( Tinjauan Kritis terhadap Pola “mengimport” bentuk-bentuk Teologi, Konfessi, Liturgi sampai kepada bentuk struktur organisasi dari Barat Oleh Gereja-Gereja di Indonesia. ) - Telah diterbitkan dalam Buku "Berapalama lagikah kamu akan tidur ?" Oleh : Alumni STT Abdi Sabda -
Adat adalah tata hidup, nilai yang menjadi kompas petunjuk arah hidup masyarakat.[1] Setiap manusia lahir ke dunia sebagai pria dan wanita yang berada dalam adat tertentu. Manusia hidup dengan pikiran dan hati yang terbentuk oleh gagasan, nilai, keyakinan dan mitos yang telah diteruskan padanya dari generasi terdahulu, yang tertuang dalam adat. Adat sekaligus menjadi tanda - ciri khas dan jati diri manusia yang hidup, hal ini artinya, manusia yang hidup sekaligus manusia yang beradat.
Selama ini dalam pertemuan adat dan Injil di Indonesia, ada kecendrungan posisi adat selalu berada dalam posisi “diabaikan”. “Masyarakat/ manusia yg memiliki Adat” dalam kesehariannya mengalami semacam “keterasingan kepribadian” dalam hubungan adat dan Injil didalam menghadapi pergumulan konteks yang berkembang . Padahal Injil hanya dapat dimengerti dalam Konteks. Artinya Injil tidak pernah berada dalam suatu kekosongan, Injil itu bersifat terbuka, dinamis dan dialogis. Hal ini berkaitan dengan pola masuknya Injil yg berbarengan dengan masuknya Kolonial Belanda. Bahwa selama masa kolonialisme Eropa, agama Kristen di Indonesia bersifat Eropa Sentris. Pelayanan Pekabaran Injil pada saat itu disertai dengan jiwa kolonialisme dan westernisasi yang didasari rasa superior oleh pihak Misionari. Pihak zending dengan alasan penyaringan unsur-unsur adat yang sesuai dengan Kekristenan mengambil sikap negatif/ radikal terhadap adat kebudayaan setempat.[2] Ini tampak ketika pada awalnya, masuknya Injil dipengaruhi asumsi akan “ketidakbaikan” budaya penduduk asli sehingga banyak diantara orang Kristen hanya menerima begitu saja pengajaran para misionari tanpa terusik hatinya untuk mempelajari secara lebih mendalam hubungan Injil dan Kebudayaan. Dalam beberapa kasus sering terjadi apabila ada orang dari penduduk pribumi yang menerima ajaran Kristen, orang tersebut mengambil alih kebudayaan “orang yang memperkenalkan Injil padanya” yang didasari wacana berpikir bahwa budaya tersebut adalah Cara Hidup Kristiani. Budaya “penerima” seakan “dipaksakan” untuk menerima unsur dari Barat tanpa memperdulikan makna, mamfaat ataupun konteks pergumulan dan budaya setempat seperti halnya sebagian orang Kristen Yahudi pada abad pertama yang berusaha membuat orang-orang bukan Yahudi menerima bentuk-bentuk budaya Yahudi. Eropanisasi agama Kristen itu pada satu pihak telah mencabut warga jemaat Kristen dari ikatan Kulturalnya.[3] Disamping itu keadaan ini juga membuka pintu bagi sikap paternalistik para pekabar Injil Eropa.
Paham ini menganut bahwa pihak misionaris dari zanding Eropa sebagai “Bapak-Bapak dalam iman” yang harus membimbing orang Kristen dan wajib diikuti-dipatuhi jemaat-jemaat menuju kepada “ KeKristenan yang sesungguhnya “. Dengan demikian bukankah bisa dikatakan bahwa pada awalnya zending dan agama Kristen diIndonesia seolah merupakan bagian dari ekspansi Barat di bidang politik dan kebudayaan.[4]
Akibat “ Westernisasi KeKristenan “
Pola Pendidikan Teologi, Ibadah, Bangunan dan Pakaian Yang Cenderung Bersifat Mengikuti Pola Barat
Sampai sekarang corak Barat dalam kehidupan Gereja-gereja di Indonesia masih terasa. Gereja-gereja di Indonesia sejauh ini belum mengemban tugas teologianya secara serius sebab sebahagian besar masih merasa puas diri dengan menerima jawaban-jawaban siap pakai dari teologi atau Konfesi Barat.[5] Dalam prakteknya, gereja-gereja di Indonesia “mengimport” bentuk-bentuk Teologi, Konfessi, Liturgi, kebiasaan berpakaian, bentuk bangunan, sampai kepada bentuk struktur organisasi dari Barat yang nota bene semua ajaran itu tidak dibuat berdasarkan konteks pergumulan gereja setempat ( Umumnya yg dipakai adalah Teologi-Teologi Luther, Calvin, Wesley, Sedangkan Pengakuan Iman yg dipakai seperti Pengakuan Iman Rasuli, Niceanum, dll ). Dalam hal tata Kebaktian, umumnya tata kebaktian gereja-gereja hasil zanding tidak terlepas dari pola liturgi gereja Barat. Banyak Liturgi Gereja merupakan campuran unsur-unsur liturgi gereja “Uniert” di Jerman dengan unsur liturgi yang berlaku dalam gereja-gereja Presbiterian (Calvinis). Buku nyanyian (ende) juga banyak mengandung kumpulan nyanyian gereja yang dipakai dalam gereja-gereja zaman Reformasi pada abad 17, ke-19 dan ke-20.[6] Warisan zanding ini mampu bertahan hingga kini. Sampai sekarang pada umumnya dalam hal tata ibadah tidak banyak terjadi perubahan. Sekali-sekali ada usaha untuk menciptakan tata kebaktian yang memakai bentuk-bentuk kebudayaan Indonesia . tetapi anggota gereja tidak selalu dapat menerima usaha seperti itu. Belum lagi soal pengajaran Kekristenan yang lekat dengan Teologi dan Konfessi dari Barat. Kemudian dalam hal Pengajaran, didalam semua gereja yang merupakan hasil karya RMG , katekismus Luther menjadi bahan dasar dalam pendidikan agama, Katekismus Heidelberg. Gereja-gereja di Indonesia sebagian besar hingga kini tidak mempunyai konfessi, tata ibadah, katekismus dan ajaran gereja sendiri.[7]
Kalaupun mengaku ada, jika diteliti sebagian adalah import dari Badan Misi awal seperti RMG. Dan sangat disayangkan, bentuk konfessi, ajaran gereja, liturgi ataupun Teologi yang diimport tersebut sampai saat ini dianggap biasa saja sehingga hampir tidak dirasakan lagi sebagai bentuk asing. Padahal semua hal ini tentu mengabaikan sumber-sumber , sejarah, bahasa dan wujud kebudayaan lain dalam suatu komunitas. [8] Tidak jarang ada yang menganggap konstruksi teologi yang mereka miliki sebagai iman sehingga tidaklah mengherankan apabila mereka menganggap sesuatu yang tidak sesuai dengan kostruksi teologi mereka sebagai “penyelewengan iman” atau paling tidak sebagai usaha “menggoncangkan iman”.
Dan pada prakteknya juga, dalam menyikapi suatu pemikiran teologia baru dalam Gereja, terjadi penolakan-penolakan ( Mungkin termasuk penolakan terhadap isi tulisan ini ). Penolakan itu kadang didasarkan atas ketakutan terhadap teologia lain yang mengancam konstruksi mereka sendiri yang sudah lama mereka terima dari barat di masa lalu. Hal-hal yang mereka miliki tidak lagi mereka anggap sebagai kostruksi teologi yang berasal dari refleksi iman di Barat puluhan tahun yang lalu, tetapi sebagai sesuatu yang asli, yang autentik dari timur- yang autentik dari Injil.[9] Contoh lain bentuk Westernisasi yang terwariskan adalah soal bentuk bangunan dan kebiasaan memakai Jas.
Bangunan gereja dibangun menurut gaya Jerman yang sama sekali berbeda dengan gaya bangunan Batak. Juga kebiasaan untuk menempatkan lonceng dimenara-menara Gereja , yang menjadi alat kelengkapan gereja-gereja Jerman, dijadikan juga sebagai persyaratan mutlak untuk sebagian besar gereja di Indonsia. Lama kelamaan Gereja Batak menjadi terbiasa kepada unsur asing itu sehingga mereka beranggapan bahwa sebuah bangunan gereja harus dibangun menurut gaya khas tersebut supaya dapat diakui sebagai gereja yang lengkap. Barulah setelah munculnya kesadaran di tengah-tengah gereja Batak maka mulai dibangun gereja dengan gaya arsitektur Batak.
Dan kalau kita mau menganalisa secara jujur lebih jauh benarkah terbaginya denominasi Gereja di Indonesia sebagian besar adalah sekedar penerusan keterpecahan Teologia Barat yang masuk kepadanya. Jadi jelas, bahwa pada umumnya teologia kita di Indonesia masih dalam tawanan Teologi Jerman, Belanda, Inggris dll. Atau benarkah kita tidak mau membuat teologi dengan tidak mengadopsi utuh Teologi Warisan adalah akibat kecenderungan mencari rasa aman finansial, suatu skandal ketergantungan yang mengancam kemandirian dan tanggung jawab gereja. Bahwa Gereja-gereja di Indonesia sering “takut” mencapai kemandirian dalam hal berteologia dikarenakan sudah terlalu lama bergantung pada lembaga-lembaga Penginjilan dari Barat. Jika ini benar terjadi maka seperti yang dikatakan D.T Niles bahwa Kekristenan di Asia seperti sebuah tanaman dalam Pot. Injil telah dibawa kepada bangsa-bangsa seperti sebuah tanaman dengan potnya adalah kebudayaan Barat. [10]
Apakah Benar Telah terjadi Kesadaran Religius Cangkokan ?
Pola “Import Konfessi ” atau Westernisasi Kekristenan ini bisa membuat Teologi kurang mengakar di kehidupan konkret umat, banyak Teologia Gereja tidak mengakar dan tidak fungsional. Banyak orang-orang Kristen mengalami rasa “kesepian dan keterasingan” dengan budayanya. Serta membuat terkondisinya suatu bentuk keterikatan kita dengan Teologi Barat walaupun pada prakteknya Teologi tersebut tidak menyentuh hati, jiwa umat. Semua hal ini dikatakan H. Kraemer sebagai penghambat dalam kehidupan Gereja dan pada akhirnya melemahkan kesaksian Kekristenan pada masa kini.[11] Dan membuat Gereja-gereja di Asia telah lebih bersifat resolusioner ketimbang revolusionaris, dan dalam pendekatan-pendekatan masalah sosial lebih banyak berkata-kata ketimbang melakukan [12] Kemudian, sampai saat ini bagi orang Kristen dari budaya, nilai-nilai Kekristenan tampaknya hanya sebagai “another system of values” disamping nilai-nilai yang lebih dahulu dihayatinya. Indikator dari hal ini adalah bahwa bagi mayoritas orang Kristen, adat lebih tinggi dari agama. Ungkapan tidak beradat merupakan penghinaan terbesar, dibandingkan dengan ungkapan tidak beragama. Indikator ini secara tidak langsung mengisyaratkan keberadaan gereja selama ini kurang mengakar, umat Kristen banyak yang kurang memiliki dasar teologi yang baik.
Teologi tidak dapat menjangkau kebutuhan yang dirasakan. Sehingga ketidak berakaran teologi selama ini mengakibatkan banyak kekristenan beribadah kepada “Allah yang tidak dikenalnya” akibat pemahaman kekristenan dan dogmanya masih bersifat import, hal ini menempatkan sikap yang membuat bingung warga jemaat Kristen dan bahkan menempatkan jemaat pada konsepsi iman yang mengambang[13].
Pada kenyataannya bentuk-bentuk Teologi yang dipakai seperti Teologi Luther, Calvin, Wesley, sampai kepada kepada teologi-teologi yang dipakai aliran-aliran Kharismatik - Pentakosta, sampai sekarang, walaupun telah hadir di Indonesia beratus tahun lamanya, masih kurang berakar dan sulit dimengerti oleh umat Kristen di Indonesia. [14] Hal ini termasuk poola KeKristenan Kharismatik yg cenderung bersifat Western, yg dapat mencabut manusia dari akar budayanya dalam keKristenan. Yang terjadi bisa membuat hanya sekedar rasa candu kepada ibadah dan bisa menjurus hanya kepada suatu bentuk “Pertobatan batin-internal”. Teologi yg diajarkan jarang telah menjadi daging (inkarnasi) yang artinya teologi tersebut belum sampai meresap masuk kebawah permukaan sejarah, budaya dan kehidupan sehari-hari para wanita, pria di Indonesia. Ini tampak dengan indikasi bahwa dikantong-kantong Kristen masih terdapat banyak “penyakit sosial” dan ketidakberdayaan dalam mengelola Sumber daya Alam” yang dikatakan Herlianto sebagai pecundang.[15] Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena semua ajaran “Import” tadi sering tidak menyentuh persoalan konkret di Indonesia seperti masalah poligami, perdukunan, penyembahan roh nenek moyang, ekonomi rakyat, ketidak adilan, perjuangan HAM, pergaulan bebas, Narkoba, bentrokan kekuasaan dan mamonisme[16] ( sama seperti ketika zaman penjajahan dimana : Agama Kristen sendiri tidak sanggup untuk merombak Indonesia yang berada dibawah pemerintahan kolonial itu menjadi bangsa yang merdeka.[17] Semua itu adalah suatu bentuk kesadaran religius cangkokan, yang perlu segera dipindahkan ketanah biar mengakar sebagai bentuk pengkontekstualisasian iman Kristen dengan menempatkan benih iman didalam budaya yang telah menerimanya.
Gereja dan telogi harus menjelma diri dalam kebudayaan, seperti Kristus ‘menjelma’ dalam wujud seorang suku bangsa Yahudi ( Roma 9:5 ). Ini berarti Teologia gereja tidak dapat tetap menjadi orang asing ditengah suatu kebudayaan, ia harus menjadi anak bangsa itu yang diharapkan sebagai kontak langsung antara iman dan budaya.[18] Ini perlu kita gumulkan karena, masalah teologi adalah sesuatu yang hidup, dan tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang statis, sebagai seperangkat rumusan yang baku dan final.
Keberadaan STT-Seminari atau Lembaga Pendidikan Teologi
Ada kecendrungan bahwa Lembaga Pendidikan Teologi / Seminari, Sekolah Alkitab ( termasuk yg instand dalam segi waktu ) sebagai “wadah pengkajian teologia” selama ini cenderung menggunakan kurikulum yang berorientasi Barat yang kurang menekankan pendidikan teologi dari budaya bangsanya sendiri. Sistem pendidikan seperti ini hanya menghasilkan lulusan-lulusan berorientasi pengulangan teologi Barat sedangkan masalah berteologi secara konteksual, pengembangan pribadi untuk kreatif dan beranalisa sosial kurang ditekankan. Ada kecendrungan, Sekolah-sekolah yang bergerak dibidang pendidikan Teologi sering kali hanya terfokus pada penerjemahan dan perumusan hasil refleksi dari Teolog Barat hal ini tampak dalam kurikulumnya, dan pemakaian buku-buku Teologi dari Eropa, dan pengutipan pendapat para tokoh/ Teolog abad-abad sebelumnya. Mahasiswa banyak “menjunjung tinggi” Alkitab sebagai Firman Allah namun dalam kenyataan yang dijunjung sebenarnya adalah perangkat rumus-rumus dari suatu ajaran dogmatis tertentu dari ayat-ayat Kitab Suci. Kalaupun ada Tafsiran tetapi sangat diwarnai oleh ajaran dogmatis tertentu itu.
Pola pendidikan yang mengikuti pola teologi Barat mempunyai beberapa kelemahan. Perasaan aman atas kepastian yang diperoleh dari rumus-rumus yang diwarisi menyebabkan banyak murid pola pendidikan seperti itu, sadar atau tidak sadar akan bersifat defensif. Mereka tidak lagi berteologi. Yang dilakukan adalah mempertahankan hal-hal yang sudah dipertahankan oleh pendahulu. Dalam lembaga pendidikan yang berpola demikian, kita tentu dapat menerima bahwa disitu memang diajarkan teologi, tetapi orang tidak berani berteologi. Tekanan terletak pada pencetakan pendeta yang menguasai ketrampilan untuk mempertahankan hal-hal yang ada tetapi tidak pada teolog yang berteologi. Hal ini tentu mengherankan kita yang biasa nya langsung menganggap orang-orang yang berada dalam suatu lembaga pendidikan teologi sebagai Teolog. Jadi, seorang mahasiswa teologi atau seorang pengajar teologi belum tentu merupakan seorang teolog.
Dan uniknya lagi ada banyak pemimpin gereja dan jemaat yang hanya menginginkan agar “Lulusan Seminari-STT-Sekolah Alkitab” nya dapat berkotbah, melayani sakramen dan memberitakan pelayanan pastoral kepada anggota jemaatnya sendiri ketimbang “memperlengkapi” para anggotanya menjadi “Teolog garam dan terang” dalam konteks Sosial Budayanya. Anggota-anggota Gereja telah terbiasa sehingga tidak menjadi kaget lagi ketika mahasiswa Teologi kembali keGerejanya dengan tidak membawa gagasan-gagasan baru. Padahal belajar dan mengkaji adalah tugas mahasiswa yang utama sewaktu mereka study teologi. Seorang mahasiswa tidak boleh membuang waktu 4-7 tahun lamanya untuk study kalau nantinya ia akan berkotbah dan mengajarkan teologi yang itu-itu juga yang sudah pernah didapatkannya disekolah minggu. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah benar buku, ajaran dan pemikiran teologi Barat yang dikunsumsi tersebut benar-benar mengisi dan menjawab persoalan konkret kehidupan umat. Bukankah dengan demikian dalam study Teologi dan Kurikulumnya kita tetap terikat pada Barat mengambil kebudayan Barat menjadi milik kita sendiri, sehingga Allah yang kita pelajari adalah tetap seorang Allah turis?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendesak yang perlu penanganan yang sangat hati-hati. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kaburnya makna berteologi saat ini di STT. Untuk ini harus ada perubahan pada kurikulum, peninjauan ulang model yang telah ditetapkan dan mencari alternatif lain dalam metode pendidikan Teologi. [19] Tinjauan Dari Sudut Komunikasi Akan Perlunya suatu Kontekstualisasi Teologi Alkitab ditulis dengan kosa kata konteks sesuai dengan cara berpikir,dan bahasa yang pemaknaannya dimengerti oleh orang pada zamannya. Kita yang memakai teologi dan konfessi Gereja Barat jika hanya memakai bahasa dan kosa kata Barat seperti terjemahan teologi dan Alkitab dari kekristenan Eropa seringkali hal tersebut tidak dimengerti.
Pendekatan ini cenderung mengabaikan kerangka berpikir para pendengar. Maka proses komunikasi akan semakin rumit, dan tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan. Memamfaatkan teori Komunikasi, makna tidak terletak dalam kata-kata atau benda, melainkan dalam diri orang yang berpikir tentang makna itu dan mengungkapkannya dalam bahasa. Mengkomunikasikan Injil berarti menyampaikan suatu berita bukan memindahkan makna kepada orang lain. Makna berarti apa yang dibangun di benak sipenerima berita dan yang ditanggapinya, yang tidak terlepas dari pengaruh budaya. Kesesuaian antara sumber berita dan penerimanya tergantung pada sejauh mana ada kesepakatan-kesesuaian antara sumber dan sipenerima mengenal arti dan lambang budaya yang dipakai. Faktor ideologis yang mencerminkan pandangan dunia dan sistem nilai seseorang serta unsur-unsur budaya yang terdiri dari pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan dalam suatu masyarakat menentukan cara kita memandang kewibawaan, penafsiran dan penggunaan Alkitab. Setiap Gereja yang ada dalam suatu Konteks budaya tertentu harus berkenan berhadapan dengan realita asumsi ini. Sehingga penerima Injil di dalam kehidupan kekristenannya, bukan hanya menghafal teologi dan konfensi Barat, karena teologi dan konfensi Barat itu dibuat untuk menjawab pergumulan konteks berdasarkan cara berpikir, budaya dan sejarah mereka. Dan jika kita terlalu terpengaruh dan tergantung pada tradisi Barat maka kita bisa melupakan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia atau masing-masing budaya.
Kontekstualisasi Teologi sebagai tugas mendesak Dan Kaitannya dengan Penyataan Allah Yang Hadir Dalam Sejarah
Pada dasarnya agama Kristen bukan barang import. Pekabaran Injil seperti yang dilakukan oleh para Misionaris Barat hanyalah membawa kembali mahluk ciptaan kepada Penciptanya yang sempat terpisah akibat kejatuhan manusia kedalam dosa. Hal ini dapat lebih kita pahami dengan memahami pandangan Wittgenstein, bahwa Anda tidak dapat mendengar Allah berbicara kepada orang lain, anda dapat mendengar-Nya hanya kalau Ia berbicara kepada anda” [20] Semua hal ini lah yang dipandang Pieris selama ini kurang diperhitungkan dalam penemuan metodologi ber-Teologia di Asia. [21]
Ditengah latar belakang pergumulan dan perkembangan kondisi jemaat dan masyarakat inilah Yesus tetap menyapa kita dengan pertanyaan “menurut kamu siapakah Aku ini” (Matius 16:13; dan 15). Disinilah jantung terdalam masyarakat Adat ditantang terlibat dalam dialog yang serius dalam Firman Tuhan. Jika orang Adat Kristen tidak henti-hentinya berdoa “Datanglah kerajaan-Mu” ditengah pergumulan mereka, sekarang tibalah saatnya bahwa mereka harus menjabarkan aspek presentis Kerajaan Sorga dalam hubungannya dengan masyarakat dan budaya aslinya, dengan pemikiran dasar bahwa budaya adalah diakui sebagai pemberian Allah sang pencipta dan sarana untuk kemuliaannya.
Manusia kini sama dengan manusia pada masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dahulu kala, sama-sama hidup dalam sejarah, dan mempunyai budaya sendiri dalam kaitan percaya pada Allah yang hidup. Sehingga ketika gereja membahas persoalan Injil dan Adat dalam nuansa kepribadian mereka sendiri mereka tidak lagi berbicara tentang “kebudayaan-kebudayaan lain” tetapi kebudayaan dimana mereka menjadi bagiannya. Jadi haruskah kebudayaan yang telah ada berabad-abad lamanya sesuai dengan identitas suku itu dibuang seperti sampah ? Ini berbahaya, sebab sering kali kita menolak atau meremehkan suatu bentuk kebudayaan karena kita tidak mengetahui dan memahami makna terdalam mengapa adat/ kebudayaan itu muncul dan apa fungsinya. Teologia berasal dari kata Yunani yaitu Theos yang artinya Allah dan logos yang artinya firman atau kata-kata. Jadi Teologia secara harafiah artinya pembicaraan tentang Allah.
Teologi sebagai pengetahuan atas Allah yang bertugas untuk mencari kebenaran, tidak satupun mempunyai keabsahan akhir . Teologi harus terus menerus dibentuk kembali sesuai dengan pemahaman dan pergumulan kekinian dan perkembangan budayanya. Pemahaman tentang Allah bukanlah suatu sistem yang rasional yang tertutup. Namun akan terus memberi tempat kepada akal sebagai perangkat yang paling perlu untuk menghindari dogmatik yang beku. Teologia itu tidak pernah dipahami sebagaimana mestinya oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam realitas konteks tempat lahirnya teologi tersebut. Kita juga harus menggugat, bahwa jika teologi merupakan ekspresi dari iman, apakah tidak mungkin seseorang akan merubah teologi bila dihadapkan dengan suatu situasi yang baru yang lebih berarti dalam imannya. Dalam satu segi Teologi memang harus selalu baru. Teologi yang barulah yang bisa mengekspresikan kuasa Tuhan dalam siatuasi yang baru. Karena zaman berubah, masyarakat berubah, situasi yang timbul berubah, pergumulan berubah, jadi mengapa kita tetap memakai rumusan Teologi yang lama.
Bukankah Teologi berdasarkan rumusan katanya sendiri adalah bersifat Kontekstual. Karena faktor yang membentuknya mencakup pengalaman, penyataan Alkitab, tradisi, kebudayaan dan akal budi manusia. Orang Kristen dari berbagai tempat dan waktu mempunyai tanggung jawab untuk menguraikan pesan keselamatan Injil dengan cara menjadikannya “masuk akal” dalam budaya mereka sendiri. Setiap Gereja yg lahir dari masyarakat budaya tertentu harus dapat sepenuhnya bertanggungjawab menjawab panggilan Kristus dengan tidak menciplak contoh pertobatan asing dan hanya bicara soal sorga. Tipe transformasi adalah tipe yang tepat untuk berteologi Kontekstual. [22] Dalam posisi ini, budaya menjadi sarana dan kekayaan Berteologi, sehingga teologi dapat berakar kuat dan berdampak bagi masyarakat konteks. Teologi Kontekstual adalah kontekstualisasi berita Injil, dimana yang terjadi bukan hanya sekedar pempribumian berita kesaksian “asing” dari Barat, bukan pula semata-mata revolusionalisasi masyarakat lama. Kontekstualisasi Injil lebih berarti merupakan transformasi terus menerus setiap masyarakat oleh Injil [23] Untuk itu cara berteologi “dari luar Konteks” sudah seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan cara “bergerak dari dalam”. Suatu cara yang mengenal konteks secara tepat dan jujur. Dengan melihat ketiga hasil itu, maka dapat dikembangkan bahwa setiap Budaya harus memikirkan hubungan antara Injil dengan konteks budaya mereka sendiri, karena Konteks sangat berpengaruh pada makna. Mereka harus membiarkan Injil menilai tafsiran dan gaya hidup mereka sendiri yang memang dipengaruhi oleh budaya. Sehingga budaya menjadi sarana dan kekayaan dalam berteologia, sehingga teologi berakar kuat dimana Injil berada. Ini artinya perlu suatu kontekstualisasi Teologi sebagai hasil pertemuan antara Injil dan kebudayaan. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah bagi setiap mahasiswa Teologia. Teologi yang Hidup lahir dari perjumpaan dan Pergumulan Injil dengan Lingkungan dimana ia bertemu dan bersentuhan dengan inti eksistensi budaya, karena manusia berjumpa dengan Allah yang diberitakan Injil bukan dengan kehampaan melainkan sebagai pria atau wanita yang hidup dengan pikiran dan hati yang telah terbentuk oleh gagasan, nilai, keyakinan dan mitos yang telah diteruskan kepadanya dari generasi terdahulu. Sehingga, Teologia perlu lahir dari pengalaman hidup orang beriman kepada Kristus memang harus menjadi kontekstual. Karena teologi sebagai pembicaraan tentang Allah melalui kata-kata bisa mempunyai arti yang berbeda antar suatu budaya dengan budaya lain. Teologi ini harus timbul dari budaya yang kesadarannya telah terbebas kerena budaya mempunyai begitu banyak nilai-nilai dan sumberdaya yang sangat berharga untuk kebebasan dan pemberdayaan yang selama ini diabaikan, seperti Falsafah hidup, Ulaon (pesta) adat, cerita rakyat, tarian dan pola kebiasaan cara mengambil keputusan. Karena bukankah Karl Barth, Luther, Calvin, Wesley dan teolog lainnya juga berteologia dari budaya dan cara berpikir mereka sendiri para misonaris adalah wakil budaya bangsanya.
Orang-orang Barat dalam berteologi bertolak dari latar belakang konteks yang berbeda dengan cara berpikir dan falsafah hidup orang Asia. Tuhan Yesus sendiri dalam berteologia merefleksikannya dalam gambaran , simbol, perumpamaan budayanya yaitu Yahudi. Dengan demikian ia bersatu dengan umat Yahudi dan secara alamiah berbicara dalam bahasa dan adat istiadat mereka secara kritis. [24]. Metode yang dipakai untuk berteologia didasarkan oleh pengertian manusia sebagai “imago Dei”. Dengan memahami dirinya sebagai “imago dei” maka manusia ditantang untuk bertanya tentang dirinya dengan melihat konteks dan mencari tahu apa kehendak Allah sebagai hal yang harus dilakukannya dalam relasinya terhadap alam dan sesama dalam konteks. Jadi dalam hal ini manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan hubungan vertikal dan horizontal.
Apabila kebudayaan dan usaha kreatifitas manusia ditiadakan begitu saja seolah-olah manusia tidak memiliki kebudayaannya sendiri. Upaya Yang Harus dilakukan dalam STT sebagai “ Mesin Pencetak Teologi Kontekstual “ STT Abdi Sabda harus menyadari kenyataan ini, dan memberikan kritik tajam atas kelambanan semua dalam melakukan tugas kemandirian ini. STT Abdi sabda sebagai salah satu Lembaga Pendiikan Teologi, harus bertanggung jawab untuk memprakarsai terjadinya pembaharuan apabila doktrin dan konfessi maupun teologia “Lama” tidak lagi secara utuh mengakomodir dan mencakup cara berpikir konteks masyarakat yang berkembang terhadap situasi dan permasalahan yang juga berkembang. Pada satu sisi memakai Konfessi Barat dalam pengajaran Gereja adalah wajar saja. Akan tetapi apabila kemudian STT atau gereja-gereja di Indonesia lalu melihat tugas dan panggilannya akan misi yang dibebankan Allah kepadanya adalah juga sebagaimana tugas dan panggilan Gereja-gereja di Barat, maka disitulah masalahnya. Sebab, apakah gereja-gereja di Indonesia lalu harus menjadi sama dengan gereja-gereja di Barat dalam pengertian “dia hanya menjadi gereja-gereja Barat yang ada di Indonesia” .
STT adalah bagian dari Gereja di Indonesia, yang dipanggil dan diutus untuk bersaksi dalam Konteks Indonesia dengan tidak bisa terlepas dari sudut budayanya. Gereja harus dimampukan menemukan dan mempraktekkan kepribadian mereka, menemukan kesatuan yang mengikat antara Injil dan budaya. Tidak ada gereja yang benar-benar dapat menghindari tanggung jawab ini, termasuk Gereja-Gereja yg mengelola STT atau yg mengirimkan mahasiswanya di STT Abdi Sabda. Yang dituntut dari teologi Barat dan dunia ketiga adalah bahwa mereka mengikuti pola proses teologi Alkitab dan menghasilkan Teologi yang akan memperlihatkan masalah, cara berpikir dan ungkapan yang sesuai dengan konteks dimana teologi itu muncul. Seperti Yesus Kristus Teolog harus “duduk” diantara masyarakat “mendengarkan mereka dan bertanya kepada mereka (Lukas 2: 46) melalui pendekatan dan keterlibatan dalam hidup masyarakat, mengerti apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka rasakan. Dan apabila sang teolog menyampaikan jawaban Alkitabiah, jawaban itu benar-benar menanggapi pertanyaan mereka. Jika Teolog ingin mengharapkan pendengar atau masyarakat menanggapi Injil secara serius, teolog juga harus serius menghadapi umat, menanggapi keyakinan dan tradisi yang telah membentuk mereka. Setiap orang yang telah memahami asumsi ini harus tetap menyadari bahwa ia berada dalam suatu situasi yang baru sehingga ia terus ditantang untuk berteologia. [25] Gagasan bahwa Penyataan berhenti ketika kitab dituliskan terakhir dalam Alkitab selesai ditulis dan dikanonkan dan bahwa sesudah itu Allah hanya menerangi dan menyoroti manusia, perlu dipertanyakan.[26] Teologi Kontekstualisasi adalah perpaduan teologi Kristen dengan macam-macam filsafat dan praktek keagamaan yang punya akar dalam budaya tertentu. Jika kekristenan di Barat bisa memakai tradisi Yahudi, filsafat Yunani, Hukum-hukum Roma dan eksistensialis Jerman dan Prancis, mengapa Kekristenan di Indonesia tidak bisa “berkontekstualisasi ” dengan filsafat Batak, Karo, Nias, Mentawai, Jawa atau filsafat dari konteks budayanya sendiri.
Apakah Allah tidak bisa berbicara melalui konteks budaya di Indonesia sebagaimana ia berbicara melalui konteks Amerika dan Eropa. Allah kita adalah Allah yang hidup yang mempunyai kehendak bebas dan bukan semata-mata adalah Allah dari suatu golongan umat tertentu. Orang Kristen sering membuat kekeliruan yang sama seperti yang dilakukan Israel dalam Perjanjian Lama. Mereka terlalu ekslusif memfokuskan Allah selaku Allah dari perjanjian. Takkala Israel menitik beratkannya secara berat sebelah, maka kebenaran Allah menjadi ilah suatu suku, semacam berhala lokal. Ia menjadi Yahweh, ilah orang Israel yang kedudukannya tidak berbeda dengan Khemos ilah orang Moab; Milkom ilah orang Amon. Bukankah Alkitab mulai dengan bangsa-bangsa bukan dengan Israel., dengan Adam dan bukan Abraham, dengan ciptaan bukan Perjanjian. Ketika Allah memilih Israel, ia tidak mulai melupakan bangsa-bangsa lain. Allah berkuasa atas semua bangsa di muka bumi. Dia membentuk hati mereka sekalian dan memperhatikan segala pekerjaan mereka (Mazmur 33:13-15).
Semua asumsi ini mengisyaratkan agar tidak ada sifat ekslusifitas dalam berteologi. Karena hal itu adalah suatu pengkerdilan perhatian dan kuasa Allah. Karena itu ketergantungan Teologi dan kekerdilan wawasan kita harus kita ubah. Dan ini berkaitan dengan penilaian kita terhadap manusia, bahwa semakin tinggi manusia itu kita nilai, semakin besar minat kita melayani kepentingannya selaku gambar dan rupa Allah yg terdiri dari tubuh-jiwa dan roh. Sehingga dengan demikian akan lahir Kontekstualisasi Teologi dengan tidak mengabaikan konteks budaya dan peka terhadap kebutuhan umat dengan memperhitungkan proses sekularisasi, permasalahan konkret umat dan tetap setia pada nilai-nilai kebenaran Alkitabiah. Jadi apa yang dibutuhkan sekarang adalah jenis pemikiran teologi yang melibatkan persoalan masa kini dan budaya konteks yang membuat Injil dapat lebih dipahami oleh manusia secara mendalam. Namun itu tidak berarti bahwa Berteologi secara lokal/ sempit terbatas hanya kepada tempatnya sendiri saja tanpa memperhatikan sesama orang beriman lainnya ditempat lain. Teologi harus bersifat Alkitabiah dan lebih dari sekedar pernyataan spekulatif. Apabila hal ini terjadi, Kekristenan di Indonesia sebagai hasil Pekabaran Injil Misionari Barat dapat menanggalkan gagasan bahwa ia bergantung pada Barat dan kini telah menyatakan diri berjati diri Indonesia . [27] Penutup Demikianlah dengan titik berangkat melihat permasalahan kehidupan masyarakat dalam situasi konkrit, dimana gereja dalam berteologi hendaknya tidak lagi harus membatasi diri pada masalah abstrak selayaknya kita dapat bertanya “ Masih Adakah Yang di harapkan dari STT Abdi Sabda untuk menghasilkan Lulusan Yang mampu Berteologi Kontekstual “. Pertanyaan ini harus di jawab dengan serius dari kita. Pemberdayaan nilai-nilai budaya dan teologia Kontekstual ini dirasakan dapat menjadikan gereja bersifat fungsional dalam kehidupan jemaat. Sehingga jemaat nantinya dibebaskan dari belenggu “keterasingan” menjadi mampu berdaya, berencana dan bertindak dimasa depan. Untuk itu Sekolah Tinggi Teologia ( STT ), Seminari atau Lembaga Pendidikan sejenisnya sebagai wadah pendidikan Teologi bagi mahasiswa harus lebih banyak mencantumkan muatan lokalnya dalam kurikulum pendidikannya. Wadah-wadah pendidikan Teologi itu diharapkan menjadi wadah pengkajian terhadap persoalan konteks dan mencari jawaban apa kehendak Allah dalam teks, sehingga terus terjadi pola Hermeneutika Injil yang dinamis. Injil Yang Bersifat Universal Sekaligus Kontekstual. Karena Kontekstualisasi merupakan bagian dari kemandirian gereja dan kemandirian STT Abdi Sabda, Syalom.
Happy Pakpahan, STh Ketua Senat Mahasiswa Jur. Teologia Priode 1999-2000
[1] Seperti kita ketahui, ada tiga wujud kebudayaan yang jika kita cerminkan pada kebudayaan Batak yaitu; 1) Wujud Ideal : Sebagai wujud ide, gagasan, norma seperti mita penciptaan, pandangan terhadap leluhur, gagasan tentang alam, marga, gagasan tentang kerja, pesta, falsafah Dalihan Natolu serta sanksi yang dikenakan pada orang yang melanggar adat, dll. 2). Wujud Kelakuan : Sebagai wujud aktifitas kelakuan pola manusia dalam masyarakat seperti sikap hormat pada orang tua, gotong royong (konsep kerja) dimasyarakat, pesta, kebiasaan onan, dll. 3) Wujud Fisik : Wujud benda hasil kerja manusia seperti ulos, rumah, ukiran, gondang dll.
[2] Anggapan ini dapat kita lihat pada sikap misionaris sebelum Perang Dunia II . Lebih jelas dapat dibaca dalam buku Singgih, E, G, Berteologi Dalam Konteks, Jogyakarta, BPK GM – Kanisius, 2000, pada hlm. 88-112
[3] Bnd. Hutauruk, J. R, Kemandirian Gereja, Jakarta, BPK Gunung Mulia 1009 ; hlm. 49
[4] End, Van den Ragi Carita, Jakarta, BPK Gunung Mulia;1996 hlm. 296-297
[5] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 46 dan xxv.
[6] Dalam hal nyanyian memang terjadi perubahan dimana pada tahun 1980-an sejumlah ahli musik di Jakarta menghasilkan kumpulan lagu yang terangkum dalam Kidung Jemaat dimana terdapat sejumlah nyanyian yang memakai lagu Indonesia asli.
[7] Bandingkan dengan isi buku karya, Porter, R. D, Katekisasi Masa Kini, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1994; hlm 340
[8] Kenyataan bahwa Yesus yang lahir di Asia itu yang telah dibawa ke Barat beratus-ratus tahun lamanya dan dibawa kembali ke Asia dalam “pakaian” bukan Asia telah tertalu tebal sehingga sulit menembus budaya Asia yang sangat beraneka ragam tersebut. Rubianto, Vitus, Paradigma Asia : Pertautan Kemiskinan Dan Kereligiusan Dalam Teologia Aloysius Pieris, Yogyakarta, Kanisius; 1996; hlm. 51
[9] Bnk. Singgih , E, G, Berteologi Dalam Konteks, Yogya, BPK Gunung Mulia – Kanisius; Thn. 2000; hlm. 31
[10] lih. Ariarijah, Wesley, S Injil dan Budaya, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1997; hlm. 181
[11] Riemer, G ; Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF;1995 ; hlm. 169 [12] lih. Buku Teologia Crucis di Asia , karya A.A Yewangoe, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 hlm. 35. Lebih jauh Hesselgrave juga mengatakan bahwa pada saat ini, di Asia terjadi semacam mentalitas Ghetto yang menghalangi orang-orang Asia untuk menanggapi kepentingan budaya mereka . Lih. Hesselgrave dan Rommen, Edward Teologi Kontekstual : Makna, Metode dan Model, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 ,hlm. 94 [13] Inilah yang dikatakan Sebastian Kappen bahwa kita jarang (tidak pernah) bertemu dengan Allah yang telanjang. Dia tampil dihadapan kita berpakaian yang kita sendiri kenakan kepadanya dengan teologi Barat, karena itu perlu segera menyingkapkan kerudung yang menutupi wajahnya sebagaimana ia menyibakkan penutup mata kita sendiri “.[13] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 340 dan hlm. 6. [14] Riemer,G, Op. Cit .hlm. 168 [15] Lebih jelas dapat dibaca buku Herlianto berjudul Pelayanan perkotaan, Bandung, YABINA 1998 [16] Bukan berarti bahwa semua tema itu tidaklah penting, dan kita tidak perlu belajar dari teologi Barat. Tetapi persoalannya adalah jangan mengabaikan hakikat Kekristenan sebagai umat yang berhubungan dengan Allah yang hidup dan mempunyai corak berpikir sendiri. [17] lih. Hutauruk, J.R, Kemandirian Gereja BPK GM , Jakarta, 1993 hlm. XV [18] Pendapat Koyama yang dikutip Elwood, Douglas, J.Teologi Kristen Asia : Tema-Tema yang Tampil Ke Permukaan terj. B.A.Abednego, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992; hlm xxvii [19] Pola pengajaran terhadap bidang studi agama-agama adalah pola antitese dimana untuk menjelaskan keyakinan dan pendirian sendiri harus dimulai dengan memaparkan kebobrokan-kebobrokan pihak lain dilihat dari kaca mata sendiri..Si A. Demikian, si B demikian, tetapi kita tidak demikian lih ibid hlm. 135 [20] Adams, Daniel J, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992 hlm 51 [21] lih. Rubianto, Vitus, S.X, Op. Cit hlm 34. [22] Mengambil Posisi Terhadap Pandangan Richard Niebuhr Tentang Tipe Hubungan Injil Dan Budaya, dimana Niebuhr menggambarkan ada 5 sikap Tipe Hubungan antara Injil dan Kebudayaan yaitu : 1. Injil Bertentangan (Konfrontasi) dengan Kebudayaan ; 2. Injil sesuai dengan kebudayaan ; 3. Injil mengatasi kebudayaan ; 4. Injil berjalan sejajar dengan kebudayaan ; 5. Injil mentransformasikan Kebudayaan. [23] Memang telah muncul kesadaran dengan model inkulturasi, proses dimana unsur-unsur baru diperhadapkan pada suatu konteks budaya tertentu melalui interaksi antar budaya. Inkulturasi disini dipahami dalam arti pihak luar sebagai pengeksport membawa masuk sesuatu yg baru dan asing. Dan melalui rupa-rupa upaya dan strategi, “yang baru” itu dibungkus dan ditawarkan dengan cara yang dapat diterima oleh budaya setempat. Pandangan ini bertolak dari prakarsa pihak “pengeksport” sedangkan dari pihak “pengimport” Inkulturasi adalah proses pengambil alihan aspek-aspek baru secara kreatif dan aktif oleh budaya setempat, diubah dan disesuaikan dengan kategori-kategori yang tersedia dengan budaya pengimport, berkembang dengan cara memberi tempat pada unsur baru tersebut. Yang terjadi disini adalah bahwa betapapun pihak-pihak pengeksport berupaya menguasai makna yang diberikan pada unsur baru itu, toh pada akhirnya paling-paling dia bisa menetapkan kulit luar saja, sebab makna batiniah ditentukan oleh budaya lokal sendiri, sehingga model inkulturasi kurang tepat dalam persoalan pengakaran teologi seperti yg dialami oleh suku . [24] Teologi Paulus sendiri harus diakui tidak membahas banyak masalah yang hangat pada masa kini baik di Barat maupun di Dunia ketiga. [25] Akan tetapi disisi lain kita juga hendaknya tetap menghormati teolog-teolog yang telah bergumul dengan masalah-masalah teologia selama berabad-abad yang lalu. Kita tidak boleh menyangkal jasa dan sumbangan pemikiran para Teolog pendahulu kita. Apabila kita tidak dapat belajar dari apa yang telah mereka wariskan kepada kita berarti kita “menghina” kepala gereja yang membimbing mereka karena Roh Allahlah yang menerangi terciptanya suatu Teologi. [26] Bnd Pendapat C.H Craff, dalam buku Heselgrave, hlm 83 [27] Bnd. Pendapat Charles W. Forman yang dikutip Douglass J. Ellwod, Op. Cit hlm xx-xxi Gereja di Asia sudah mulai merefleksikan makna menjadi Gereja dalam konteks mereka sendiri, seperti di Korea, mereka dalam upaya berteologia menempatkan minjung (rakyat yang menderita) sebagai pokok refleksi. Kemudian teologi Kazoh Kitamori dalam teologi Allah yang menderita; Kosuke Koyama dalam Teologi Kerbau dll.
Selama ini dalam pertemuan adat dan Injil di Indonesia, ada kecendrungan posisi adat selalu berada dalam posisi “diabaikan”. “Masyarakat/ manusia yg memiliki Adat” dalam kesehariannya mengalami semacam “keterasingan kepribadian” dalam hubungan adat dan Injil didalam menghadapi pergumulan konteks yang berkembang . Padahal Injil hanya dapat dimengerti dalam Konteks. Artinya Injil tidak pernah berada dalam suatu kekosongan, Injil itu bersifat terbuka, dinamis dan dialogis. Hal ini berkaitan dengan pola masuknya Injil yg berbarengan dengan masuknya Kolonial Belanda. Bahwa selama masa kolonialisme Eropa, agama Kristen di Indonesia bersifat Eropa Sentris. Pelayanan Pekabaran Injil pada saat itu disertai dengan jiwa kolonialisme dan westernisasi yang didasari rasa superior oleh pihak Misionari. Pihak zending dengan alasan penyaringan unsur-unsur adat yang sesuai dengan Kekristenan mengambil sikap negatif/ radikal terhadap adat kebudayaan setempat.[2] Ini tampak ketika pada awalnya, masuknya Injil dipengaruhi asumsi akan “ketidakbaikan” budaya penduduk asli sehingga banyak diantara orang Kristen hanya menerima begitu saja pengajaran para misionari tanpa terusik hatinya untuk mempelajari secara lebih mendalam hubungan Injil dan Kebudayaan. Dalam beberapa kasus sering terjadi apabila ada orang dari penduduk pribumi yang menerima ajaran Kristen, orang tersebut mengambil alih kebudayaan “orang yang memperkenalkan Injil padanya” yang didasari wacana berpikir bahwa budaya tersebut adalah Cara Hidup Kristiani. Budaya “penerima” seakan “dipaksakan” untuk menerima unsur dari Barat tanpa memperdulikan makna, mamfaat ataupun konteks pergumulan dan budaya setempat seperti halnya sebagian orang Kristen Yahudi pada abad pertama yang berusaha membuat orang-orang bukan Yahudi menerima bentuk-bentuk budaya Yahudi. Eropanisasi agama Kristen itu pada satu pihak telah mencabut warga jemaat Kristen dari ikatan Kulturalnya.[3] Disamping itu keadaan ini juga membuka pintu bagi sikap paternalistik para pekabar Injil Eropa.
Paham ini menganut bahwa pihak misionaris dari zanding Eropa sebagai “Bapak-Bapak dalam iman” yang harus membimbing orang Kristen dan wajib diikuti-dipatuhi jemaat-jemaat menuju kepada “ KeKristenan yang sesungguhnya “. Dengan demikian bukankah bisa dikatakan bahwa pada awalnya zending dan agama Kristen diIndonesia seolah merupakan bagian dari ekspansi Barat di bidang politik dan kebudayaan.[4]
Akibat “ Westernisasi KeKristenan “
Pola Pendidikan Teologi, Ibadah, Bangunan dan Pakaian Yang Cenderung Bersifat Mengikuti Pola Barat
Sampai sekarang corak Barat dalam kehidupan Gereja-gereja di Indonesia masih terasa. Gereja-gereja di Indonesia sejauh ini belum mengemban tugas teologianya secara serius sebab sebahagian besar masih merasa puas diri dengan menerima jawaban-jawaban siap pakai dari teologi atau Konfesi Barat.[5] Dalam prakteknya, gereja-gereja di Indonesia “mengimport” bentuk-bentuk Teologi, Konfessi, Liturgi, kebiasaan berpakaian, bentuk bangunan, sampai kepada bentuk struktur organisasi dari Barat yang nota bene semua ajaran itu tidak dibuat berdasarkan konteks pergumulan gereja setempat ( Umumnya yg dipakai adalah Teologi-Teologi Luther, Calvin, Wesley, Sedangkan Pengakuan Iman yg dipakai seperti Pengakuan Iman Rasuli, Niceanum, dll ). Dalam hal tata Kebaktian, umumnya tata kebaktian gereja-gereja hasil zanding tidak terlepas dari pola liturgi gereja Barat. Banyak Liturgi Gereja merupakan campuran unsur-unsur liturgi gereja “Uniert” di Jerman dengan unsur liturgi yang berlaku dalam gereja-gereja Presbiterian (Calvinis). Buku nyanyian (ende) juga banyak mengandung kumpulan nyanyian gereja yang dipakai dalam gereja-gereja zaman Reformasi pada abad 17, ke-19 dan ke-20.[6] Warisan zanding ini mampu bertahan hingga kini. Sampai sekarang pada umumnya dalam hal tata ibadah tidak banyak terjadi perubahan. Sekali-sekali ada usaha untuk menciptakan tata kebaktian yang memakai bentuk-bentuk kebudayaan Indonesia . tetapi anggota gereja tidak selalu dapat menerima usaha seperti itu. Belum lagi soal pengajaran Kekristenan yang lekat dengan Teologi dan Konfessi dari Barat. Kemudian dalam hal Pengajaran, didalam semua gereja yang merupakan hasil karya RMG , katekismus Luther menjadi bahan dasar dalam pendidikan agama, Katekismus Heidelberg. Gereja-gereja di Indonesia sebagian besar hingga kini tidak mempunyai konfessi, tata ibadah, katekismus dan ajaran gereja sendiri.[7]
Kalaupun mengaku ada, jika diteliti sebagian adalah import dari Badan Misi awal seperti RMG. Dan sangat disayangkan, bentuk konfessi, ajaran gereja, liturgi ataupun Teologi yang diimport tersebut sampai saat ini dianggap biasa saja sehingga hampir tidak dirasakan lagi sebagai bentuk asing. Padahal semua hal ini tentu mengabaikan sumber-sumber , sejarah, bahasa dan wujud kebudayaan lain dalam suatu komunitas. [8] Tidak jarang ada yang menganggap konstruksi teologi yang mereka miliki sebagai iman sehingga tidaklah mengherankan apabila mereka menganggap sesuatu yang tidak sesuai dengan kostruksi teologi mereka sebagai “penyelewengan iman” atau paling tidak sebagai usaha “menggoncangkan iman”.
Dan pada prakteknya juga, dalam menyikapi suatu pemikiran teologia baru dalam Gereja, terjadi penolakan-penolakan ( Mungkin termasuk penolakan terhadap isi tulisan ini ). Penolakan itu kadang didasarkan atas ketakutan terhadap teologia lain yang mengancam konstruksi mereka sendiri yang sudah lama mereka terima dari barat di masa lalu. Hal-hal yang mereka miliki tidak lagi mereka anggap sebagai kostruksi teologi yang berasal dari refleksi iman di Barat puluhan tahun yang lalu, tetapi sebagai sesuatu yang asli, yang autentik dari timur- yang autentik dari Injil.[9] Contoh lain bentuk Westernisasi yang terwariskan adalah soal bentuk bangunan dan kebiasaan memakai Jas.
Bangunan gereja dibangun menurut gaya Jerman yang sama sekali berbeda dengan gaya bangunan Batak. Juga kebiasaan untuk menempatkan lonceng dimenara-menara Gereja , yang menjadi alat kelengkapan gereja-gereja Jerman, dijadikan juga sebagai persyaratan mutlak untuk sebagian besar gereja di Indonsia. Lama kelamaan Gereja Batak menjadi terbiasa kepada unsur asing itu sehingga mereka beranggapan bahwa sebuah bangunan gereja harus dibangun menurut gaya khas tersebut supaya dapat diakui sebagai gereja yang lengkap. Barulah setelah munculnya kesadaran di tengah-tengah gereja Batak maka mulai dibangun gereja dengan gaya arsitektur Batak.
Dan kalau kita mau menganalisa secara jujur lebih jauh benarkah terbaginya denominasi Gereja di Indonesia sebagian besar adalah sekedar penerusan keterpecahan Teologia Barat yang masuk kepadanya. Jadi jelas, bahwa pada umumnya teologia kita di Indonesia masih dalam tawanan Teologi Jerman, Belanda, Inggris dll. Atau benarkah kita tidak mau membuat teologi dengan tidak mengadopsi utuh Teologi Warisan adalah akibat kecenderungan mencari rasa aman finansial, suatu skandal ketergantungan yang mengancam kemandirian dan tanggung jawab gereja. Bahwa Gereja-gereja di Indonesia sering “takut” mencapai kemandirian dalam hal berteologia dikarenakan sudah terlalu lama bergantung pada lembaga-lembaga Penginjilan dari Barat. Jika ini benar terjadi maka seperti yang dikatakan D.T Niles bahwa Kekristenan di Asia seperti sebuah tanaman dalam Pot. Injil telah dibawa kepada bangsa-bangsa seperti sebuah tanaman dengan potnya adalah kebudayaan Barat. [10]
Apakah Benar Telah terjadi Kesadaran Religius Cangkokan ?
Pola “Import Konfessi ” atau Westernisasi Kekristenan ini bisa membuat Teologi kurang mengakar di kehidupan konkret umat, banyak Teologia Gereja tidak mengakar dan tidak fungsional. Banyak orang-orang Kristen mengalami rasa “kesepian dan keterasingan” dengan budayanya. Serta membuat terkondisinya suatu bentuk keterikatan kita dengan Teologi Barat walaupun pada prakteknya Teologi tersebut tidak menyentuh hati, jiwa umat. Semua hal ini dikatakan H. Kraemer sebagai penghambat dalam kehidupan Gereja dan pada akhirnya melemahkan kesaksian Kekristenan pada masa kini.[11] Dan membuat Gereja-gereja di Asia telah lebih bersifat resolusioner ketimbang revolusionaris, dan dalam pendekatan-pendekatan masalah sosial lebih banyak berkata-kata ketimbang melakukan [12] Kemudian, sampai saat ini bagi orang Kristen dari budaya, nilai-nilai Kekristenan tampaknya hanya sebagai “another system of values” disamping nilai-nilai yang lebih dahulu dihayatinya. Indikator dari hal ini adalah bahwa bagi mayoritas orang Kristen, adat lebih tinggi dari agama. Ungkapan tidak beradat merupakan penghinaan terbesar, dibandingkan dengan ungkapan tidak beragama. Indikator ini secara tidak langsung mengisyaratkan keberadaan gereja selama ini kurang mengakar, umat Kristen banyak yang kurang memiliki dasar teologi yang baik.
Teologi tidak dapat menjangkau kebutuhan yang dirasakan. Sehingga ketidak berakaran teologi selama ini mengakibatkan banyak kekristenan beribadah kepada “Allah yang tidak dikenalnya” akibat pemahaman kekristenan dan dogmanya masih bersifat import, hal ini menempatkan sikap yang membuat bingung warga jemaat Kristen dan bahkan menempatkan jemaat pada konsepsi iman yang mengambang[13].
Pada kenyataannya bentuk-bentuk Teologi yang dipakai seperti Teologi Luther, Calvin, Wesley, sampai kepada kepada teologi-teologi yang dipakai aliran-aliran Kharismatik - Pentakosta, sampai sekarang, walaupun telah hadir di Indonesia beratus tahun lamanya, masih kurang berakar dan sulit dimengerti oleh umat Kristen di Indonesia. [14] Hal ini termasuk poola KeKristenan Kharismatik yg cenderung bersifat Western, yg dapat mencabut manusia dari akar budayanya dalam keKristenan. Yang terjadi bisa membuat hanya sekedar rasa candu kepada ibadah dan bisa menjurus hanya kepada suatu bentuk “Pertobatan batin-internal”. Teologi yg diajarkan jarang telah menjadi daging (inkarnasi) yang artinya teologi tersebut belum sampai meresap masuk kebawah permukaan sejarah, budaya dan kehidupan sehari-hari para wanita, pria di Indonesia. Ini tampak dengan indikasi bahwa dikantong-kantong Kristen masih terdapat banyak “penyakit sosial” dan ketidakberdayaan dalam mengelola Sumber daya Alam” yang dikatakan Herlianto sebagai pecundang.[15] Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena semua ajaran “Import” tadi sering tidak menyentuh persoalan konkret di Indonesia seperti masalah poligami, perdukunan, penyembahan roh nenek moyang, ekonomi rakyat, ketidak adilan, perjuangan HAM, pergaulan bebas, Narkoba, bentrokan kekuasaan dan mamonisme[16] ( sama seperti ketika zaman penjajahan dimana : Agama Kristen sendiri tidak sanggup untuk merombak Indonesia yang berada dibawah pemerintahan kolonial itu menjadi bangsa yang merdeka.[17] Semua itu adalah suatu bentuk kesadaran religius cangkokan, yang perlu segera dipindahkan ketanah biar mengakar sebagai bentuk pengkontekstualisasian iman Kristen dengan menempatkan benih iman didalam budaya yang telah menerimanya.
Gereja dan telogi harus menjelma diri dalam kebudayaan, seperti Kristus ‘menjelma’ dalam wujud seorang suku bangsa Yahudi ( Roma 9:5 ). Ini berarti Teologia gereja tidak dapat tetap menjadi orang asing ditengah suatu kebudayaan, ia harus menjadi anak bangsa itu yang diharapkan sebagai kontak langsung antara iman dan budaya.[18] Ini perlu kita gumulkan karena, masalah teologi adalah sesuatu yang hidup, dan tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang statis, sebagai seperangkat rumusan yang baku dan final.
Keberadaan STT-Seminari atau Lembaga Pendidikan Teologi
Ada kecendrungan bahwa Lembaga Pendidikan Teologi / Seminari, Sekolah Alkitab ( termasuk yg instand dalam segi waktu ) sebagai “wadah pengkajian teologia” selama ini cenderung menggunakan kurikulum yang berorientasi Barat yang kurang menekankan pendidikan teologi dari budaya bangsanya sendiri. Sistem pendidikan seperti ini hanya menghasilkan lulusan-lulusan berorientasi pengulangan teologi Barat sedangkan masalah berteologi secara konteksual, pengembangan pribadi untuk kreatif dan beranalisa sosial kurang ditekankan. Ada kecendrungan, Sekolah-sekolah yang bergerak dibidang pendidikan Teologi sering kali hanya terfokus pada penerjemahan dan perumusan hasil refleksi dari Teolog Barat hal ini tampak dalam kurikulumnya, dan pemakaian buku-buku Teologi dari Eropa, dan pengutipan pendapat para tokoh/ Teolog abad-abad sebelumnya. Mahasiswa banyak “menjunjung tinggi” Alkitab sebagai Firman Allah namun dalam kenyataan yang dijunjung sebenarnya adalah perangkat rumus-rumus dari suatu ajaran dogmatis tertentu dari ayat-ayat Kitab Suci. Kalaupun ada Tafsiran tetapi sangat diwarnai oleh ajaran dogmatis tertentu itu.
Pola pendidikan yang mengikuti pola teologi Barat mempunyai beberapa kelemahan. Perasaan aman atas kepastian yang diperoleh dari rumus-rumus yang diwarisi menyebabkan banyak murid pola pendidikan seperti itu, sadar atau tidak sadar akan bersifat defensif. Mereka tidak lagi berteologi. Yang dilakukan adalah mempertahankan hal-hal yang sudah dipertahankan oleh pendahulu. Dalam lembaga pendidikan yang berpola demikian, kita tentu dapat menerima bahwa disitu memang diajarkan teologi, tetapi orang tidak berani berteologi. Tekanan terletak pada pencetakan pendeta yang menguasai ketrampilan untuk mempertahankan hal-hal yang ada tetapi tidak pada teolog yang berteologi. Hal ini tentu mengherankan kita yang biasa nya langsung menganggap orang-orang yang berada dalam suatu lembaga pendidikan teologi sebagai Teolog. Jadi, seorang mahasiswa teologi atau seorang pengajar teologi belum tentu merupakan seorang teolog.
Dan uniknya lagi ada banyak pemimpin gereja dan jemaat yang hanya menginginkan agar “Lulusan Seminari-STT-Sekolah Alkitab” nya dapat berkotbah, melayani sakramen dan memberitakan pelayanan pastoral kepada anggota jemaatnya sendiri ketimbang “memperlengkapi” para anggotanya menjadi “Teolog garam dan terang” dalam konteks Sosial Budayanya. Anggota-anggota Gereja telah terbiasa sehingga tidak menjadi kaget lagi ketika mahasiswa Teologi kembali keGerejanya dengan tidak membawa gagasan-gagasan baru. Padahal belajar dan mengkaji adalah tugas mahasiswa yang utama sewaktu mereka study teologi. Seorang mahasiswa tidak boleh membuang waktu 4-7 tahun lamanya untuk study kalau nantinya ia akan berkotbah dan mengajarkan teologi yang itu-itu juga yang sudah pernah didapatkannya disekolah minggu. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah benar buku, ajaran dan pemikiran teologi Barat yang dikunsumsi tersebut benar-benar mengisi dan menjawab persoalan konkret kehidupan umat. Bukankah dengan demikian dalam study Teologi dan Kurikulumnya kita tetap terikat pada Barat mengambil kebudayan Barat menjadi milik kita sendiri, sehingga Allah yang kita pelajari adalah tetap seorang Allah turis?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendesak yang perlu penanganan yang sangat hati-hati. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kaburnya makna berteologi saat ini di STT. Untuk ini harus ada perubahan pada kurikulum, peninjauan ulang model yang telah ditetapkan dan mencari alternatif lain dalam metode pendidikan Teologi. [19] Tinjauan Dari Sudut Komunikasi Akan Perlunya suatu Kontekstualisasi Teologi Alkitab ditulis dengan kosa kata konteks sesuai dengan cara berpikir,dan bahasa yang pemaknaannya dimengerti oleh orang pada zamannya. Kita yang memakai teologi dan konfessi Gereja Barat jika hanya memakai bahasa dan kosa kata Barat seperti terjemahan teologi dan Alkitab dari kekristenan Eropa seringkali hal tersebut tidak dimengerti.
Pendekatan ini cenderung mengabaikan kerangka berpikir para pendengar. Maka proses komunikasi akan semakin rumit, dan tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan. Memamfaatkan teori Komunikasi, makna tidak terletak dalam kata-kata atau benda, melainkan dalam diri orang yang berpikir tentang makna itu dan mengungkapkannya dalam bahasa. Mengkomunikasikan Injil berarti menyampaikan suatu berita bukan memindahkan makna kepada orang lain. Makna berarti apa yang dibangun di benak sipenerima berita dan yang ditanggapinya, yang tidak terlepas dari pengaruh budaya. Kesesuaian antara sumber berita dan penerimanya tergantung pada sejauh mana ada kesepakatan-kesesuaian antara sumber dan sipenerima mengenal arti dan lambang budaya yang dipakai. Faktor ideologis yang mencerminkan pandangan dunia dan sistem nilai seseorang serta unsur-unsur budaya yang terdiri dari pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan dalam suatu masyarakat menentukan cara kita memandang kewibawaan, penafsiran dan penggunaan Alkitab. Setiap Gereja yang ada dalam suatu Konteks budaya tertentu harus berkenan berhadapan dengan realita asumsi ini. Sehingga penerima Injil di dalam kehidupan kekristenannya, bukan hanya menghafal teologi dan konfensi Barat, karena teologi dan konfensi Barat itu dibuat untuk menjawab pergumulan konteks berdasarkan cara berpikir, budaya dan sejarah mereka. Dan jika kita terlalu terpengaruh dan tergantung pada tradisi Barat maka kita bisa melupakan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia atau masing-masing budaya.
Kontekstualisasi Teologi sebagai tugas mendesak Dan Kaitannya dengan Penyataan Allah Yang Hadir Dalam Sejarah
Pada dasarnya agama Kristen bukan barang import. Pekabaran Injil seperti yang dilakukan oleh para Misionaris Barat hanyalah membawa kembali mahluk ciptaan kepada Penciptanya yang sempat terpisah akibat kejatuhan manusia kedalam dosa. Hal ini dapat lebih kita pahami dengan memahami pandangan Wittgenstein, bahwa Anda tidak dapat mendengar Allah berbicara kepada orang lain, anda dapat mendengar-Nya hanya kalau Ia berbicara kepada anda” [20] Semua hal ini lah yang dipandang Pieris selama ini kurang diperhitungkan dalam penemuan metodologi ber-Teologia di Asia. [21]
Ditengah latar belakang pergumulan dan perkembangan kondisi jemaat dan masyarakat inilah Yesus tetap menyapa kita dengan pertanyaan “menurut kamu siapakah Aku ini” (Matius 16:13; dan 15). Disinilah jantung terdalam masyarakat Adat ditantang terlibat dalam dialog yang serius dalam Firman Tuhan. Jika orang Adat Kristen tidak henti-hentinya berdoa “Datanglah kerajaan-Mu” ditengah pergumulan mereka, sekarang tibalah saatnya bahwa mereka harus menjabarkan aspek presentis Kerajaan Sorga dalam hubungannya dengan masyarakat dan budaya aslinya, dengan pemikiran dasar bahwa budaya adalah diakui sebagai pemberian Allah sang pencipta dan sarana untuk kemuliaannya.
Manusia kini sama dengan manusia pada masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dahulu kala, sama-sama hidup dalam sejarah, dan mempunyai budaya sendiri dalam kaitan percaya pada Allah yang hidup. Sehingga ketika gereja membahas persoalan Injil dan Adat dalam nuansa kepribadian mereka sendiri mereka tidak lagi berbicara tentang “kebudayaan-kebudayaan lain” tetapi kebudayaan dimana mereka menjadi bagiannya. Jadi haruskah kebudayaan yang telah ada berabad-abad lamanya sesuai dengan identitas suku itu dibuang seperti sampah ? Ini berbahaya, sebab sering kali kita menolak atau meremehkan suatu bentuk kebudayaan karena kita tidak mengetahui dan memahami makna terdalam mengapa adat/ kebudayaan itu muncul dan apa fungsinya. Teologia berasal dari kata Yunani yaitu Theos yang artinya Allah dan logos yang artinya firman atau kata-kata. Jadi Teologia secara harafiah artinya pembicaraan tentang Allah.
Teologi sebagai pengetahuan atas Allah yang bertugas untuk mencari kebenaran, tidak satupun mempunyai keabsahan akhir . Teologi harus terus menerus dibentuk kembali sesuai dengan pemahaman dan pergumulan kekinian dan perkembangan budayanya. Pemahaman tentang Allah bukanlah suatu sistem yang rasional yang tertutup. Namun akan terus memberi tempat kepada akal sebagai perangkat yang paling perlu untuk menghindari dogmatik yang beku. Teologia itu tidak pernah dipahami sebagaimana mestinya oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam realitas konteks tempat lahirnya teologi tersebut. Kita juga harus menggugat, bahwa jika teologi merupakan ekspresi dari iman, apakah tidak mungkin seseorang akan merubah teologi bila dihadapkan dengan suatu situasi yang baru yang lebih berarti dalam imannya. Dalam satu segi Teologi memang harus selalu baru. Teologi yang barulah yang bisa mengekspresikan kuasa Tuhan dalam siatuasi yang baru. Karena zaman berubah, masyarakat berubah, situasi yang timbul berubah, pergumulan berubah, jadi mengapa kita tetap memakai rumusan Teologi yang lama.
Bukankah Teologi berdasarkan rumusan katanya sendiri adalah bersifat Kontekstual. Karena faktor yang membentuknya mencakup pengalaman, penyataan Alkitab, tradisi, kebudayaan dan akal budi manusia. Orang Kristen dari berbagai tempat dan waktu mempunyai tanggung jawab untuk menguraikan pesan keselamatan Injil dengan cara menjadikannya “masuk akal” dalam budaya mereka sendiri. Setiap Gereja yg lahir dari masyarakat budaya tertentu harus dapat sepenuhnya bertanggungjawab menjawab panggilan Kristus dengan tidak menciplak contoh pertobatan asing dan hanya bicara soal sorga. Tipe transformasi adalah tipe yang tepat untuk berteologi Kontekstual. [22] Dalam posisi ini, budaya menjadi sarana dan kekayaan Berteologi, sehingga teologi dapat berakar kuat dan berdampak bagi masyarakat konteks. Teologi Kontekstual adalah kontekstualisasi berita Injil, dimana yang terjadi bukan hanya sekedar pempribumian berita kesaksian “asing” dari Barat, bukan pula semata-mata revolusionalisasi masyarakat lama. Kontekstualisasi Injil lebih berarti merupakan transformasi terus menerus setiap masyarakat oleh Injil [23] Untuk itu cara berteologi “dari luar Konteks” sudah seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan cara “bergerak dari dalam”. Suatu cara yang mengenal konteks secara tepat dan jujur. Dengan melihat ketiga hasil itu, maka dapat dikembangkan bahwa setiap Budaya harus memikirkan hubungan antara Injil dengan konteks budaya mereka sendiri, karena Konteks sangat berpengaruh pada makna. Mereka harus membiarkan Injil menilai tafsiran dan gaya hidup mereka sendiri yang memang dipengaruhi oleh budaya. Sehingga budaya menjadi sarana dan kekayaan dalam berteologia, sehingga teologi berakar kuat dimana Injil berada. Ini artinya perlu suatu kontekstualisasi Teologi sebagai hasil pertemuan antara Injil dan kebudayaan. Inilah yang menjadi Pekerjaan Rumah bagi setiap mahasiswa Teologia. Teologi yang Hidup lahir dari perjumpaan dan Pergumulan Injil dengan Lingkungan dimana ia bertemu dan bersentuhan dengan inti eksistensi budaya, karena manusia berjumpa dengan Allah yang diberitakan Injil bukan dengan kehampaan melainkan sebagai pria atau wanita yang hidup dengan pikiran dan hati yang telah terbentuk oleh gagasan, nilai, keyakinan dan mitos yang telah diteruskan kepadanya dari generasi terdahulu. Sehingga, Teologia perlu lahir dari pengalaman hidup orang beriman kepada Kristus memang harus menjadi kontekstual. Karena teologi sebagai pembicaraan tentang Allah melalui kata-kata bisa mempunyai arti yang berbeda antar suatu budaya dengan budaya lain. Teologi ini harus timbul dari budaya yang kesadarannya telah terbebas kerena budaya mempunyai begitu banyak nilai-nilai dan sumberdaya yang sangat berharga untuk kebebasan dan pemberdayaan yang selama ini diabaikan, seperti Falsafah hidup, Ulaon (pesta) adat, cerita rakyat, tarian dan pola kebiasaan cara mengambil keputusan. Karena bukankah Karl Barth, Luther, Calvin, Wesley dan teolog lainnya juga berteologia dari budaya dan cara berpikir mereka sendiri para misonaris adalah wakil budaya bangsanya.
Orang-orang Barat dalam berteologi bertolak dari latar belakang konteks yang berbeda dengan cara berpikir dan falsafah hidup orang Asia. Tuhan Yesus sendiri dalam berteologia merefleksikannya dalam gambaran , simbol, perumpamaan budayanya yaitu Yahudi. Dengan demikian ia bersatu dengan umat Yahudi dan secara alamiah berbicara dalam bahasa dan adat istiadat mereka secara kritis. [24]. Metode yang dipakai untuk berteologia didasarkan oleh pengertian manusia sebagai “imago Dei”. Dengan memahami dirinya sebagai “imago dei” maka manusia ditantang untuk bertanya tentang dirinya dengan melihat konteks dan mencari tahu apa kehendak Allah sebagai hal yang harus dilakukannya dalam relasinya terhadap alam dan sesama dalam konteks. Jadi dalam hal ini manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan hubungan vertikal dan horizontal.
Apabila kebudayaan dan usaha kreatifitas manusia ditiadakan begitu saja seolah-olah manusia tidak memiliki kebudayaannya sendiri. Upaya Yang Harus dilakukan dalam STT sebagai “ Mesin Pencetak Teologi Kontekstual “ STT Abdi Sabda harus menyadari kenyataan ini, dan memberikan kritik tajam atas kelambanan semua dalam melakukan tugas kemandirian ini. STT Abdi sabda sebagai salah satu Lembaga Pendiikan Teologi, harus bertanggung jawab untuk memprakarsai terjadinya pembaharuan apabila doktrin dan konfessi maupun teologia “Lama” tidak lagi secara utuh mengakomodir dan mencakup cara berpikir konteks masyarakat yang berkembang terhadap situasi dan permasalahan yang juga berkembang. Pada satu sisi memakai Konfessi Barat dalam pengajaran Gereja adalah wajar saja. Akan tetapi apabila kemudian STT atau gereja-gereja di Indonesia lalu melihat tugas dan panggilannya akan misi yang dibebankan Allah kepadanya adalah juga sebagaimana tugas dan panggilan Gereja-gereja di Barat, maka disitulah masalahnya. Sebab, apakah gereja-gereja di Indonesia lalu harus menjadi sama dengan gereja-gereja di Barat dalam pengertian “dia hanya menjadi gereja-gereja Barat yang ada di Indonesia” .
STT adalah bagian dari Gereja di Indonesia, yang dipanggil dan diutus untuk bersaksi dalam Konteks Indonesia dengan tidak bisa terlepas dari sudut budayanya. Gereja harus dimampukan menemukan dan mempraktekkan kepribadian mereka, menemukan kesatuan yang mengikat antara Injil dan budaya. Tidak ada gereja yang benar-benar dapat menghindari tanggung jawab ini, termasuk Gereja-Gereja yg mengelola STT atau yg mengirimkan mahasiswanya di STT Abdi Sabda. Yang dituntut dari teologi Barat dan dunia ketiga adalah bahwa mereka mengikuti pola proses teologi Alkitab dan menghasilkan Teologi yang akan memperlihatkan masalah, cara berpikir dan ungkapan yang sesuai dengan konteks dimana teologi itu muncul. Seperti Yesus Kristus Teolog harus “duduk” diantara masyarakat “mendengarkan mereka dan bertanya kepada mereka (Lukas 2: 46) melalui pendekatan dan keterlibatan dalam hidup masyarakat, mengerti apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka rasakan. Dan apabila sang teolog menyampaikan jawaban Alkitabiah, jawaban itu benar-benar menanggapi pertanyaan mereka. Jika Teolog ingin mengharapkan pendengar atau masyarakat menanggapi Injil secara serius, teolog juga harus serius menghadapi umat, menanggapi keyakinan dan tradisi yang telah membentuk mereka. Setiap orang yang telah memahami asumsi ini harus tetap menyadari bahwa ia berada dalam suatu situasi yang baru sehingga ia terus ditantang untuk berteologia. [25] Gagasan bahwa Penyataan berhenti ketika kitab dituliskan terakhir dalam Alkitab selesai ditulis dan dikanonkan dan bahwa sesudah itu Allah hanya menerangi dan menyoroti manusia, perlu dipertanyakan.[26] Teologi Kontekstualisasi adalah perpaduan teologi Kristen dengan macam-macam filsafat dan praktek keagamaan yang punya akar dalam budaya tertentu. Jika kekristenan di Barat bisa memakai tradisi Yahudi, filsafat Yunani, Hukum-hukum Roma dan eksistensialis Jerman dan Prancis, mengapa Kekristenan di Indonesia tidak bisa “berkontekstualisasi ” dengan filsafat Batak, Karo, Nias, Mentawai, Jawa atau filsafat dari konteks budayanya sendiri.
Apakah Allah tidak bisa berbicara melalui konteks budaya di Indonesia sebagaimana ia berbicara melalui konteks Amerika dan Eropa. Allah kita adalah Allah yang hidup yang mempunyai kehendak bebas dan bukan semata-mata adalah Allah dari suatu golongan umat tertentu. Orang Kristen sering membuat kekeliruan yang sama seperti yang dilakukan Israel dalam Perjanjian Lama. Mereka terlalu ekslusif memfokuskan Allah selaku Allah dari perjanjian. Takkala Israel menitik beratkannya secara berat sebelah, maka kebenaran Allah menjadi ilah suatu suku, semacam berhala lokal. Ia menjadi Yahweh, ilah orang Israel yang kedudukannya tidak berbeda dengan Khemos ilah orang Moab; Milkom ilah orang Amon. Bukankah Alkitab mulai dengan bangsa-bangsa bukan dengan Israel., dengan Adam dan bukan Abraham, dengan ciptaan bukan Perjanjian. Ketika Allah memilih Israel, ia tidak mulai melupakan bangsa-bangsa lain. Allah berkuasa atas semua bangsa di muka bumi. Dia membentuk hati mereka sekalian dan memperhatikan segala pekerjaan mereka (Mazmur 33:13-15).
Semua asumsi ini mengisyaratkan agar tidak ada sifat ekslusifitas dalam berteologi. Karena hal itu adalah suatu pengkerdilan perhatian dan kuasa Allah. Karena itu ketergantungan Teologi dan kekerdilan wawasan kita harus kita ubah. Dan ini berkaitan dengan penilaian kita terhadap manusia, bahwa semakin tinggi manusia itu kita nilai, semakin besar minat kita melayani kepentingannya selaku gambar dan rupa Allah yg terdiri dari tubuh-jiwa dan roh. Sehingga dengan demikian akan lahir Kontekstualisasi Teologi dengan tidak mengabaikan konteks budaya dan peka terhadap kebutuhan umat dengan memperhitungkan proses sekularisasi, permasalahan konkret umat dan tetap setia pada nilai-nilai kebenaran Alkitabiah. Jadi apa yang dibutuhkan sekarang adalah jenis pemikiran teologi yang melibatkan persoalan masa kini dan budaya konteks yang membuat Injil dapat lebih dipahami oleh manusia secara mendalam. Namun itu tidak berarti bahwa Berteologi secara lokal/ sempit terbatas hanya kepada tempatnya sendiri saja tanpa memperhatikan sesama orang beriman lainnya ditempat lain. Teologi harus bersifat Alkitabiah dan lebih dari sekedar pernyataan spekulatif. Apabila hal ini terjadi, Kekristenan di Indonesia sebagai hasil Pekabaran Injil Misionari Barat dapat menanggalkan gagasan bahwa ia bergantung pada Barat dan kini telah menyatakan diri berjati diri Indonesia . [27] Penutup Demikianlah dengan titik berangkat melihat permasalahan kehidupan masyarakat dalam situasi konkrit, dimana gereja dalam berteologi hendaknya tidak lagi harus membatasi diri pada masalah abstrak selayaknya kita dapat bertanya “ Masih Adakah Yang di harapkan dari STT Abdi Sabda untuk menghasilkan Lulusan Yang mampu Berteologi Kontekstual “. Pertanyaan ini harus di jawab dengan serius dari kita. Pemberdayaan nilai-nilai budaya dan teologia Kontekstual ini dirasakan dapat menjadikan gereja bersifat fungsional dalam kehidupan jemaat. Sehingga jemaat nantinya dibebaskan dari belenggu “keterasingan” menjadi mampu berdaya, berencana dan bertindak dimasa depan. Untuk itu Sekolah Tinggi Teologia ( STT ), Seminari atau Lembaga Pendidikan sejenisnya sebagai wadah pendidikan Teologi bagi mahasiswa harus lebih banyak mencantumkan muatan lokalnya dalam kurikulum pendidikannya. Wadah-wadah pendidikan Teologi itu diharapkan menjadi wadah pengkajian terhadap persoalan konteks dan mencari jawaban apa kehendak Allah dalam teks, sehingga terus terjadi pola Hermeneutika Injil yang dinamis. Injil Yang Bersifat Universal Sekaligus Kontekstual. Karena Kontekstualisasi merupakan bagian dari kemandirian gereja dan kemandirian STT Abdi Sabda, Syalom.
Happy Pakpahan, STh Ketua Senat Mahasiswa Jur. Teologia Priode 1999-2000
[1] Seperti kita ketahui, ada tiga wujud kebudayaan yang jika kita cerminkan pada kebudayaan Batak yaitu; 1) Wujud Ideal : Sebagai wujud ide, gagasan, norma seperti mita penciptaan, pandangan terhadap leluhur, gagasan tentang alam, marga, gagasan tentang kerja, pesta, falsafah Dalihan Natolu serta sanksi yang dikenakan pada orang yang melanggar adat, dll. 2). Wujud Kelakuan : Sebagai wujud aktifitas kelakuan pola manusia dalam masyarakat seperti sikap hormat pada orang tua, gotong royong (konsep kerja) dimasyarakat, pesta, kebiasaan onan, dll. 3) Wujud Fisik : Wujud benda hasil kerja manusia seperti ulos, rumah, ukiran, gondang dll.
[2] Anggapan ini dapat kita lihat pada sikap misionaris sebelum Perang Dunia II . Lebih jelas dapat dibaca dalam buku Singgih, E, G, Berteologi Dalam Konteks, Jogyakarta, BPK GM – Kanisius, 2000, pada hlm. 88-112
[3] Bnd. Hutauruk, J. R, Kemandirian Gereja, Jakarta, BPK Gunung Mulia 1009 ; hlm. 49
[4] End, Van den Ragi Carita, Jakarta, BPK Gunung Mulia;1996 hlm. 296-297
[5] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 46 dan xxv.
[6] Dalam hal nyanyian memang terjadi perubahan dimana pada tahun 1980-an sejumlah ahli musik di Jakarta menghasilkan kumpulan lagu yang terangkum dalam Kidung Jemaat dimana terdapat sejumlah nyanyian yang memakai lagu Indonesia asli.
[7] Bandingkan dengan isi buku karya, Porter, R. D, Katekisasi Masa Kini, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1994; hlm 340
[8] Kenyataan bahwa Yesus yang lahir di Asia itu yang telah dibawa ke Barat beratus-ratus tahun lamanya dan dibawa kembali ke Asia dalam “pakaian” bukan Asia telah tertalu tebal sehingga sulit menembus budaya Asia yang sangat beraneka ragam tersebut. Rubianto, Vitus, Paradigma Asia : Pertautan Kemiskinan Dan Kereligiusan Dalam Teologia Aloysius Pieris, Yogyakarta, Kanisius; 1996; hlm. 51
[9] Bnk. Singgih , E, G, Berteologi Dalam Konteks, Yogya, BPK Gunung Mulia – Kanisius; Thn. 2000; hlm. 31
[10] lih. Ariarijah, Wesley, S Injil dan Budaya, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1997; hlm. 181
[11] Riemer, G ; Cermin Injil, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF;1995 ; hlm. 169 [12] lih. Buku Teologia Crucis di Asia , karya A.A Yewangoe, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 hlm. 35. Lebih jauh Hesselgrave juga mengatakan bahwa pada saat ini, di Asia terjadi semacam mentalitas Ghetto yang menghalangi orang-orang Asia untuk menanggapi kepentingan budaya mereka . Lih. Hesselgrave dan Rommen, Edward Teologi Kontekstual : Makna, Metode dan Model, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1995 ,hlm. 94 [13] Inilah yang dikatakan Sebastian Kappen bahwa kita jarang (tidak pernah) bertemu dengan Allah yang telanjang. Dia tampil dihadapan kita berpakaian yang kita sendiri kenakan kepadanya dengan teologi Barat, karena itu perlu segera menyingkapkan kerudung yang menutupi wajahnya sebagaimana ia menyibakkan penutup mata kita sendiri “.[13] Lih. Ellwod, Douglas J, (ed), Teologi Kristen Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia , 1992, hlm 340 dan hlm. 6. [14] Riemer,G, Op. Cit .hlm. 168 [15] Lebih jelas dapat dibaca buku Herlianto berjudul Pelayanan perkotaan, Bandung, YABINA 1998 [16] Bukan berarti bahwa semua tema itu tidaklah penting, dan kita tidak perlu belajar dari teologi Barat. Tetapi persoalannya adalah jangan mengabaikan hakikat Kekristenan sebagai umat yang berhubungan dengan Allah yang hidup dan mempunyai corak berpikir sendiri. [17] lih. Hutauruk, J.R, Kemandirian Gereja BPK GM , Jakarta, 1993 hlm. XV [18] Pendapat Koyama yang dikutip Elwood, Douglas, J.Teologi Kristen Asia : Tema-Tema yang Tampil Ke Permukaan terj. B.A.Abednego, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992; hlm xxvii [19] Pola pengajaran terhadap bidang studi agama-agama adalah pola antitese dimana untuk menjelaskan keyakinan dan pendirian sendiri harus dimulai dengan memaparkan kebobrokan-kebobrokan pihak lain dilihat dari kaca mata sendiri..Si A. Demikian, si B demikian, tetapi kita tidak demikian lih ibid hlm. 135 [20] Adams, Daniel J, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia; 1992 hlm 51 [21] lih. Rubianto, Vitus, S.X, Op. Cit hlm 34. [22] Mengambil Posisi Terhadap Pandangan Richard Niebuhr Tentang Tipe Hubungan Injil Dan Budaya, dimana Niebuhr menggambarkan ada 5 sikap Tipe Hubungan antara Injil dan Kebudayaan yaitu : 1. Injil Bertentangan (Konfrontasi) dengan Kebudayaan ; 2. Injil sesuai dengan kebudayaan ; 3. Injil mengatasi kebudayaan ; 4. Injil berjalan sejajar dengan kebudayaan ; 5. Injil mentransformasikan Kebudayaan. [23] Memang telah muncul kesadaran dengan model inkulturasi, proses dimana unsur-unsur baru diperhadapkan pada suatu konteks budaya tertentu melalui interaksi antar budaya. Inkulturasi disini dipahami dalam arti pihak luar sebagai pengeksport membawa masuk sesuatu yg baru dan asing. Dan melalui rupa-rupa upaya dan strategi, “yang baru” itu dibungkus dan ditawarkan dengan cara yang dapat diterima oleh budaya setempat. Pandangan ini bertolak dari prakarsa pihak “pengeksport” sedangkan dari pihak “pengimport” Inkulturasi adalah proses pengambil alihan aspek-aspek baru secara kreatif dan aktif oleh budaya setempat, diubah dan disesuaikan dengan kategori-kategori yang tersedia dengan budaya pengimport, berkembang dengan cara memberi tempat pada unsur baru tersebut. Yang terjadi disini adalah bahwa betapapun pihak-pihak pengeksport berupaya menguasai makna yang diberikan pada unsur baru itu, toh pada akhirnya paling-paling dia bisa menetapkan kulit luar saja, sebab makna batiniah ditentukan oleh budaya lokal sendiri, sehingga model inkulturasi kurang tepat dalam persoalan pengakaran teologi seperti yg dialami oleh suku . [24] Teologi Paulus sendiri harus diakui tidak membahas banyak masalah yang hangat pada masa kini baik di Barat maupun di Dunia ketiga. [25] Akan tetapi disisi lain kita juga hendaknya tetap menghormati teolog-teolog yang telah bergumul dengan masalah-masalah teologia selama berabad-abad yang lalu. Kita tidak boleh menyangkal jasa dan sumbangan pemikiran para Teolog pendahulu kita. Apabila kita tidak dapat belajar dari apa yang telah mereka wariskan kepada kita berarti kita “menghina” kepala gereja yang membimbing mereka karena Roh Allahlah yang menerangi terciptanya suatu Teologi. [26] Bnd Pendapat C.H Craff, dalam buku Heselgrave, hlm 83 [27] Bnd. Pendapat Charles W. Forman yang dikutip Douglass J. Ellwod, Op. Cit hlm xx-xxi Gereja di Asia sudah mulai merefleksikan makna menjadi Gereja dalam konteks mereka sendiri, seperti di Korea, mereka dalam upaya berteologia menempatkan minjung (rakyat yang menderita) sebagai pokok refleksi. Kemudian teologi Kazoh Kitamori dalam teologi Allah yang menderita; Kosuke Koyama dalam Teologi Kerbau dll.