Bom meledak lagi. Di tempat yang sama lagi, dan satu tempat lain. Enam tahun lalu di Hotel JW Marrriot, membunuh 11 orang dan membuat luka 152 orang. Kini di JW Marriot dan Ritz-Calton, sembilan tewas dan 53 luka-luka (data terakhir). Sebelum itu, pada 2000, di kediaman Duta Besar Filipina, dua orang tewas dan 21 orang luka-luka (termasuk sang duta besar). Bom terus diledakkan, ratusan korban juga tewas dan luka-luka: di Gedung Bursa Efek Jakarta (tahun 2000); di beberapa kota (2000); di diskotek Sari Club dan Paddy’s, Bali (2002); di restoran McDonald’s, Makassar (2002); di Bandara Soekarno-Hatta, Banten (2003), di kawasan Kedubes Australia, Jakarta (2004), dan di restoran Raja’s dan Nyoman Cafe, Bali (2005).
Sudah sedemikian riskankah hidup di zaman kini? Kemampuan manusia terus bertambah karena perkembangan rasionya. Hidup menjadi lebih mudah ketika sains dan tekonologi sebagai buah rasio membuat manusia mampu mengendalikan alam. Tapi seketika itu pula paradoks muncul: hidup pun penuh risiko. Kemampuan rasio manusia juga yang menghasilkan bom dan nuklir. Kemampuan yang sama pula yang membuat lingkungan alam rusak.Kita tampaknya harus terbiasa atau membiasakan diri hidup dalam risiko. Sewaktu-waktu perang nuklir bisa terjadi, sewaktu-waktu pula bencana alam bisa datang. Semua karena ulah manusia. Di tangan manusia, potensi rasio bisa menjadi berkah tapi juga bencana.
Maka, soal bukan semata terletak pada menggenjot habis kemampuan rasio pada batas terakhirnya. Manusia juga perlu membentuk sistem dan dunia kehidupan yang mengandaikan etika agar rasio bisa dikendalikan untuk tujuan kemaslahatan bersama.Pemimpin dan elite pada lapisan dan bidang manapun, dalam konteks ini, memiliki posisi strategis. Pada mereka digantungkan harapan pembentukan nilai dan etika agar sistem dan dunia kehidupan itu berdiri kokoh. Reaksi tak terukur dan terkesan panik justru kontraproduktif. Di bawah gelap kehidupan yang penuh risiko kini, rakyat membutuhkan terang dan kepastian. Pada pemimpin dan elite yang memerintah mereka berharap.
Dalam ketidak-pastian, ketidak-tahuan, dan keraguan yang mudah muncul secara spontan adalah spekulasi. Ini mestinya menjadi sikap rakyat karena ini amatir. Pada pemimpin dan elite yang diharapkan adalah sikap tenang dan profesional. Pemimpin dan elite negara tak semestinya malah membuat panik dan kisruh dengan pernyataan yang spekulatif. Pemimpin harus berada di depan, karena itu tidak pantas panik dan marah.Kita berharap apa, siapa, bagaimana, dan kenapa bom di JW Marriot dan Ritz-Calton itu meledak dan diledakkan segera terkuak. Dengan begitu menjadi teranglah apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negara kita yang konon oleh penguasa sering disebut ada pada jalur yang benar. Kalau benar, kenapa ada orang marah dan meledakkan bom di mana-mana untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya?Kita justru melihat fenomena yang sebaliknya di masyarakat bawah. Bom yang baru saja meledak itu tak membuat mereka panik dan takut. Hotel dan mal tetap saja banyak pengunjungnya. Di jejaring perkawanan Facebook malah banyak kita temukan pernyataan yang mengindikasikan ketenangan: peristiwa itu dikomentari dengan penuh canda, meski satu-dua bernada kutukan. Artinya? Rakyat percaya pemimpin dan elitenya serta penegak hukum mampu (atau tidak mampu?) mengungkap dan menangkap pelaku dan dalang teror bom itu. Maka: (tinggal) laksanakan!
Iskandar SiahaanKepala Penelitian dan Pengembangan Liputan 6
Dalam hitungan menit setelah kejadian, peristiwa pemboman Ritz Carlton dan Marriot telah tersebar ke seantero jagad. Sesuatu yang mustahil terjadi 15 atau 20 tahun lalu. Perkembangan internet, alat komunikasi dan media elektronik memungkinkan pertukaran informasi yang begitu cepat, hingga dunia menjadi terasa sebagai sebuah desa alih-alih terdiri atas 5 benua.
Namun dalam konteks terorisme, apa kecepatan informasi ini selalu menguntungkan? Sebelum pertanyaan itu terjawab, kita perlu terlebih dahulu mengasumsikan tujuan para pelaku teror.Menurut www.dictionary.reference.com, teror diartikan sebagai “cause of intense fear or anxiety” atau sesuatu yang mampu menyebabkan perasaan takut dan kecemasan yang sangat.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pelaku teror menghendaki tingkat ketakutan maksimal sebagai ukuran keberhasilan misinya. Skala ketakutan yang melampaui wilayah dimana operasi teror itu dilakukan. Semakin luas wilayah jangkauan kepanikan, semakin baik buat mereka.
Dengan segala kemajuan perangkat komunikasi seperti sekarang, maka terorisme pun menemukan media penguat amplitudo teror yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang di pelosok Kalimantan bahkan Papua, sangat mungkin turut merasakan takut dan tidak aman, padahal mereka tinggal ribuan kilometer dari pusat peristiwa langsung.
Semakin banyak dibicarakan, semakin merasuk pengaruh teror ke sela kehidupan pribadi-pribadi. Semakin diperbincangkan, peluang para pelaku untuk menebarkan rasa was-was semakin terbuka. Semakin digosok, akan semakin sip buat pelaku terror.
Kemajuan teknologi jelas tidak bisa dinafikan, tidak mungkin menutup kanal televisi atau memblokir internet untuk membendung penyebaran berita teror. Membahas dan menelaah suatu peristiwa teror pun tidak mesti jadi harus dilarang.
Jika satu peristiwa teror terlanjur terjadi, usaha pemulihan kondisi dan kepercayaan masyarakat merupakan hal mendasar yang perlu dilakukan. Upaya kontra-teror harus segera digalang untuk meredam efek teror.
Pemerintah yang tanggap dan bergerak cepat akan menjadi obat peredam yang mujarab dan diharapkan mampu memberikan rasa aman dan percaya kepada masyarakat. Karena efek teror yang umumnya juga mengimbas sektor lain, kerja sama kompak lintas bagian dan departemen menjadi amat diperlukan. Selain itu, pihak berwenang juga harus mampu menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bersifat spekulasi yang dikhawatirkan malah semakin memperburuk suasana ketidakpastian
Namun sebaik apapun semua upaya, ini tergolong tindakan reaktif. Artinya, upaya-upaya ini diambil setelah tindak teror terjadi. Padahal, seperti kata bijak yang sering kita dengar, mencegah akan lebih murah dan efektif dibanding mengobati. Sebagai salah satu langkah pencegah, kultur subur pencetus terorisme seperti radikalisme agama, kesenjangan kaya-miskin yang amat sangat, tingkat pendidikan yang masih rendah, mesti dikikis habis. Selain itu, pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya juga akan jadi cara jitu untuk deteksi dini upaya terorisme.
Semoga tak ada lagi teror yang terus berulang. Damai selalu Indonesiaku.[]