Thursday, February 28, 2008

Pentingnya Pelatihan Mediasi bagi Pelayan Gereja

Oleh : Pdt. Happy Pakpahan
“ Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah ” Matius 5:9 Persoalan Sengketa di Sekitar Kehidupan BerGereja Setiap manusia pada hakekatnya membutuhkan keteraturan, kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya. Akan tetapi, perbedaan kepentingan-karakter dan kebutuhan manusia sering membuat terjadi pergesekan-2 sosial. Pergesekan ini menjelajahi antar pribadi, antar kelompok masyarakat, hingga kepada antar SARA. Bisa disebabkan oleh Pemilu (dari tingkat Pusat hingga RT-RW), perkelahian antar kampung, perebutan warisan, dll. Secara khusus, pergesekan ini juga menjamah kehidupan pelayanan di Gereja. Misalnya, banyaknya sengketa Yayasan Kristiani dan Gereja mengenai aset ( benda bergerak dan tidak bergerak ). Sering sekali upaya musyawarah damai tidak tercapai sehingga diproses melalui prosedur peradilan. Kita harus jujur mengakui, bahwa disamping merusak persekutuan hal ini juga mengakibatkan adanya kerugian diantara kedua belah pihak. Terjadinya sengketa-sengketa aset Gereja dan Yayasan Kristen mencerminkan masalah pengelolaan asset cukup sensitive. Banyak terjadi sengketa dimana pihak tertentu (keturunan ompu si A, si B, dll) mengklaim sebagai pemilik-yang berhak atas aset tertentu, dan akhirnya bisa menjerumus kepada bentrok fisik, berpindahnya aset Gereja/Umat yang selama ini dipakai kepada pihak tertentu, dan terhambatnya peribadahan dan aktifitas Gerejawi lainnya. Karena itulah, disamping dibutuhkan pelayanan pelengkapan sarana administrasi hukum aset Gereja, dibutuhkan juga ketrampilan penanganan konflik dan sengketa bagi para pelayan Gereja. Sehingga jika terjadi konlik atau sengketa mengenai aset, dibutuhkan upaya-upaya konkret menciptakan keteraturan, kedamaian, secara khusus mentransformasi konflik menjadi perdamaian yang saling menguntungkan dan menata kembali hal-hal pengelolaan agar terhindar dari sengketa-2 baru. Sudut Pandang akan sebuah Konflik atau Sengketa Menghadapi konflik secara konstruktif harus dimulai dengan sudut pandang dan sikap yang tepat terhadap konflik. Bila orang terlanjur memahami bahwa konflik atau sengketa itu tanda kegagalan, dan pasti berdampak destruktif, dengan sendirinya mereka akan merasa terancam dan menunjukkan sikap defensif. Rasa takut dan terancam ini akan menciptakan kata atau perbuatan yang justru akan mendukung atau membenarkan perasaan-2 negatif itu/ self fulfilling prophecy. Sebaliknya, bila manusia memiliki pandangan bahwa konflik itu normal, bahwa konflik dapat menghasilkan perubahan-2 penataan yang lebih baik/teratur hal-hal yang berkaitan dengan sumber sengketa, maka akan ada motivasi yang baik dalam memanage suatu persoalan/sengketa, sehingga konflik tersebut justru akan melahirkan hasil-2 konstruktif. Dalam hal persoalan sengketa, satu hal lain yang penting adalah menghilangkan konsep kalah - menang ; diuntungkan – dirugikan dan mengakhiri lingkaran-2 balas dendam. Sehingga diperlukan berbagai pemikiran yang lebih daripada sekedar pengelolaan konflik atau penyelesaian sengketa secara tehknis akan tetapi membangun kesadaran mentransformasi persoalan menjadi hal penataan.
Mediasi - Upaya Kontekstual Inilah keistimewaan proses Mediasi. Dalam penyelesaian sengketa/konflik. Mediasi memahami bahwa transformasi menuntut perubahan bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam. Mediasi juga memahami bahwa perubahan yang merupakan hasil pemaksaan kehendak bukanlah hasil transformasi, melainkan sekedar menyesuaikan diri terhadap tekanan dari kekuatan yang lebih dahsyat. Proses transformasi dalam mediasi membutuhkan komitment yang jelas untuk menolong orang lain tumbuh secara positif. Mediator mengakui bahwa perdamaian dan keadilan adalah tunggal, perdamaian tanpa keadilan bukanlah perdamaian sejati. Orang-orang seperti inilah yang kita sebut peacebuilders atau para juru damai. Mereka mengakui bahwa perdamaian hanya bisa dibangun secara pelan-2 lewat serangkaian proses perjumpaan dan refleksi, bukan hanya tentang perkara-2 teknis yang biasa muncul dalam sebuah konflik, melainkan juga tentang persoalan-2 yang lebih mendalam seperti soal relasi, membangun rasa hormat dan berbagai realitas structural. Pendekatan terhadap sengketa dan konflik memang membutuhkan waktu, analisis yang cermat, perencanaan, serta berbagai strategi. Tantangan kita bukanlah menghindari konflik atau perbedaan pendapat, melainkan mengolah konflik secara konstruktif, menyalurkan energi yang ditimbulkannya kearah positif, menuju terjadinya perubahan yang adil. Pengalaman membuktikan bahwa ditengah sengketa, perdamaian tidak muncul tiba-tiba atau hasil angan-angan belaka melainkan perlu diperjuangkan lewat iman kepercayaan, kerja keras dan perencanaan yang matang. Sehingga diperlukan orang-orang atau lembaga yang mau dipakaiNya menjadi Juru Damai. Gereja membutuhkan orang-orang atau Lembaga yang berperan aktif menyelesaikan sengketa-sengketa aset Gereja-Yayasan Kristiani secara “ win-win solution” dengan mempunyai Visi “ tercapainya kedamaian Hidup bersama dalam masyarakat sebagai perwujudan kasih ”. Dengan Misi mengupayakan penyelesaian masalah dan sengketa dalam masyarakat, sebagai bentuk alternative guna mendorong dan mengupayakan tercapaianya kesepakatan yang memenuhi rasa keadilan yang bersifat restorative, baik kepada masing-masing pihak yang bermasalah dan bersengketa, maupun kemunitasnya. Jadi bagi para Pelayan Gereja sebagai pengemban amanah Agung, memang perlu dilatihkan tentang transformasi konflik menggunakan ketrampilan mediasi dan juga transformasi konflik - untuk mengolah konflik secara konstruktif. Dilatih upaya peranan Klien dan legal Representative dalam Mediasi, meningkatkan kesadaran tentang Intervensi strategis Mediator, pengenalan bentuk-bentuk konflik & berbagai pendekatan dalam mengatasi konflik atau sengketa sebagai Skill yang dibutuhkan seorang Mediatro, proses Negosiasi serta berbagai pendekatan dalam mengatasi konflik atau sengketa, meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali aneka realitas, kebutuhan dan nilai-nilai hidup masing-masing pihak yang bersengketa. Agar orang yang dilatihkan kemudian mampu membantu menciptakan proses-2 interaksi yg berdampak memberdayakan para partisipan serta menumbuhkan kesadaran akan nilai intrinsik mereka. Seorang mediator menjajaki berbagai opsi dan merundingkan suaru cara penyelesaian. Seorang mediator tidak boleh memaksakan keputusan apa pun, melainkan menolong pihak-2 yang bertikai menemukan aneka solusi yang bisa diterima semua pihak. Mediasi bukan hanya berpotensi menciptakan perdamaian dan memperbaiki hubungan pihak yang bersengketa, melainkan juga mampu mentransformasikan kehidupan pihak-2 yang bertikai, sehingga ada keterbukaan dan penerimaan terhadap pihak lain yang duduk berseberangan (recognition atau pengakuan) „. Karena itulah dalam proses mediasi, kita berelasi dengan orang lain dengan cara-cara yang konsisten menghormati martabat serta potensi setiap manusia. Dengan demikian, kita tetap memperlakukan setiap pribadi dengan penuh hormat serta menolak bentuk-2 pelecehan, pencemaran nama baik, atau serangan yang ditujukan terhadap pribadi/kelompok. Dengan memperhatikan aneka kebutuhan ini, tujuan dan harapan mereka, mediator mendorong mereka agar mempertimbangkan semua opsi yang terbuka untuk kemudian membuat sendiri keputusan-2 menyangkut persoalan, bukan menunggu orang lain membantu mengatasi aneka masalah yang mereka hadapi dengan cara arbitrasi (mengadili) atau mendikte. Mediator berusaha menwujudkan agenda ini bukan lewat „keberpihakan: melainkan dengan memfasilitasi proses-2 interaksi yang menunjang, pemberdayaan/empowering dan pengakuan. Dengan demikian, mediasi menolong mereka bertanggungjawab atas aneka keputusan yang mereka ambil. Mediasi bisa memberikan landasan untuk mengubah hubungan mereka serta mulai bekerja sama untuk berbagai hal, saling mengklarifikasi informasi, bahkan bersama-sama mengubah struktur-struktur yang menjadi sumber konflik. Nah, bukankah ini semua merupakan bagian implementasi Amanah Agung menjadi Juru Kasih dan Juru Damai yang kita terima dari Kristus sebagai Kepala Gereja. Sebuah pelayanan yang mengerti hukum, pencari solusi dan mendamaikan. Untuk itu, rekomendasi saya, hendaknya kita memikirkan pembinaan dan pelatihan Mediasi bagi warga Gereja, Pelayan. Tidak terlena kepada rutinitas pelayanan dan kemudian reaksioner dan bingung ketika konflik terjadi. Syalom.