Visit Banjir Indonesia.
happy b"day banjir...
Setelah 17 tahun tertidur, Indonesia kembali mencanangkan Tahun Kunjungan untuk mendatangkan 7 juta wisatawan mancanegara. Sebenarnya, bagi negeri berpanorama indah, jumlah ini terbilang kecil, tetapi pencanangan ini penting untuk memulai komitmen baru.
Bagaimanapun, pariwisata terkait erat dengan lingkungan hidup, nilai-nilai sosial, investasi dan keamanan. Nah disini muncul satu Ironi, saat start bendera Visit Indonesia Year dikibarkan, bukan berita indah yang muncul, tetapi banjir, kesemrawutan pengelolaan bandara, kemiskinan, flu burung, demonstrasi anarkis dan lainnya.
Secara khusus soal banjir. Tahun ini kembali kambuh "rutin", seolah ulang tahunan dia datang secara meiah dan tepat waktu. Ini memalukan. Benarkah Indonesia berkomitmen membangun masa depan pariwisatanya? Banjir yang (lagi-lagi) kembali melanda beberapa daerah di Kalimantan, Pekan Baru, Ibu Kota Jakarta, Medan (dan berbagai kabupaten di Sumatera Utara ) dan puluhan daerah lain di Negeri ini yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi (disengaja atau tidak disengaja utk tidak dipublikasikan oleh Pemerintah Lokal setempat utk menutupi banyaknya anggaran pembangunan yang dialih pos atau telah di korupsi).
Apabila kita melihat sebab utama banjir tersebut bukan semata-mata proses alamiah karena meningkatnya intensitas hujan, tetapi bencana banjir yang ada saat ini seiring dengan semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Banjir yang terjadi merupakan dampak atas kebijakan pembangunan yang belum memberikan sentuhan positif terhadap tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Mengutip dari Web Walhi, utk Kasus banjir di Kalimantan Pjs. Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Hegar Wahyu Hidayat mengatakan "Pemerintah Daerah tidah pernah mau belajar, karena banjir ini telah terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, maraknya penerbitan izin tambang dan konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar menjadi penyebab utama bencana banjir ini dan bila terbukti ada perusahaan tambang atau sawit yang berperan besar dalam rusaknya hutan yang mengakibatkan banjir ini maka Walhi meminta pemerintah daerah mencabut izin operasi mereka.Rendahnya tingkat kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah menyebabkan banjir tersebut. Kondisi hutan yang semakin rusak akibat adanya penghancuran sumber daya alam lah yang yang menjadi penyebab semua ini. Data kondisi hutan terakhir menunjukkan tingginya deforestasi hutan Kalsel terutama dikawasan pegunungan Meratus menunjukkan luas areal hutan pada tahun 2006 sebesar 986 ribu hektar, sedangkan kawasan hutan lindungnya 433.677 hektar dan yang telah terambah oleh pertambangan dan perkebunan sawit mencapai 142.523 hektar.
Saya rasa persoalan yang diungkapkan Wahyu Hidayat diatas besar kecilnya juga dialami dibanyak daerah. Sehingga terjadi banjir yang bukannya semakin terantisipasi oleh Pemerintah, justru makin hari banjir terus berlangsung dan kualitas serta kuantitasnya semakin besar. Ini aneh bin ajaib. Lantas apa yg pemerintah kerjakan? Ironi. Bukannya kerja keras tuntaskan banjir, eh justru ada aparatur pemerintahan seolah cuci tangan menyampaikan bahwa banjir disebabkan oleh warga itu sendiri. Ok lah warga juga bersalah dengan sampah yg di buangnya. Tetapi jika lebih transparan bukankah tugas pemerintah utk menyadarkan warga, menata system persampahan dan menciptakan ruang serap air sehingga efek sampah bisa terantisipasi. Lantas apa tanggung jawab pemerintah dengan semakin tidak adanya ruang serap air di banyak perkotaan karena sisitem pembangunan yg tidfak terencana dan selaras lingkungan ? Ini jugalah yg persoalan di dunia belakangan ini dgn isu Pemanasan Global. Indonesia sebagai paru-paru dunia dinilai tidak becus menjaga hutannya ditengah ancaman tenggelamnya bumi oleh pencairan es di kutub. Ini menjadi persoalan yg perlu kita secara bersama memperhatikannya.
Jadi, jelaslah bahwa kesalahan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan merupakan penyebab utama dari bencana banjir tersebut. Juga jelas terlihat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak pernah memperhatikan aspek ekologis serta social. Yakin saja, komitmen Indonesia untuk pencanganan tahun kunjungan wisata di Indonesia bisa saja akhirnya menjadi wisata banjir dan mempertontonkan kesembrawutan di Indonesia. Wisata kesembrawutan kemacetan lalu lintas, wisata banjir, wisata tawuran, wisata demonstarasi anarkis akibat pilkada dan ormas anarkis, wisaya kesembratutan pengelolaan penerbangan, wisata seks, dll. Yang jelas ini semua bukan takdir, melainkan kebobrokan manusia yang sering diatasnamakan takdir utk alasan pembenaran.
Dan jika hal-hal seperti banjir saja tak bisa ditangani, bukan cerita baik yang akan dibawa pulang wisatawan. Bukan sekadar backfired, sejarah akan mencatat Indonesia sebagai negara yang memperkenalkan kampanye baru, Visit Banjir Indonesia 2008.
Referensi : Opini RHENALD KASALI, Visit “Banjir” Indonesia 2008, KOMPAS, Sabtu, 16 Februari 2008, halaman 6 dan Web Site Walhi : http://www.walhi.or.id/