Pemilu Legeslatif usai sudah. Baliho, spanduk, yang terpajang selama ini mulai diturunkan. usai sudah KAMPANYE ALA "CALEG IDOL" (dengan banyaknya terpampang Baliho, Spanduk dll). Usai penghitungan, jelas, ada yang terpilih dan ada yang tidak bisa duduk di lembaga Legeslatif di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat dan DPD. Ini adalah sebuah konsekuensi dari Demokrasi. Mudah-mudahan semua Caleg "gagal" bisa berbesar hati dan semakin dewasa dalam menapak demokrasi. Usai Pesta Demokrasi, sayang rasanya proses Demokrasi yang telah berlangsung lama dan rumit ini serta “MAHAL” ini kita lewatkan begitu saja tanpa mengambil makna dari apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Untuk itu berikut ada beberapa hal yang bisa kita maknai dari Proses Pemilu yang melelahkan ini :
1. Di tingkat masyarakat mulai berkembang kesadaran Politik akan hak dan arti sebuah Pemilihan Umum. Ini terbukti konkret dengan berbondong-bondongnya rakyat men contreng pada Pemilu 2009, dan menerima keberadaan pihak yang Golput sekalipun secara dewasa. Ini adalah bukti konkret bahwa siap menerima perbedaan keputusan di masing-masing orang. Ini juga terbukti dalam hal menerapkan pilihan. Memang ada masyarakat yang memilih berdasarkan kedekatan marga, profesional (karna punya hubungan relasi pekerjaan dengan Caleg tertentu), alasan kedaerahan, dll ; tetapi ada yang memiliki logika yang kuat sebelum menentukan pilihan. Nah orang seperti ini tidak mudah mendapatkan suaranya, faktor diatas tidak menjadi penentu dalam pengambilan pilihan. Tetapi ada faktor lain yaitu kredibilitas Caleg yang dipilihnya, apakah dianggap mampu memperjuangkan issu tertentu atau tidak, faktor inilah yang jadi penentu pilihannya.
Calon pemilih ini jelas harus dipetakan dan tidak boleh di generalisir oleh Caleg dan Tim Suksesnya. Tapi, fenomena ini banyak yang tidak tercerna oleh para Caleg yang akhirnya terjerumus pada penghamburan dana untuk mengambil hati calon pemilihnya. Berbagai cara dilakukan, mulai mengadakan acara (yang dulu-dulunya jangankan mengundang rakyat hadir ke rumahnya, bertegur dan bersosialisasipun tidak), pemberian uang atau materi lain, hingga melakukan “serangan fajar beberapa saat sebelum waktu pemilu dilaksanakan. Alhasil terjadi salah prediksi dan muncullah kekecewaan ketika suara yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sini kita bisa memaknai bahwa setiap Caleg harus pintas dan punya analisa dan pendekatan berbeda kepada konsituennya.
3. Mengingat kembali sebelum Pemilu 2009, 44 partai politik menandatangani deklarasi antikorupsi di kantor KPK, Pada saat yang sama sejumlah tokoh lainnya mendeklarasikan “Blok Perubahan” di sebuah hotel di Jakarta. Apakah ada maknanya? Tentu tak ada yang salah dengan semakin banyaknya deklarasi yang berisi komitmen para elite politik membenahi bangsa kita menjadi lebih baik. Hanya, jika deklarasi demikian muncul setiap menjelang pemilu, sementara perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan para elite yang dihasilkan pemilu tidak berubah, maka yang berlangsung tidak lebih dari sekadar upacara. Sebagai upacara, hampir tidak ada yang diperoleh rakyat kita melalui deklarasi-deklarasi demikian. Ia sekadar “tontonan” yang tidak memiliki makna apa pun ketika pemilu menjadi arena pertukaran kepentingan di antara para politisi dan parpol.
4. Pembacaan yang sama dapat diberikan pada pameran bisu ribuan foto-diri para calon anggota legislatif, serta poster, spanduk, dan baliho parpol yang mengepung seantero negeri dewasa ini. Alih-alih menawarkan program, para caleg parpol justru mohon “doa restu”, padahal kita tak pernah tahu dan diajak bicara tentang mereka. Akibatnya, pemilu yang seharusnya merupakan arena penawaran ide terbaik untuk membenahi kehidupan kolektif, akhirnya menjadi ajang mematut diri bagi para elite yang mempertahankan posisi di satu pihak, dan mereka yang kebelet berkuasa di pihak lain. Belum lagi Baliho, spanduk, stiker, brosur mereka yang telah membuat setiap kota menjadi kumuh dan tidak tertata. Sebuah kompetisi CALEG IDOL...;
5. Fenomena serupa tampak pada para calon presiden (capres) yang sibuk bersilaturrahmi dan saling menjajagi koalisi, tetapi tak pernah jelas apa agenda mereka untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman krisis keuangan global, kehancuran lingkungan ataupun bencana banjir yang bisa menenggelamkan Pulau Jawa. Belum lagi soal kemiskinan, pengangguran, serta krisis energi dan pangan yang menghantui bangsa ini akibat akumulasi “salah urus” negara yang tak berkesudahan.
Pemilu sebenarnya merupakan momentum bagi suatu bangsa untuk merefleksikan kembali pencapaiannya selama lima tahun terakhir. Pemilu juga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kembali prestasi para pejabat publik hasil pemilu sebelumnya. Namun rakyat acapkali tak bisa merebut kesempatan itu karena hegemoni para elite politik atas ruang publik menjelang pemilu melalui berbagai ritual yang tak berkaitan langsung dengan nasib rakyat. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, nasib rakyat kita masih sebagai “komoditas” untuk memperbesar suara para caleg, parpol, ataupun capres.
Karena itu tidak mengherankan jika antusiasme rakyat terhadap pemilu kini cenderung menurun. Persoalannya, meningkatnya perkembangan demokrasi ternyata berbanding terbalik dengan tegaknya pemerintahan yang yang bersih. Deklarasi antikorupsi yang semakin intens, juga berbanding terbalik dengan maraknya kasus suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen di pusat dan daerah, serta para pejabat publik lainnya. Di sisi lain, membengkaknya jumlah partai, caleg, dan capres justru berbanding lurus dengan semakin miskin dan dangkalnya ide-ide tentang perubahan. Akibatnya, janji-janji perubahan yang ditawarkan para elite pun cenderung artifisial, sehingga tak lebih dari gincu politik yang akhirnya luntur bersamaan dengan usainya pemilu.
Mengapa demikian? Secara kultural penjelasannya bisa mungkin dicari dalam tradisi berbagai masyarakat nusantara yang sarat dengan rangkaian ritual dan upacara. Akan tetapi upacara semestinya berhenti sebagai aktivitas privat dan komunal yang tak berhubungan dengan urusan publik. Ketika ritual komunal ditranformasikan sebagai standar perilaku dalam relasi politik yang bersifat publik, maka yang berlangsung adalah praktik demokrasi yang primitif. Artinya, praktik demokrasi memang marak, tetapi seringkali sekadar bingkai untuk mengemas sahwat politik liar yang absen dari komitmen etis terhadap kemaslahatan kolektif.
Tidak Inspiratif
Oleh karena itu yang diperlukan bangsa ini sebenarnya bukanlah parpol ataupun caleg yang sekadar pintar membuat deklarasi. Juga, bukan para capres yang hanya sibuk wira-wiri mencari pasangan atau menunggu pinangan. Kita membutuhkan parpol, caleg, dan capres yang bisa berbagi ide tentang persoalan kolektif bangsa dalam ruang publik yang memperlakukan pemilih sebagai “warga negara”, bukan “massa” yang mudah dikelabui, dibodohi dan diprovokasi melalui janji-janji kosong pemilu.
Sudah terlalu banyak pidato dikumandangkan, visi dan misi dipaparkan, serta komitmen diucapkan dan dideklarasikan. Akan tetapi hampir tidak ada insipirasi baru yang bisa membesarkan harapan serta membangkitkan optimisme publik akan masa depan yang lebih baik. Para elite politik fasih bicara tentang kemiskinan, penderitaan rakyat dan keterpurukan bangsa kita, tetapi pada umumnya sebatas jargon untuk meraih simpati dan dukungan ketimbang suatu terobosan gagasan genuine dan jernih untuk mengatasinya. Pada saat yang sama, ironisnya, media cetak dan elektronik pun yang seharusnya mengawal hati publik, acapkali turut terperangkap kecenderungan parsial yang sama.
Kondisi ini diperburuk oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum yang jauh dari menggembirakan. Komisi yang seharusnya bisa meyakinkan publik akan keberhasilan pemilu justru terperangkap pada produksi wacana yang tak perlu, prioritas kerja yang tak jelas dan jauh dari fokurs, serta sosialisasi pemilu ke luar negeri yang urgensinya rendah.
Lalu, kemana bangsa ini akan menuju jika carut-marut pemilu seperti ini terus berulang? Mengapa kita harus bangga dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia –sesudah India dan Amerika Serikat—jika semua itu semu belaka?
Dari hari ke hari rakyat merajut harapan akan hidup lebih layak dan sejahtera. Namun dari pemilu ke pemilu pula harapan itu hanya menggantung di bibir para wakil dan pejabat publik terpilih. Barangkali, inilah utang politik terbesar dan tak ternilai para elite politik menjelang dan usai pemilu yang digarisbawahi oleh artikel pendek ini.
http://syamsuddinharis.wordpress.com/2009/03/16/merajut-harapan-dari-pemilu/
Publik Pesimis Pengangguran Teratasi Pasca-Pemilu
Mayoritas publik masih merasa pesimis masalah pengangguran dan harga Sembako bisa teratasi atau keadaannya akan lebih baik pasca-Pemilu 2009 mendatang. Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodary, mengungkapkan itu di Jakarta, Minggu, sehubungan dengan hasil survei nasional lembaga riset yang dipimpinnya.
"Hanya 32,3 persen responden pemilih yang mewakili publik yang kami tanya yang menyatakan, sangat yakin atau cukup yakin, bahwa masalah pengangguran itu akan dapat teratasi atau keadaannya lebih baik pasca Pemilu 2009," ungkapnya. Selebihnya, lanjutnya, yakni sekitar 57,5 persen, merasa kurang yakin bahkan tidak yakin sama sekali, sedangkan 10,3 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab."Posisi yang sama, yakni merasa pesimis, terjadi pada masalah harga Sembako.
Tercatat 42,8 persen responden menyatakan cukup yakin, tetapi 47,7 persen sebaliknya tidak yakin sama sekali, dan hanya 9,5 persen tidak tahu," katanya meyakinkan. Pemaparan hasil survei itu, diikuti dengan diskusi tentang "Pengetahuan dan Harapan Masyarakat terhadap Pemilu 2009", yang menghadirkan pula Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hafiz Anshari, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), Bambang Eka, dan Direktur CETRO, N Hadar Gumay."Memang, mayoritas masyarakat, yakni diwakili 56,3 persen responden pemilih merasa bahwa Pemilu 2009 akan membawa keadaan Indonesia pada pasca Pemilu akan menjadi lebih baik. Namun itu tadi, angka pesimistis masih cukup besar, yakni berkisar 30 sampai 40 persen," ungkapnya.
Ia menjelaskan, waktu pengumpulan data antara tanggal 16 hingga 26 Desember 2008, dan survei ini dilaksanakan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden sebesar 1.200 orang ('margin of error') sebesar tiga persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Satu hal lagi, menurut M Qodary, responden dipilih dengan metode 'multistage random sampling' untuk menghasilkan responden yang mewakili populasi publik dewasa Indonesia.Infrastruktur, Kesehatan, PendidikanIndo Barometer juga, menurut M Qodary, menelusuri persepsi publik tentang aspek-aspek pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan."Ternyata, dalam aspek pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan, mayoritas responden merasa yakin, Pemilu 2009 akan membuatnya menjadi lebih baik," ujarnya.Misalnya dalam hal pembangunan infrastruktur, lanjutnya, ada 60,8 persen responden menyatakan sangat yakin akan ada perbaikan, hanya 28,8 persen tidak yakin, sedangkan tidak menjawab cuma 10,4 persen.Kemudian untuk pelayanan kesehatan, menurutnya, angkanya juga cukup tinggi, yakni ada 60,3 persen responden cukup yakin akan ada perbaikan, hanya 31,1 persen kurang yakin, lalu 8,6 persen tidak menjawab."Sementara itu, dalam hal pelayanan pendidikan, 57,6 persen responden sangat yakin akan ada perbaikan, 34,1 persen kurang yakin, dan hanya 8,3 persen tidak tahu," ungkap M Qodary. (Ant).
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3639:publik-pesimis-pengangguran-teratasi-pasca-pemilu&catid=173:12-januari-2009&Itemid=135
BERIKUT BEBERAPA FOTO BALIHO CALEG YANG NORAK DAN JELAS GAK NYAMBUNG (didapat dari beberapa sumber)
Caleg yang satu ini mencantumkan Foto David Beckham di Balihonya. Dan uniknya Foto Beckham lebih besar dari fotonya sendiri. Apa ini bukti caleg yang ngak PD ? Ngak ngerti kita apa visi dan yang bisa dikerjakan caleg seperti ini jika terpilih jadi wakil rakyat.
Caleg yang ini bawa-bawa popularitas putrinya yang kebetulan adalah artis. Tampaknya segala cara di legalkan demi mempublikasikan diri, walau ngak nyambung dengan esensi Perjuangan di Lembaga Legeslatif.
Ini Baliho Caleg atau Baliho dukun ? sampe-sampe ngepublikasikan jimat segala... Emangnya rakyat mau diajari mengatasi kemiskinan dengan ilmu santet apa?
Ini contoh Kampanye tidak ramah lingkungan dengan merusak/main paku di pohon, yang jelas mungkin bukan dia yang menanam. Belum apa-apa sudah merusak lingkungan nih Caleg....
Ibu Ca-DPD yang satu ini nyadar betul dirinya kurang populer, sampai-sampai mencantumkan Foto Ayahnya segala dan nama Suami serta Kampus dimana suaminya kerja.... Visinya abstrak, apa kinerja yang bisa diharapkan dari dia tidak tertuang sama sekali..
Ini Caleg atau tukang obat... dari kalimatnya yang sembrawut dan janji yang muluk-muluk tampaknya Caleg yang satu ini aneh...
Ini Caleg tidak tanggung-tanggung, dia mencantumkan silsilah kelurganya... Nah lantas kalau tidak terpilih apa berarti ini wujud masyarakat tidak memberikan apresiasi kepada leluhurnya ? wah jangan bawa-bawa leluhur deh bro'', berbuat aja untuk rakyat pasti perjuanganmu lebih berarti untuk duduk di Lembaga Legeslatif..
Ini mau jadi Anggota Dewan atau Rocker?? Apa nge-GAUL bisa jadi solusi untuk persoalan sosial-ekonomi-budaya-alam yang njelimet? Yang konkret deh...
Ini Caleg terobsesi masa kecil yang suram kali ya..., Tak jelas apa Visi dan perjuangan mengatasi isu apa yang hendak diperjuangkannya melalui DPR. Apa Caleg ini nyadar bahwa gak ada Superman? Yakin kemampuanya adalah SUPER untuk menyelesaikan pergumulan konkret rakyat ? Mimpi....
Ini satu lagi Caleg yang norak... Mau jadi Don Juan bro.. ?
Makin pusing liat Baliho yang satu ini, gak jelas apa visinya ? Mau bertinju atau tawuran di DPR ?