlet bola voli, khususnya pantai yang hanya mengenakan celana dalam dan bra. Bukankah itu lebih terbuka dibanding kebaya? Akankan atlet-atlet tersebut menjadi korban dari serampangannya RUU ini?
Bagaimana pula dengan definisi setiap orang yang dimaksud di awal kalimat tersebut. Jika melihat definisi setiap orang dalam RUU, maka anak-anak pun ikut termasuk di dalamnya. Artinya, jika anak-anak bermain dalam kondisi telanjang bisa saja dilaporkan polisi karena tidak menutup tubuhnya.
"Polisi Moral"
Bagian yang harus dicermati juga, yakni soal peran serta masyarakat. Dalam Pasal 22, sangat jelas disebutkan masyarakat bisa melaporkan pelanggaran terhadap UU ini.
Pasal ini telah membuka peluang sebesar-besar bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak sebagai "polisi moral". Mereka bisa saja melaporkan orang yang dituduh melakukan tindakan pornografi dengan membawa calon korbannya secara sewenang-wenang dengan cara-cara di luar hukum.
Celakanya, Pasal 23 kemudian memberi jaminan perlindungan bagi masyarakat atau kelompok masyarakat yang bertindak sebagai pelapor. Bagaimana UU ini bisa mejamin, kalau orang yang melapor tersebut tidak melakukannya dengan cara-cara di luar hukum?
Pasal 22 ayat (d) disebutkan, masyarakat turut berperan melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. Di sini pun sangat tidak jelas, apa arti dari "pembinaan" yang dimaksudkan.
Semua hal ini bisa membuat chaos di masyarakat. Seseorang bisa menjadi hakim bagi sesamanya. Akan muncul "penegak hukum tandingan" dan kebingungan di masyarakat. Sebuah bom waktu.
Pariwisata
Untuk sektor Pariwisaya tentu RUU Pornografi ini sangat tidak relevan. Akan terjadi pembatasan kebebasan "berekspresi". Haruskah di Pantai seseorang harus dilarang mengenakan pakaian renang, harus kah seorang wisatawan tertawan budayanya demi menghindari otak kotor porno yang melihat ? Ini penjajahan budaya. Itulah sebabnya salah satu desakan yang paling kuat menolak RUU Pornografi adalah dari Bali. Sementara itu, budayawan Samosir, Sumatera Utara, Hamonangan di Medan, Selasa mengatakan, UU Pornografi akan membuat wisatawan mancanegara enggan untuk berkunjung ke Indonesia. Bila hal ini terjadi, dan wisatawan jera datang, karena banyaknya peraturan, dipastikan akan memukul perekonomian masyarakat, selain mengurangi pendapatan pemerintah dari industri pariwisata. "Apabila RUU ini disahkan, bisa memberikan keuntungan pada instansi lain. Bisa saja persoalan ini menjadi ajang memeras orang," katanya. Peringatan dari berbagai pihak tersebut ada benarnya. Kalau saja para wakil rakyat di Senayan itu berjiwa negarawan, pastilah bisa mencamkan reaksi penolakan dari daerah soal RUU Pornografi tersebut. Kalau perlu, batalkan RUU tersebut atau setidaknya, tunda pengesahannya.
( Referensi : http://www.suarapembaruan.com/ SUARA PEMBARUAN DAILY Awas Perangkap UU Pornografi )