SPIRITUALITAS IBADAH YANG MEMERDEKAKAN
Rancang Bangun Komitment Bersama
Refleksi Singkat dari Kitab Yesaya
- Telah diterbitkan di Majalah Theos, HKI Cawang Cililitan, 2007 -
Prolog ( Hermeneutika Pergumulan )
Ada hal yang sangat menarik untuk direfleksikan dari Kitab Yesaya direlevansikan dengan konteks kekinian. Pada konteks Yesaya, dengan bebasnya umat Yahudi dari Pembuangan Babel pada tahun 538 s.M ke Yerusalem, umat Yahudi sangat mengharapkan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi Kerajaan Israel seperti yang diwartakan oleh Nabi Hagai dan Zakharia. Tetapi kenyataan yang diterima sangat berbeda dengan cita-cita yang diidamkan. Mereka justru tetap mengalami berbagai kekurangan ( Yes. 60 : 17; 61:4; 58 : 6-10) dan terjadi ketegangan sosial (Yes.60:18; 65 : 21-22), sehingga mereka mulai patah semangat. Berbagai upaya telah mereka lakukan termasuk tekun melakukan ceremoni ibadah, puasa dan persembahan. Ini menimbulkan pergumulan dikehidupan Israel, antara lain : mengapa Allah seakan-akan membiarkan umatNya terus menderita dan menanti ? Mengapa Allah seakan tidak mendengar doa-2 mereka ? Dimanakah Allah yang perkasa itu dan masih adakah masa depan yang dijanjikan melalui para Nabi ? Bagaimanakah caranya agar kehidupan sejahtera itu datang ?
Dari Kitab Yesaya pasal 58 kita ketahui bahwa ternyata pada waktu itu memang banyak dari umat israel yang rajin beribadah, melakukan puasa, dan memberikan rangkaian persembahan, namun disisi lain mereka melakukan kekerasan terhadap sesamanya serta tidak menghiraukan nasib sesamanya. Bahkan mereka mempergunakan pertemuan-pertemuan puasa dan ibadah untuk mengurusi keperluan mereka sendiri dan mendesak buruh-buruh mereka bekerja keras selagi mereka berpuasa. Suatu keadaan yang ironis. Mereka berpikir tindakan berpuasa dengan sendirinya menjamin bahwa Allah akan mendengar dan mengabulkan doa mereka, seolah ibadah adalah investasi jasa kepada Allah agar kepentingannya dikabulkan. Inilah yang coba diKritisi Yesaya dimana kerap kali manusia melalui ibadahnya mencoba memanipulasi ibadah yg sebenarnya untuk kesenangan mereka sendiri. Sebenarnya orang yg berbuat demikian tidak merendahkan hati dihadapan Allah melainkan justru meninggikan diri. Agama hanya diperalat untuk legetimasi atau pemuas hasrat manusianya. Sehingga ibadah kehilangan maknanya.
Dengan membaca teks ini, kita tentu bertanya-tanya, bahwa kira-kira 2500 tahun yang lalu sudah ada orang yang mengharapkan dunia baru. Jika kita merenungkan hal ini lebih heran lagi bahwa sekarangpun kita masih mengharapkan dunia baru, menuju Indonesia baru. Dengan ini kita bisa tarik benang merah bahwa dunia baru itu sekarang masih belum berupa kenyataan, melainkan masih berupa harapan yang belum terpenuhi. Lantas apa yang menjadi rintagan menuju Indonesia Baru ? Bagaimana dengan doa-doa yang kita panjatkan melalui ibadah KKR, Praise & Worship, doa pribadi, doa puasa, untuk pemulihan Indonesia ? Apakah Allah tidak menerimanya ? Benarkah kecenderungan orang Kristen sekarang hanya melakukan ibadah yang vertikalis sekaligus menghalangi kepekaan dan kepedulian kita terhadap sesama disekeliling kita ? Suatu kecenderungan ibadah yang hanya terarah pada doa, jiwa dan roh, kesaksian yang terkadang “bombastic”, sehingga kurang memperhatikan bahwa kita masih hidup didunia didalam tubuh, darah dan daging yang mempunyai kaitan fisik, sosial, ekonomi, maupun politik dengan lingkungan. Benarkah Gereja/umat Kristen semakin membuat temboknya “ tinggi-tinggi ” tertutup dari dunia luar. Membedakan urusan duniawi dengan urusan Rohani. Padahal antara kerohanian dan dunia harus saling diperhadapkan terus menerus, untuk mengubah realitas dunia seturut dengan semangat Injil. Benarkah ada indikasi sekarang muncul Gaya kekristenan yg terlalu menekankan sikap puritan, saleh, yg berkembang pesat sekarang ini ternyata lebih banyak membawa umat hanya terfokus pada mencari gaya hidup yg “pantas”, sopan, dan sukses, Puritan/kesalehan yg dikembangkan belum melahirkan asosiasi atau persekutuan hidup yg kritis dan militan, bahkan sayangnya yg muncul hanya pengerahan tenaga untuk kesibukan diri sendiri dan cenderung ekslusif. Keadaan ini bisa melapangkan munculnya sikap menerima begitu saja tatanan yg ada ( status Quo), kalaupun ada aksi terhadap kebijakan tertentu hanya bersifat reaksioner. Persoalan sosial, hukum, politik, penekanan kebebasan beragama dan berekspresi tidak dipandang serius, malah seolah-olah diperlukan sebagai ujian iman. Kemenangan iman tidak dilihat dari keterlibatannya dalam menghadapi pokok persoalan, melainkan hanya menanamkan sikap tabah yg pasrah, dan berexodus dalam ceremonial. Sering kali manusia ketika mengalami kesulitan datang kepada Allah melalui pujian “praise & worship”, doa, puasa, dan persembahan.
Hal diatas saya rasa perlu kita ajukan sebagai refleksi iman keberadaan umat Kristen ditengah bangsa yang sedang sakit ini. Sebenarnya saat inilah fungsi strategis umat Kristen sebagai “garam dan terang “ menjadi alatnya menghadirkan Syalom Allah, membawa kebenaran ketika dusta merajalela, membawa keadilan ketika hukum diperdagangkan, menghidupkan kehidupan melalui peningkatan SDM, pemberdayaan ekonomi dan social dsb. Melalui Nats ini, bukannya Nabi menentang ibadah puasa, bukannya Allah tidak menginginkan umatnya beribadah kepadaNya. Ibadah yang dilakukan harus menghasilkan aksi kepedulian sosial dan tidak terjebak antara kesejangan antara iman dan perbuatan. Allah adalah sumber kebenaran dan keadilan, karna itu pengenalan akan Allah akan mendasari kehidupan umat untuk menjadi saluran berkat membawakan kebenaran, keadilan dan kepedulian sosial. Dasar ibadah adalah loyalitas kepada Allah dan loyalitas ini tidak terpisahkan dari pebuatan melakukan kehendakNya. Ibadah harus dilihat sebagai persekutuan dengan Allah untuk memperbaharui melayani sesama. Pengabaian atas ini semua menunjukkan kegagalan umat dalam mengenal Allah (Yes 1:2; Hos 4 :1).
Almarhum Romo Mangunwijaya menyatakan bahwa kita memang dianjurkan jangan memberi “ikan” kepada orang miskin, tetapi pancing, yang membuat mereka mampu mencari ikan sendiri bagi penghidupan mereka. Akan tetapi sistem ekonomi dan struktur ekonomi tertentu sebetulnya sudah membendung sungai dan meracuni air bahkan dihampir segala sungai yang ada ikannya. Monopoli sudah dikokohkan dan dimana-mana sudah didirkan rambu-rambu laranga memancing penuh dengan sanksi yang keras yang memustahilkan orang kecil membawa pancing untuk menangkap ikan sehari-hari mereka. Jadi persoalannya sekarang bukan hanya memberi alat pancing, akan tetapi bagaimana sistem pengaturan lahan pemancingan nafkah itu diatur. Nah disinilah peranan gereja untuk mampu mendampingi, memberdayakan kehidupan masyarakat umum menuju “Indonesia Baru” tersebut. Gereja harus melakukan fungsi pendampingan, pemberdayaan, dan pembangunan menuju Pemulihan Indonesia.
Demikianlah, bahwa kita perlu berefleksi demi tindakan nyata untuk mampu menterjemahkan ibadah kita sebagai bagian dari penguasaan kesadaran diri dan tanggung jawab iman kepada Tuhan terhadap sesama. Tindakan kenabian ini bukanlah suatu pembaharuan yang radikal, melainkan suatu tindakan pemanggilan yang mengakar. Untuk itulah kita perlu berefleksi untuk aksi bersama untuk penyegaran Satu Komitment Spritualitas bersama Yang Memerdekakan, menjadi garam dan terang dimana kita berada. Syalom.